Mataram (ANTARA) - Ketika lembaga penyelenggara survei yang dengan gampang mengumumkan hasil surveinya, dengan mudah pula menggiring justifikasi opini bahwa itulah yang sesungguhnya terjadi. Apalagi dilegitimasi oleh liputan media yang memuatnya, tidak dengan kritis dan cover both side. Apa yang terjadi kemudian? Banyak lembaga penyelenggara survei yang tidak kredibel bisa mengumumkan hasil surveinya tanpa ada sanksi terhadap kekeliruan bahkan kesalahan memprediksi ketika dikomparasi dengan pengumuman resmi final, seusai penetapan dari penyelenggara pemilu.

       Lembaga penyelenggara survei seolah seperti hinggap pada ruang pengap demokrasi, yang mestinya bisa menjadi faktor pengefektif terhadap labirin politik. Hasil survei ideal, memberikan kepastian dari hingar bingar klaim politik. Puzzle-puzzle yang menyempurnakan  demokrasi berlangsung dengan elegan. Telah banyak lembaga penyelenggara survei membuktikan kepiawaiannya yang berkesesuaian dengan kenyataan. Bagaimana dengan yang bukan? Terserah pada kita yang percaya pada kesadaran kritikal ilmiah dan pertanggungjawaban sosial terhadap hasil surveinya.

       Pada kenyataannya via survei, entah berbasis ilmiah, pseudoilmiah ataukah ailmiah), masing-masing kubu mengklaim keunggulan, tetapi klaim keunggulan tersebut perlu dikroscek kesahihan atau validitas reliabelnya sehingga hasil yang diumumkan berkesesuaian dengan hasil final. Di sinilah media dan atau kaum berpengetahuan perlu kesadaran kritikal. Ketika kaum berpengetahuan tidak menggunakan kesadaran kritikal, sama halnya memberikan jalan lempeng bagi blurnya masa depan pengetahuan dan prospek demokrasi. Terhadap hal ini pun, secara lebih awal penulis mempertanyakan kemana para kaum akademikus kampus yang seolah "membisu". Dengan membiarkan realita blur informasi tanpa pembanding dan tanpa kesadaran kritikal. Kekuasaan begitu murah sekaligus mudah atas kerja-kerja "konspirasional". Pengetahuan menjadi terombang-ambing, segalanya hanya diserahkan pada strategi, apa pun muatan dari strategi. Tak peduli, strategi curang, terpenting menang.

       Dalam keterjerembapan, survei yang keliru/salah bisa sampai pada anggapan sebagai bagian dari "strategi marketing" bahkan "pengiklan" di bawah harga pasar. Menurut Riadhus Sholihin (2019: 176) "Pengembangan strategi marketing merupakan tindakan kreatif yang memerlukan aplikasi ilmu pengetahuan, seni, dan kemampuan untuk menyaring informasi yang tepat pada saat mengambil keputusan." (Digital Marketing di Era 4.0, Quadrant).

       Tindakan tersebut, memperluas pendegradasian ilmu marketing dan advertising. Lantaran ditempatkan pada ranah yang salah. Strategi marketing sebagai murni strategi berdasarkan substansi survei dari apa yang sesungguhnya terjadi. Bukan sebaliknya. Menjadikan survei dari lepasnya kendali ilmiah dengan menggunakan "wajan" strategi marketing. Pemahaman ilmiah mesti mengabarkan apa yang sesungguhnya didapat dari realita sosial. Menurut Sofian Effendi (2006: 16) "Pemahaman Ilmiah atas realita sosial harus logis, diterima oleh akal sehat, dan harus sesuai dengan apa yang kita amati." (Metode Penelitian Survai, LP3ES).

       Hasil survei merupakan produk ilmiah dan berdampak bagi keputusan publik dalam memilih (rational choice), maka diperlukan upaya kesadaran kritikal terkait hal-hal sebagai berikut: pertama, lembaga penyelenggara survei perlu menjelaskan keberadaannya sebagai lembaga survei yang independen (seluruh biaya survei tersebut, tidak berpengaruh pada siapapun pemenang hasil pilkada) ataukah lembaga tersebut dikontrak profesional dan dibiayai oleh kubu partisan yang berkompetisi.

        Kedua, publikasi media, dalam hal peliputan survei pilkada mesti jeli, ada banyak lembaga survei yang muncul tiba-tiba dan secara tiba-tiba pula melansir surveinya, tanpa kita ketahui tracking pengalaman personal kelembagaan dan atau keahlian spesifiknya. Artinya media, tidak asalan memuat. Mengumumkan hasil survei abal-abal, kemudian dimuat oleh media kredibel yang memantik preferensi kepercayaan. Bukan pada hasil surveinya, tetapi lantaran media kredibel yang memuat, dijadikan landasan legitimasinya.

       Ketiga, perlu ada mekanisme "sanksi sosial" bagi penyelenggara survei yang keliru bahkan salah mengumumkan hasil surveinya. Pada sebagian negara maju atau kota-kota besar, sanksi sosial (sosio-etik) ini telah banyak diterapkan oleh internal penyelenggara survei sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial. Lembaga atau penyelenggara survei yang keliru bahkan salah memprediksi hasil surveinya dengan kenyataan, mengambil sikap mengundurkan diri atau membubarkan lembaganya, karena dinilai publik tidak dapat dipercaya. Bahwa pada etape selanjutnya, ketika membuat lembaga baru kembali, diperbolehkan karena hak demokrasi untuk berserikat.

       Hal tersebut perlu dilakukan agar bisa meminimalisir kesimpangsiuran informasi berkaitan kategori misinformasi, disinformasi, atau malinformasi yang berdampak pada keputusan publik (pemilih) pada kompetisi periodik kepemimpinan. Pertanggungjawaban sosial survei ini penting, sebab nyaris dalam proses tahapan survei tidak ada yang mengawasi, berlaku mandiri dan didasari kesadaran ilmiah. Lain soal ketika lembaga penyelenggara survei kredibel, lazimnya semua tahapan dikroscek sehingga mutu ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan dengan menyisakan interval tingkat kesalahan Margin of Error (MoE) yang dapat dirumuskan pula beserta argumentasi analisanya. Semisal survei kredibel yang telah terbukti, untuk menyebut sebagian: LP3ES, LSI, SMRC, Polmark, Indikator, Poltracking, atau lembaga penyelenggara survei lokal yang kredibel.

       Penyelenggaraan survei begitu rigid pengelolaannya. Intisari penyurveian yang lazim dilakukan dari mulai menentukan metode pengumpulan respons melalui responden acak berjenjang, pengukuran sampel atas populasi yang mesti mendekati akurasi statistik, penggunaan sistem rumusan skala penghitungan, serta analisa epik emik dari realita sosial yang berkembang dengan memunculkan sintesa-sintesa baru secara hati-hati serta rasional-referensial. Demi menyakralkan validitas dan reliabelnya dari subyektifitas pikiran-pikiran intervensionik yang berkategori bukan ilmiah (spekulan politik).

       Inilah yang tampaknya menjadi sekelumit kerisauan. Pengetahuan dilegitimasi melalui persepsi tanpa landasan ilmiah yang laik dipertanggungjawabkan. Hanya karena ingin mendapatkan bonus elektoral dengan memanfaatkan blurnya informasi yang terkelola tanpa kesadaran kritikal. Bahwa tidak ada larangan menyelenggarakan survei opini publik, sebagai tools kemudahan dalam mencandra realita lapangan. Bahkan dianjurkan. Survei sebagai survei dengan pengetatan intervensi politis serta hegemoni subyektifitas. Melalui survei, publik (pemilih) mendapatkan gambaran, apa kisaran yang sesungguhnya terjadi pada saat-saat mendatang. Kita mengingat, adagium lawas para kaum ilmiah yang boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong dengan penelitiannya. Kesalahannya pun terukur dari tingkat MoE yang ditakar intervalnya.

       Dengan menjaga terdegradasinya realita sebagai bentuk pertanggungjawaban publik yang menjadi pandu tumpu ketika diumumkannya hasil survei. Apa  pun dan kemana pun efeknya. Jika tidak demikian, lebih baik simpan saja dahulu untuk referensi evaluatif pada survei selanjutnya. Ketimbang harus memaksakan pengumuman, dengan "memompa dan/atau mengempiskan" numerik serta pemaknaannya. Upaya alih hindar dari prangas-pringis jahil, tengil, usil. Wahana dari wacana publik yang bertalian ini, bertaut dengan dampak hasil dari semula-mula pijakan kuasa: eminen elektoral. Semestinya ada pertanggungjawaban sosial.

-------

* Penulis adalah Kolumnis; Peserta Workshop Survei - Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (2009)


Pewarta : Mujaddid Muhas, M.A. *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024