Surabaya (ANTARA) - Jaringan Ksatria Airlangga (JAKA) menyatakan penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden RI Soeharto. Penolakan tersebut disampaikan melalui pernyataan sikap yang dikeluarkan jaringan alumni Universitas Airlangga tersebut, sebagai bentuk keprihatinan atas wacana yang dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai reformasi dan keadilan sejarah.

Ketua Jaringan Arek Ksatria Airlangga (JAKA) Teguh Prihandoko dalam keterangan tertulis di Surabaya, Sabtu, menyatakan penolakan itu didasarkan pada sejumlah pertimbangan, di antaranya rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta dampak otoritarianisme pada masa Orde Baru.

“Penolakan ini bukan persoalan sentimen pribadi, tetapi berangkat dari penilaian rasional, etika publik, dan tanggung jawab moral terhadap sejarah bangsa,” ujarnya.

Baca juga: Bahlil: Jasa Soeharto dalam transmigrasi bentuk wajah kebinekaan Papua

JAKA menilai masa pemerintahan Soeharto tidak terlepas dari catatan pelanggaran HAM, seperti peristiwa 1965–1966, kasus Tanjung Priok dan Lampung, pembunuhan Marsinah, penculikan aktivis prodemokrasi 1997–1998, hingga penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan Mei 1998. Menurut mereka, sejumlah peristiwa tersebut hingga kini belum pernah dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral.

Selain itu, era Orde Baru juga dinilai identik dengan praktik KKN yang terstruktur dan mengakar di birokrasi. “Mengangkat tokoh yang identik dengan praktik KKN sebagai pahlawan sama saja memberikan legitimasi moral terhadap korupsi serta bertentangan dengan nilai Pancasila dan cita-cita reformasi,” kata Teguh.

JAKA menilai gelar pahlawan bukan hanya penghargaan personal, tetapi sarana pendidikan sejarah bagi generasi muda. Karena itu, pemberian gelar kepada Soeharto dianggap sebagai bentuk penyimpangan pesan moral kepada publik.

Baca juga: Wapres Gibran sebut Soeharto-Gus Dur beri sumbangsih besar
Baca juga: Penulisan sejarah versi baru momentum rekonsiliasi bangsa

Menurut Teguh, perjuangan rakyat dan mahasiswa yang berpuncak pada Reformasi 1998 merupakan tonggak penting dalam demokratisasi dan pemulihan hak-hak warga negara. “Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berpotensi mengaburkan nilai perjuangan reformasi dan membuka ruang normalisasi otoritarianisme,” katanya.

Melalui pernyataan sikap tersebut, JAKA menyampaikan tiga poin sikap resmi, yakni:

    1.    Menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    2.    Mendesak pemerintah dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan mempertimbangkan secara objektif rekam jejak pelanggaran HAM dan korupsi pada masa Orde Baru.

    3.    Mengajak masyarakat, akademisi, dan alumni Universitas Airlangga untuk turut menjaga integritas sejarah dan nilai kemanusiaan.

“Sejarah harus menjadi pelajaran, bukan alat pembenaran,” ujar Teguh menutup pernyataan sikap tersebut.


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025