Lombok Timur (ANTARA) - Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025, merupakan momen penting bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat dan dunia pendidikan tinggi Islam, khususnya bagi Prodi KPI IAIH Pancor.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 116/TK/Tahun 2025 yang menetapkan Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) sebagai Pahlawan Nasional tidak hanya memberikan legitimasi negara atas rekam jejak sejarah tokoh tersebut, tetapi juga membuka ruang refleksi akademik tentang hubungan antara sejarah lokal, identitas sosial, dan pembentukan narasi kebangsaan.
Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) dalam Konteks Historis
Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) (1889-1951) adalah pemimpin Kesultanan Bima yang berada pada fase transisi sosial-politik Indonesia awal abad ke-20. Salah satu kontribusi monumental beliau adalah diterbitkannya Maklumat 22 November 1945, sebuah pernyataan resmi yang menyatakan dukungan penuh Kesultanan Bima terhadap terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maklumat tersebut muncul dalam situasi geopolitik yang belum stabil, ketika pemerintah pusat masih berjuang mengonsolidasikan kedaulatan pasca-proklamasi. Dengan demikian, maklumat itu bukan sekadar simbol politik, melainkan bentuk pernyataan kedaulatan moral dan legitimasi sosial dari otoritas tradisional di wilayah timur Nusantara.
Sejumlah arsip dan kajian sejarah lokal menunjukkan bahwa langkah turut Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) memperkuat posisi Republik yang kala itu masih membutuhkan dukungan keras dari berbagai kerajaan Nusantara. Penetapan sebagai Pahlawan Nasional, oleh karena itu, selaras dengan upaya negara dalam memperluas pengakuan atas kontribusi historis dari daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan ruang dalam narasi arus utama sejarah nasional.
Relevansi Akademik dan Tantangan Bagi Ekosistem Media
Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya memandang penganugerahan ini bukan hanya sebagai momentum historis, tetapi juga sebagai tantangan epistemologis dalam bidang komunikasi dan penyiaran. Dalam konteks pembangunan literasi media, penetapan Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) seharusnya menjadi pemicu bagi media lokal dan nasional untuk menyajikan pemberitaan yang tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga berbasis verifikasi dan kontekstualisasi sejarah.
Dalam ranah studi komunikasi, narasi sejarah kerap dibingkai oleh praktik jurnalisme yang dipengaruhi oleh preferensi tema, struktur kekuasaan, atau bahkan sensasionalisme. Karena itu, penyampaian jejak Sultan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) harus dilakukan secara etis dan berbasis data, termasuk dengan mengutip dokumen primer, arsip kerajaan, serta wawasan dari sejarawan lokal. Penguatan jurnalisme berbasis bukti (evidence-based journalism) menjadi kunci agar masyarakat tidak terjebak dalam glorifikasi yang berlebihan. Namun, tetap memahami signifikansi historis tokoh secara proporsional.
Implikasi untuk Pendidikan Tinggi dan Penguatan Identitas Daerah
Di lingkungan akademik, khususnya di IAIH Pancor, momentum ini dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kurikulum. Sejarah lokal dapat diintegrasikan secara lebih sistematis ke dalam mata kuliah, seperti Literasi Media dan Sejarah Dakwah. Mahasiswa perlu diberi ruang untuk melakukan riset lapangan terkait tokoh-tokoh lokal, melakukan wawancara tokoh adat atau keluarga kerajaan, serta menghasilkan karya jurnalistik yang bertanggung jawab secara metodologis.
Selain itu, penguatan identitas daerah melalui pendidikan tinggi sangat penting dalam menciptakan generasi muda yang memahami akar sosial-budaya mereka. Narasi tentang Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) dapat dimasukkan ke modul pembelajaran sebagai studi kasus mengenai bagaimana otoritas tradisional berperan dalam pembentukan negara modern, serta bagaimana identitas lokal dan nasional dapat hidup secara koheren dalam ruang publik kontemporer.
Pelestarian Budaya dan Komunikasi Publik dalam Era Digital
Dalam era digital, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa sejarah tidak terdistorsi oleh arus informasi yang serba cepat. Pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat sipil perlu berkolaborasi untuk mengembangkan ekosistem informasi yang sehat, termasuk melalui digitalisasi dokumen bersejarah, penyediaan ruang literasi publik, dan penyelenggaraan seminar atau diskusi akademik.
Bagi Prodi KPI IAIH Pancor, ini merupakan peluang untuk menginisiasi program pengabdian masyarakat berupa produksi dokumenter sejarah, pelatihan jurnalisme sejarah untuk masyarakat muda, serta publikasi akademik yang mengkaji jejak Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) melalui pendekatan komunikasi budaya. Melalui langkah-langkah tersebut, sejarah lokal tidak hanya diabadikan, tetapi juga dikontekstualisasi ulang sesuai kebutuhan pendidikan publik dan perkembangan media.
Penutup: Mengabadikan Jejak Lokal untuk Menguatkan Bangsa
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) bukan hanya bentuk penghormatan negara terhadap kontribusi seorang pemimpin lokal, tetapi juga cermin dari keberagaman sejarah yang membentuk identitas Indonesia. Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya menegaskan bahwa momentum ini harus dimaknai sebagai kesempatan untuk memperkuat integrasi sejarah lokal dalam ruang akademik, mendorong jurnalisme yang akurat, serta mengembangkan literasi media yang mampu menyaring narasi sejarah secara kritis.
Dengan demikian, jejak perjuangan Muhammad Salahuddin (Sultan Bima XIV) dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam memahami bahwa kemerdekaan dan kebangsaan bukan merupakan hasil perjuangan segelintir tokoh di pusat pemerintahan saja, melainkan buah dari kontribusi kolektif berbagai daerah yang turut mempertaruhkan martabat dan identitasnya bagi Republik. Narasi inilah yang perlu terus dirawat melalui pendidikan, riset, dan praktik komunikasi publik yang bertanggung jawab.
*) Penulis adalah Kaprodi KPI IAIH Pancor
