Surabaya (ANTARA) - Kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menjadi sorotan publik, terutama terkait dampak besar yang dirasakan ribuan buruh. Perhatian utama dalam kasus ini adalah memastikan nasib para pekerja tetap terlindungi meski perusahaan menghadapi krisis finansial.
Kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menekankan pentingnya peran pemerintah dalam melindungi kesejahteraan pekerja Sritex.
“Yang terpenting dalam kasus ini adalah menyelamatkan nasib buruh. Artinya, pemerintah harus memberikan jaminan yang jelas untuk kesejahteraan pekerja yang terdampak,” kata Hardjuno di Surabaya, Rabu (30/10/2024).
Baca juga: Pengamat: Kabinet Prabowo-Gibran miliki kompetensi keahlian mumpuni
Ia juga mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto yang menginstruksikan empat menterinya untuk mendampingi Sritex dalam menghadapi proses kepailitan ini.
Sritex kini masih berpeluang mengajukan kasasi atau peninjauan kembali terhadap keputusan Pengadilan Niaga, membuka opsi restrukturisasi yang lebih baik.
Hardjuno menilai, proses restrukturisasi bukan hanya penting bagi Sritex, tetapi juga menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) secara keseluruhan.
“Kasus Sritex hanyalah contoh besar dari tantangan serupa yang dihadapi oleh banyak pabrik tekstil lain akibat utang besar dan tekanan persaingan impor produk tekstil murah, terutama dari China,” jelasnya.
Baca juga: Pegiat Anti Korupsi minta KPK usut penyalahgunaan dana CSR
Namun, Hardjuno mengingatkan bahwa solusi yang diambil tidak boleh berupa bailout langsung dari negara, karena akan menyulitkan pertanggungjawaban dana publik.
“Solusi yang lebih tepat adalah penerbitan obligasi atau saham baru, yang tidak hanya membantu Sritex melunasi utangnya tetapi juga mengurangi beban langsung pada keuangan negara,” ujarnya.
Dalam konteks piutang bank-bank BUMN terhadap Sritex, restrukturisasi utang yang transparan menjadi langkah penting. Menurut data, Sritex memiliki utang besar ke beberapa bank BUMN, termasuk BNI senilai USD 23,8 juta, yang bisa membahayakan stabilitas aset bank jika tidak ditangani dengan hati-hati.
“Restrukturisasi persyaratan kredit atau penjadwalan ulang pembayaran harus menjadi opsi utama, meski penjualan aset non-inti Sritex bisa dipertimbangkan jika restrukturisasi sulit dilakukan,” ungkap Hardjuno.
Baca juga: Pengamat Hukum DPR 2024-2029 segera setujui RUU Perampasan Aset
Pemerintah juga diharapkan memperkuat dasar hukum restrukturisasi utang agar industri tekstil nasional bisa bertahan. “Jaminan dari pemerintah bahwa bank tidak akan merugi dalam jangka panjang dan stabilisasi sektor tekstil akan sangat membantu,” tegasnya.
Dengan dukungan fiskal yang tepat, industri tekstil tanah air dapat diselamatkan dan tetap menjadi bagian penting dari perekonomian nasional.
Baca juga: Hardjuno Wiwoho: Petugas perbatasan musti dapat penghargaan Negara
Baca juga: Kandidat Doktor Unair minta Satgas BLBI bekerja lebih fokus kembalikan uang negara
Baca juga: Pemerintahan baru harus prioritaskan penyelesaian BLBI
Baca juga: Indonesia benar-benar merdeka jika penegakan hukum kuat
Kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menekankan pentingnya peran pemerintah dalam melindungi kesejahteraan pekerja Sritex.
“Yang terpenting dalam kasus ini adalah menyelamatkan nasib buruh. Artinya, pemerintah harus memberikan jaminan yang jelas untuk kesejahteraan pekerja yang terdampak,” kata Hardjuno di Surabaya, Rabu (30/10/2024).
Baca juga: Pengamat: Kabinet Prabowo-Gibran miliki kompetensi keahlian mumpuni
Ia juga mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto yang menginstruksikan empat menterinya untuk mendampingi Sritex dalam menghadapi proses kepailitan ini.
Sritex kini masih berpeluang mengajukan kasasi atau peninjauan kembali terhadap keputusan Pengadilan Niaga, membuka opsi restrukturisasi yang lebih baik.
Hardjuno menilai, proses restrukturisasi bukan hanya penting bagi Sritex, tetapi juga menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) secara keseluruhan.
“Kasus Sritex hanyalah contoh besar dari tantangan serupa yang dihadapi oleh banyak pabrik tekstil lain akibat utang besar dan tekanan persaingan impor produk tekstil murah, terutama dari China,” jelasnya.
Baca juga: Pegiat Anti Korupsi minta KPK usut penyalahgunaan dana CSR
Namun, Hardjuno mengingatkan bahwa solusi yang diambil tidak boleh berupa bailout langsung dari negara, karena akan menyulitkan pertanggungjawaban dana publik.
“Solusi yang lebih tepat adalah penerbitan obligasi atau saham baru, yang tidak hanya membantu Sritex melunasi utangnya tetapi juga mengurangi beban langsung pada keuangan negara,” ujarnya.
Dalam konteks piutang bank-bank BUMN terhadap Sritex, restrukturisasi utang yang transparan menjadi langkah penting. Menurut data, Sritex memiliki utang besar ke beberapa bank BUMN, termasuk BNI senilai USD 23,8 juta, yang bisa membahayakan stabilitas aset bank jika tidak ditangani dengan hati-hati.
“Restrukturisasi persyaratan kredit atau penjadwalan ulang pembayaran harus menjadi opsi utama, meski penjualan aset non-inti Sritex bisa dipertimbangkan jika restrukturisasi sulit dilakukan,” ungkap Hardjuno.
Baca juga: Pengamat Hukum DPR 2024-2029 segera setujui RUU Perampasan Aset
Pemerintah juga diharapkan memperkuat dasar hukum restrukturisasi utang agar industri tekstil nasional bisa bertahan. “Jaminan dari pemerintah bahwa bank tidak akan merugi dalam jangka panjang dan stabilisasi sektor tekstil akan sangat membantu,” tegasnya.
Dengan dukungan fiskal yang tepat, industri tekstil tanah air dapat diselamatkan dan tetap menjadi bagian penting dari perekonomian nasional.
Baca juga: Hardjuno Wiwoho: Petugas perbatasan musti dapat penghargaan Negara
Baca juga: Kandidat Doktor Unair minta Satgas BLBI bekerja lebih fokus kembalikan uang negara
Baca juga: Pemerintahan baru harus prioritaskan penyelesaian BLBI
Baca juga: Indonesia benar-benar merdeka jika penegakan hukum kuat