Mataram (ANTARA) - Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Mataram Yosef Dwi Irwan menyebutkan Nusa Tenggara Barat berada pada peringkat 6 sebagai provinsi dengan angka penyerahan antibiotik tanpa resep dokter.
"Berdasarkan hasil pengawasan kami, lebih dari 90 persen apotek menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter," kata Yosef.
Hal itu, kata dia, tentunya akan meningkatkan resiko angka kejadian anti microbila resistance (AMR) atau resistensi anti mikroba.
Pada 2019, AMR menyebabkan kematian pada 4,95 juta jiwa, kematian akibat AMR bahkan lebih tinggi dari kematian akibat HIV/AIDS dan malaria.
WHO memprediksi jumlah kematian tersebut naik hingga menjadi 10 juta jiwa per tahun pada 2050 mendatang.
Baca juga: BBPOM Mataram menyita 46.828 tablet obat berbahaya
Jadi, kata Yosef, boleh dikatakan AMR merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan dan risiko keamanan kesehatan global saat in silent pandemic yang dapat membunuh dalam keheningan
"Dampak AMR sangat luar biasa mulai infeksi menjadi sulit sembuh, biaya rumah sakit meningkat karena semakin lama dirawat, bahkan bisa mengakibatkan kematian jika semua jenis antibiotik tidak lagi mempan membunuh mikroba penyebab infeksi karena sudah resisten," ujarnya.
Menurut dia, perlu upaya kolaborasi dari hulu ke hilir untuk mencegah kejadian AMR. Salah satunya melalui pengendalian pendistribusian antibiotik di tingkat pedagang besar farmasi.
Guna menekan pembelian dan penyerahan antibiotik tanpa resep dokter, BBPOM Mataram sudah mengundang para apoteker penanggung jawab pedagang besar farmasi dalam untuk membahas masalah tersebut.
Baca juga: BBPOM NTB menetapkan seorang pebisnis obat berbahaya sebagai tersangka
Yosef menambahkan, pihaknya juga telah melakukan penggalangan komitmen yang melibatkan para pemangku kepentingan, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, GP Farmasi, dokter, apoteker, bidan dan perawat.
Selain itu, BBPOM Mataram juga telah menerbitkan surat edaran kepada sarana pelayanan kefarmasian (apotek, rumah sakit, klinik) agar memastikan penyerahan antibiotik harus berdasarkan resep dokter.
"Sebagai upaya lanjutan di sektor hulu, kami membagikan poster 'Setop pembelian antibiotik tanpa resep dokter serta bijak dalam menggunakan antibiotic," ucapnya.
BBPOM Mataram juga telah bersurat kepada GP Farmasi Provinsi NTB untuk melakukan kajian kewajaran frekuensi dan jumlah terhadap sarana pelayanan kefarmasian yang melakukan pemesanan antibiotik.
Jika berdasarkan kajian sejawat apoteker penanggung jawab pedagang besar farmasi apotek pemesan obat menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter maka jangan dilayani.
"Pendistribusian antibiotik hanya untuk kebutuhan pelayanan kefarmasian atas resep dokter. Jika ditemukan pelanggaran berulang kami bisa memberikan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku," tegas Yosef.
"Berdasarkan hasil pengawasan kami, lebih dari 90 persen apotek menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter," kata Yosef.
Hal itu, kata dia, tentunya akan meningkatkan resiko angka kejadian anti microbila resistance (AMR) atau resistensi anti mikroba.
Pada 2019, AMR menyebabkan kematian pada 4,95 juta jiwa, kematian akibat AMR bahkan lebih tinggi dari kematian akibat HIV/AIDS dan malaria.
WHO memprediksi jumlah kematian tersebut naik hingga menjadi 10 juta jiwa per tahun pada 2050 mendatang.
Baca juga: BBPOM Mataram menyita 46.828 tablet obat berbahaya
Jadi, kata Yosef, boleh dikatakan AMR merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan dan risiko keamanan kesehatan global saat in silent pandemic yang dapat membunuh dalam keheningan
"Dampak AMR sangat luar biasa mulai infeksi menjadi sulit sembuh, biaya rumah sakit meningkat karena semakin lama dirawat, bahkan bisa mengakibatkan kematian jika semua jenis antibiotik tidak lagi mempan membunuh mikroba penyebab infeksi karena sudah resisten," ujarnya.
Menurut dia, perlu upaya kolaborasi dari hulu ke hilir untuk mencegah kejadian AMR. Salah satunya melalui pengendalian pendistribusian antibiotik di tingkat pedagang besar farmasi.
Guna menekan pembelian dan penyerahan antibiotik tanpa resep dokter, BBPOM Mataram sudah mengundang para apoteker penanggung jawab pedagang besar farmasi dalam untuk membahas masalah tersebut.
Baca juga: BBPOM NTB menetapkan seorang pebisnis obat berbahaya sebagai tersangka
Yosef menambahkan, pihaknya juga telah melakukan penggalangan komitmen yang melibatkan para pemangku kepentingan, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, GP Farmasi, dokter, apoteker, bidan dan perawat.
Selain itu, BBPOM Mataram juga telah menerbitkan surat edaran kepada sarana pelayanan kefarmasian (apotek, rumah sakit, klinik) agar memastikan penyerahan antibiotik harus berdasarkan resep dokter.
"Sebagai upaya lanjutan di sektor hulu, kami membagikan poster 'Setop pembelian antibiotik tanpa resep dokter serta bijak dalam menggunakan antibiotic," ucapnya.
BBPOM Mataram juga telah bersurat kepada GP Farmasi Provinsi NTB untuk melakukan kajian kewajaran frekuensi dan jumlah terhadap sarana pelayanan kefarmasian yang melakukan pemesanan antibiotik.
Jika berdasarkan kajian sejawat apoteker penanggung jawab pedagang besar farmasi apotek pemesan obat menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter maka jangan dilayani.
"Pendistribusian antibiotik hanya untuk kebutuhan pelayanan kefarmasian atas resep dokter. Jika ditemukan pelanggaran berulang kami bisa memberikan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku," tegas Yosef.