Mataram (ANTARA) - Tim Percepatan Nusa Tenggara Barat lahir dengan mandat besar yakni mempercepat pencapaian visi pembangunan, mengurai simpul kemiskinan ekstrem, memperkuat ketahanan pangan, dan mendorong desa berdaya. 

Di atas kertas, gagasan ini tampak menjanjikan. Namun, di balik ambisi besar itu, publik wajar bertanya. Seberapa siap dan seberapa profesional tim ini bekerja, serta apakah benar mampu menjawab masalah nyata yang dirasakan masyarakat?

Beranggotakan 15 orang dengan latar belakang akademisi, birokrat, dan praktisi, tim ini dipimpin Dr. Adhar Hakim dengan dukungan figur akademis seperti Prof. Ir. Dahlanuddin dan Prof. Dr. Sitti Hilyana. Pemerintah daerah menekankan, tim bukan sekadar "staf khusus berlabel baru", melainkan motor analisis kebijakan sekaligus penghubung visi kepala daerah dengan eksekusi OPD.

Misi yang mereka emban memang relevan.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin di NTB pada Maret 2025 mencapai 11,78 persen, atau sekitar 654,57 ribu orang. 

Angka ini memang turun dari tahun sebelumnya, tetapi masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang berada di 8,47 persen dengan jumlah penduduk miskin 23,85 juta jiwa. 

Dari sisi ketahanan pangan, harga cabai sempat menembus Rp200 ribu per kilogram, menandakan rapuhnya rantai distribusi. Desa tertinggal juga masih banyak, menunggu kebijakan yang benar-benar menyentuh akar masalah. Tantangan itu hanya bisa dijawab lewat kerja nyata, bukan laporan penuh jargon.

Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda, langsung mengingatkan profesionalisme harus diutamakan. Pengalaman daerah lain menunjukkan, tim percepatan kerap jadi alat politik yang minim kontribusi konkret. Sebagian nama di NTB disebut pernah terlibat dalam tim sukses politik. Jika faktor kedekatan lebih dominan daripada kapasitas, bias kebijakan sulit dihindari.

Namun, keterlibatan akademisi dan mantan birokrat memberi harapan. Dengan pengalaman riset dan pengelolaan birokrasi, mereka bisa menghadirkan kebijakan berbasis data. Profesionalisme sejati bukan soal gelar, melainkan kemampuan mengubah gagasan menjadi solusi konkret yang terukur.

Jakarta dengan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) hingga provinsi lain pernah mencoba model serupa, dengan hasil beragam. Ada yang sukses memberi masukan strategis, ada pula yang menjadi beban APBD. 

Di level global, Jepang dan Korea Selatan mengandalkan lembaga think tank independen yang dievaluasi transparan, dilaporkan rutin, dan diawasi publik. Standar inilah yang seharusnya menjadi rujukan NTB.

Sayangnya, transparansi Tim Percepatan NTB masih minim. Publik belum tahu jelas berapa anggaran yang dialokasikan, indikator apa yang digunakan, dan bagaimana mekanisme evaluasi dijalankan. Tanpa keterbukaan, sulit menepis anggapan bahwa tim ini hanya “tim politik berwajah teknokratik”.

Risiko lain adalah benturan dengan OPD. Jika peran tim tidak jelas, OPD bisa merasa kewenangannya direduksi. Alih-alih mempercepat pembangunan, tim bisa menjadi simbol tanpa fungsi. Idealnya, mereka bekerja sebagai jembatan yang menajamkan arah kebijakan sekaligus mendorong sinergi birokrasi. Komunikasi dan kolaborasi adalah kunci, bukan sekadar memberi instruksi.

Jika benar ingin menjadi instrumen perubahan, Tim Percepatan NTB perlu memenuhi empat syarat yakni transparansi penuh terkait anggaran dan program kerja, akuntabilitas dengan indikator kinerja terukur (misalnya target menurunkan kemiskinan ekstrem 1 persen per tahun), partisipasi publik melalui pengawasan masyarakat sipil dan media, serta batas waktu kerja yang jelas agar tidak menjadi proyek tanpa ujung.

Akhirnya, profesionalisme bukan tentang siapa yang duduk di kursi tim, melainkan hasil yang dirasakan masyarakat. Publik tidak menanti narasi, melainkan bukti. Harga pangan stabil, desa mandiri bertambah, kemiskinan ekstrem menurun. 

Tim Percepatan NTB kini berdiri di persimpangan. Apa akan menjadi motor teknokratik yang memberi solusi nyata, atau sekadar simbol politik yang cepat dilupakan. Warga sudah terlalu sering menunggu janji, kini mereka menagih bukti.

Baca juga: Tajuk - Di balik asap insinerator, PR sampah Mataram belum usai
Baca juga: Tajuk -Luka senyap di balik seragam: Kisah pilu Brigadir Esco
Baca juga: Tajuk - Kamar kosong di tengah euforia MotoGP: NTB bersiap atau tertinggal?
Baca juga: Tajuk - Ketika langit diam: Ujian kekeringan di Lape, Sumbawa
Baca juga: Tajuk - Bagaimana NTB menjaga euforia MotoGP dari risiko sepi penonton?"
Baca juga: Tajuk - Integritas pejabat NTB diuji: Dari mikrofon terbang hingga mantan terpidana di kursi strategis
Baca juga: Tajuk - Honorer NTB: Harapan dan kekecewaan
 


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025