Kupang (ANTARA) - Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur menyatakan bahwa perubahan status Cagar Alam (CA) Mutis menjadi Taman Nasional merupakan adalah upaya yang dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kegiatan eksisting yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
"Dengan fungsi sebagai Cagar Alam maka aktivitas pemanfaatan yang dapat dilakukan hanya untuk kepentingan Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya," kata Kepala BBKSDA NTT Arief Mahmud di Kupang, Selasa.
Sedangkan aktivitas eksisting yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain, mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur serta pemanfaatan air.
Selain itu juga menggembalakan ternak, menggelar acara ritual agama atau budaya religi serta wisata alam, dengan fungsinya sebagai Cagar Alam maka semua aktifitas tersebut tidak dimungkinkan.
"Upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan tersebut," ujar dia.
Menurut dia nantinya akan dibahas untuk pengaturan zonasi di wilayah Taman Nasional tersebut. Setelah dilakukan pengaturan zonasi pengelolaan, akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba.
Pada sisi lain ujar dia, aktivitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan.
Dia menambahkan tidak semua bagian Kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata. Dalam proses pengaturan zonasi akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik.
Arief juga menambahkan bahwa proses perubahan fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau ditempuh sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Proses tersebut meliputi usulan proposal, penelaahan dokumen usulan pada Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, pembentukan tim terpadu, studi penelitian lapangan oleh tim terpadu, penyampaian laporan dan rekomendasi oleh Timdu kepada Menteri LHK, proses penelaahan laporan serta penerbitan Keputusan Menteri LHK.
"Jadi memang tidak berubah begitu saja. Prosesnya Panjang," ujar dia.
Baca juga: Menteri LHK mengusulkan perpanjangan masa kerja BRGM ke Presiden
Terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktivitas pembangunan oleh investor dia menatakan bahwa perlu dalam pengelolaan Taman Nasional dilakukan pembagian ruang yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar, kondisi landscape, keberadaan situs budaya/ sejarah serta aspek lainnya.
Pengaturan zonasi meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus. Selanjutnya pada zona pemanfaatan akan dilakukan pengaturan menjadi ruang usaha dan ruang publik.
Proses pembangunan sarana wisata pada kawasan Taman Nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan.
"Dengan pengaturan ruang ini maka aktifitas investor tidak akan terjadi pada wilayah selain ruang usaha pada zona pemanfaatan," tegas dia.
Baca juga: Kawasan konservasi termasuk benteng pertahanan Indonesia
Pengaturan zona ini juga akan membatasi akses pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya dapat melakukan aktifitas pada kawasan Taman Nasional yang sesuai dengan peruntukan zona, tidak diperkenankan melakukan aktifitas wisata pada Zona Inti.
"Kementerian LHK sampai dengan saat ini tidak pernah merencanakan pembangunan atau investasi wisata alam dalam bentuk yang masif di Taman Nasional Mutis Timau," tegasnya.
Dia juga menargetkan bahwa keputusan zonasi itu tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Pihaknya menargetkan pada 2025 zonasi tersebut akan segera diterbitkan.
"Dengan fungsi sebagai Cagar Alam maka aktivitas pemanfaatan yang dapat dilakukan hanya untuk kepentingan Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya," kata Kepala BBKSDA NTT Arief Mahmud di Kupang, Selasa.
Sedangkan aktivitas eksisting yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain, mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur serta pemanfaatan air.
Selain itu juga menggembalakan ternak, menggelar acara ritual agama atau budaya religi serta wisata alam, dengan fungsinya sebagai Cagar Alam maka semua aktifitas tersebut tidak dimungkinkan.
"Upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan tersebut," ujar dia.
Menurut dia nantinya akan dibahas untuk pengaturan zonasi di wilayah Taman Nasional tersebut. Setelah dilakukan pengaturan zonasi pengelolaan, akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba.
Pada sisi lain ujar dia, aktivitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan.
Dia menambahkan tidak semua bagian Kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata. Dalam proses pengaturan zonasi akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik.
Arief juga menambahkan bahwa proses perubahan fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau ditempuh sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Proses tersebut meliputi usulan proposal, penelaahan dokumen usulan pada Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, pembentukan tim terpadu, studi penelitian lapangan oleh tim terpadu, penyampaian laporan dan rekomendasi oleh Timdu kepada Menteri LHK, proses penelaahan laporan serta penerbitan Keputusan Menteri LHK.
"Jadi memang tidak berubah begitu saja. Prosesnya Panjang," ujar dia.
Baca juga: Menteri LHK mengusulkan perpanjangan masa kerja BRGM ke Presiden
Terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktivitas pembangunan oleh investor dia menatakan bahwa perlu dalam pengelolaan Taman Nasional dilakukan pembagian ruang yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar, kondisi landscape, keberadaan situs budaya/ sejarah serta aspek lainnya.
Pengaturan zonasi meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus. Selanjutnya pada zona pemanfaatan akan dilakukan pengaturan menjadi ruang usaha dan ruang publik.
Proses pembangunan sarana wisata pada kawasan Taman Nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan.
"Dengan pengaturan ruang ini maka aktifitas investor tidak akan terjadi pada wilayah selain ruang usaha pada zona pemanfaatan," tegas dia.
Baca juga: Kawasan konservasi termasuk benteng pertahanan Indonesia
Pengaturan zona ini juga akan membatasi akses pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya dapat melakukan aktifitas pada kawasan Taman Nasional yang sesuai dengan peruntukan zona, tidak diperkenankan melakukan aktifitas wisata pada Zona Inti.
"Kementerian LHK sampai dengan saat ini tidak pernah merencanakan pembangunan atau investasi wisata alam dalam bentuk yang masif di Taman Nasional Mutis Timau," tegasnya.
Dia juga menargetkan bahwa keputusan zonasi itu tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Pihaknya menargetkan pada 2025 zonasi tersebut akan segera diterbitkan.