Mataram (ANTARA) - Minggu malam, 6 Juli 2025, air bah tak hanya meluap dari sungai-sungai yang melintasi Kota Mataram. Kali Ancar dan dua sungai lainnya memuntahkan amarahnya, membanjiri enam kecamatan, merendam rumah-rumah, dan memaksa ratusan warga mengungsi. Tapi banjir bandang ini membawa lebih dari sekadar lumpur dan kerusakan. Ia membawa sesuatu yang lebih halus namun lebih dalam: gerakan spiritual.

Air bah itu menyapu batas-batas wilayah dan menyentuh batin siapa pun yang menyaksikannya—baik langsung maupun lewat tayangan media sosial. Dalam linimasa digital, bencana ini berubah menjadi panggilan nurani. Ia menggugah gelombang empati, menyatukan hati umat manusia dalam satu frekuensi: peduli.

Ketika genangan surut dan lumpur tertinggal, sebuah gerakan lahir: Gerakan Peduli Umat Sedharma. Digagas oleh Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kecamatan Mataram, dan diperluas oleh WHDI Kota Mataram serta WHDI Provinsi NTB, gerakan ini menjadi medium spiritualitas dan pengabdian.

Tak ada paksaan, hanya panggilan hati. Donasi dikumpulkan secara sukarela melalui transfer ke rekening pribadi pengurus WHDI. Selain uang, masyarakat menyumbangkan pakaian layak pakai, sembako, makanan ringan, dan peralatan dapur. Hasilnya, 37 paket sembako berhasil disalurkan ke wilayah terdampak seperti Pagesangan Saren, Pagesangan Seraye Selatan, dan Wanasari.

Tak berhenti di lingkup WHDI, gerakan ini kemudian membesar. Kolaborasi pun terjalin bersama ormas Hindu lainnya:
PHDI NTB, BDDN NTB, ICHI NTB, RBKS NTB, Yayasan Dharma Sewanam Lombok, dan WHDI Lombok Barat. Mereka membangun jaringan distribusi bantuan dan membuka donasi digital melalui barcode, bertajuk “Satu untuk Semua”.

Gabungan ini berhasil mengumpulkan 225 paket sembako untuk warga Mataram, serta 45 paket tambahan untuk wilayah Lombok Barat, termasuk Sweta, Cakra Timur, Sindu, Karang Jero, Jeruk Manis, Karang Sampalan, hingga Batu Dawe.

Gerakan ini bukan sekadar aksi sosial. Di dalamnya hidup sebuah nilai luhur: medana punia—berbagi dengan tulus kepada sesama sebagai bentuk ibadah. Di sinilah ajaran Trikaya Parisudha mewujud nyata: berpikir yang benar, berkata yang benar, dan bertindak yang benar.

Spiritualitas dalam bentuk yang paling murni: welas asih.
Tanpa pamrih, tanpa sorotan kamera, tanpa kepentingan lain kecuali kemanusiaan.

Pengabdian Tanpa Nama

Para ibu, para relawan, turun langsung ke lokasi-lokasi banjir. Mereka menyusun paket sembako, mengangkut bantuan, mendata penerima, dan memeluk warga yang kehilangan. Tak ada sorotan media besar, tak ada panggung kehormatan. Yang ada hanyalah pengabdian spontan dari hati yang ikhlas.

"Satu untuk semua bukan hanya slogan. Itu adalah laku. Laku yang menyatukan kita dalam satu rasa: rasa sebagai manusia," begitu salah satu relawan menyampaikan.

Banjir ini juga mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita membangun sesuai dengan aturan alam?
Bangunan di bantaran sungai, tumpukan sampah di aliran air, sungai yang dangkal karena lumpur dan limbah—semua adalah cerminan dari ketidakharmonisan kita dengan alam.

Banjir mengingatkan kita pada prinsip Tri Hita Karana—keselarasan antara manusia, Tuhan, dan alam. Alam telah bicara. Kini saatnya kita mendengar.

Gerakan spiritual dari banjir ini adalah bibit dari peradaban baru—peradaban yang lebih peduli, lebih welas asih, dan lebih ikhlas.
Dari air yang menghanyutkan, kita temukan aliran baru: aliran kasih dan kolaborasi.

Mari kita jaga gerakan ini agar tak sekadar berhenti di saat bencana. Tapi menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Karena pada akhirnya, kemanusiaan adalah agama tertinggi.

* Penulis adalah anggota Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Provinsi Nusa Tenggara Barat


Pewarta : Ni Komang Ratnawati Giri *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025