Mataram (Antaranews NTB) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menghentikan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi korporasi, PT Autore Pearl Culture (APC) yang mendirikan sarana penunjang usaha tanpa izin pemerintah di dalam kawasan hutan lindung Sekaroh, Kabupaten Lombok Timur.
Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Mohamad Dofir di Mataram, Selasa, mengatakan penyidikannya dihentikan karena alat buktinya tidak cukup kuat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.
"Karena alat buktinya tidak cukup, makanya (penyidikan) kita hentikan," kata Mohamad Dofir.
Ia mengatakan, otomatis (dengan) penghentian perkara di tahap penyidikan ini, telah menggugurkan status tersangka.
Meski demikian, Mohamad Dofir menegaskan, perkaranya dapat kembali dilanjutkan bila di kemudian hari ada laporan yang mampu mengungkap alat bukti baru.
"Kalau ada bukti baru, kenapa tidak, semuanya bisa dibuka lagi," ujarnya.
Kasus ini terbongkar berdasarkan hasil pengembangan penerbitan 32 sertifikat hak milik (SHM) di dalam kawasan hutan lindung Sekaroh oleh Kejaksaan Negeri Lombok Timur pada 2017.
Pada awalnya kejaksaan menemukan keberadaan bangunan milik perusahaan asing itu dari hasil pemetaan kawasan hutan lindung yang memiliki nomor register tanah kehutanan (RTK-15).
Dari penelusuran diketahui bahwa bangunan yang ada di dalam kawasan RTK-15 dibuat oleh pihak perusahaan sebagai sarana penunjang usaha budi daya mutiara yang berada di pesisir pantai.
Bangunan berupa pos pengamanan, gudang penyimpanan dan tempat tinggal karyawan itu telah berdiri di dalam kawasan RTK-15 sejak 2005. Namun diduga ada pelanggaran pidana korupsi terkait perizinan.
PT APC sebagai tersangka korporasi sebelumnya terancam pidana korupsi yang dijerat dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3/Pasal 5/Pasal 13/Pasal 15 dan atau Pasal 20 UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)
Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Mohamad Dofir di Mataram, Selasa, mengatakan penyidikannya dihentikan karena alat buktinya tidak cukup kuat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.
"Karena alat buktinya tidak cukup, makanya (penyidikan) kita hentikan," kata Mohamad Dofir.
Ia mengatakan, otomatis (dengan) penghentian perkara di tahap penyidikan ini, telah menggugurkan status tersangka.
Meski demikian, Mohamad Dofir menegaskan, perkaranya dapat kembali dilanjutkan bila di kemudian hari ada laporan yang mampu mengungkap alat bukti baru.
"Kalau ada bukti baru, kenapa tidak, semuanya bisa dibuka lagi," ujarnya.
Kasus ini terbongkar berdasarkan hasil pengembangan penerbitan 32 sertifikat hak milik (SHM) di dalam kawasan hutan lindung Sekaroh oleh Kejaksaan Negeri Lombok Timur pada 2017.
Pada awalnya kejaksaan menemukan keberadaan bangunan milik perusahaan asing itu dari hasil pemetaan kawasan hutan lindung yang memiliki nomor register tanah kehutanan (RTK-15).
Dari penelusuran diketahui bahwa bangunan yang ada di dalam kawasan RTK-15 dibuat oleh pihak perusahaan sebagai sarana penunjang usaha budi daya mutiara yang berada di pesisir pantai.
Bangunan berupa pos pengamanan, gudang penyimpanan dan tempat tinggal karyawan itu telah berdiri di dalam kawasan RTK-15 sejak 2005. Namun diduga ada pelanggaran pidana korupsi terkait perizinan.
PT APC sebagai tersangka korporasi sebelumnya terancam pidana korupsi yang dijerat dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3/Pasal 5/Pasal 13/Pasal 15 dan atau Pasal 20 UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)