Mataram (Antaranews NTB) - Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Mataram H Mahmuddin Tura menyebutkan, hingga saat ini pemerintah pusat belum mengalokasikan anggaran khusus untuk penanganan drainase.
"Yang ada hanya untuk irigasi, jadi kami bukannya tidak pro-aktif dalam hal melobi anggaran melainkan memang anggaran penanganan drainase belum tersedia," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa.
Pernyataan itu dikemukakannya menanggapi desakan dari Ketua Komisi III DPRD Kota Mataram I Gede Wiska yang meminta agar pemerintan kota aktif melobi pemerintah pusat untuk mendapatkan bantuan penanganan drainase sehingga masalah banjir dan genangan akibat kondisi drainase yang kurang baik bisa teratasi.
Mahmuddin mengatakan, selama ini usulan tersebut selalu disampaikan dalam setiap kegiatan koordinasi regional yang dilaksanakan Kementerian PUPR setiap tahun. Namun, pada kenyataanya anggaran untuk penanganan drainase belum dialokasikan secara khusus karena keterbatasaan kemampuan.
"Jadi dalam hal ini kami bukannya pasif, melainkan memang alokasi anggaran perbaikan drainase di pemerintah belum ada," katanya lagi.
Oleh karena itu, untuk melakukan penanganan drainase pemerintah kota hanya mengandalkan bantuan pemerintah untuk irigasi yang besarnya sekitar Rp4 miliar hingga Rp5 miliar per tahun.
Selain itu ada dana pendampingan dari pemerintah kota untuk berbagai dana operasional sehingga dalam setahun alokasi penanganan drainase hanya mencapai Rp10 miliar hingga Rp12 miliar.
"Sementara dengan kondisi drainase di kota sekarang ini, kebutuhan anggaran mencapai ratusan miliar lebih," sebutnya.
Keterbatasan kemampuan daerah itulah yang memicu masih terjadinya genangan dan banjir di kota ini karena banyak irigasi berubah fungsi menjadi drainase bahkan ada juga irigasi yang berfungsi ganda.
Kondisi itu terjadi karena pertumbuhan kota yang cukup pesat, sehingga alih fungsi lahan meningkat dan berdampak pada berkurangnya daerah resapan air.
"Akibatnya, ketika debit air naik maka limpahan air drainase masuk ke irigasi," ujarnya.
Di sisi lain, tambahnya, kondisi drainase harus tetap dievaluasi lima tahun sekali untuk menyesuaikan elevasi dengan kondisi kekinian, akibat perkembangan dan pertumbuhan pembangunan di kota itu.
"Jadi dengan keterbatasan anggaran itu, kita berusaha melakukan perbaikan secara maksimal meskipun belum selesai satu masalah muncul masalah baru lagi," katanya.
"Yang ada hanya untuk irigasi, jadi kami bukannya tidak pro-aktif dalam hal melobi anggaran melainkan memang anggaran penanganan drainase belum tersedia," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa.
Pernyataan itu dikemukakannya menanggapi desakan dari Ketua Komisi III DPRD Kota Mataram I Gede Wiska yang meminta agar pemerintan kota aktif melobi pemerintah pusat untuk mendapatkan bantuan penanganan drainase sehingga masalah banjir dan genangan akibat kondisi drainase yang kurang baik bisa teratasi.
Mahmuddin mengatakan, selama ini usulan tersebut selalu disampaikan dalam setiap kegiatan koordinasi regional yang dilaksanakan Kementerian PUPR setiap tahun. Namun, pada kenyataanya anggaran untuk penanganan drainase belum dialokasikan secara khusus karena keterbatasaan kemampuan.
"Jadi dalam hal ini kami bukannya pasif, melainkan memang alokasi anggaran perbaikan drainase di pemerintah belum ada," katanya lagi.
Oleh karena itu, untuk melakukan penanganan drainase pemerintah kota hanya mengandalkan bantuan pemerintah untuk irigasi yang besarnya sekitar Rp4 miliar hingga Rp5 miliar per tahun.
Selain itu ada dana pendampingan dari pemerintah kota untuk berbagai dana operasional sehingga dalam setahun alokasi penanganan drainase hanya mencapai Rp10 miliar hingga Rp12 miliar.
"Sementara dengan kondisi drainase di kota sekarang ini, kebutuhan anggaran mencapai ratusan miliar lebih," sebutnya.
Keterbatasan kemampuan daerah itulah yang memicu masih terjadinya genangan dan banjir di kota ini karena banyak irigasi berubah fungsi menjadi drainase bahkan ada juga irigasi yang berfungsi ganda.
Kondisi itu terjadi karena pertumbuhan kota yang cukup pesat, sehingga alih fungsi lahan meningkat dan berdampak pada berkurangnya daerah resapan air.
"Akibatnya, ketika debit air naik maka limpahan air drainase masuk ke irigasi," ujarnya.
Di sisi lain, tambahnya, kondisi drainase harus tetap dievaluasi lima tahun sekali untuk menyesuaikan elevasi dengan kondisi kekinian, akibat perkembangan dan pertumbuhan pembangunan di kota itu.
"Jadi dengan keterbatasan anggaran itu, kita berusaha melakukan perbaikan secara maksimal meskipun belum selesai satu masalah muncul masalah baru lagi," katanya.