Mataram (ANTARA) - Sebagai negara muslim terbesar, ibadah haji di Indonesia menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Keberadaan mafia haji kini sudah menjadi rahasia umum. Bayangkan saja, sudah berapa menteri agama yang akhirnya tumbang karena kasus korupsi haji. Lagi-lagi, penyebabnya adalah permainan kuota haji. Bak kaset kusut, kasus korupsi kuota haji ini sudah terjadi sejak era reformasi dimulai.
Sebut saja vonis bersalah yang diterima Mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar periode 2001-2004. Ia terbukti bersalah dalam korupsi Dana Abadi Utama dan dana penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan, selama menjadi menteri, ia menerima uang sebesar Rp4,5 miliar yang ia klaim sebagai dana taktis dan tunjangan. Korupsi tersebut membawanya pada vonis lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp2 miliar subsider 1 tahun penjara pada 7 Februari 2006.
Mengutip Koran Tempo, 8 Februari 2006 selama menjadi menteri, Said terbukti menggunakan dana itu bukan hanya untuk penyelenggaraan ibadah haji, melainkan untuk keperluan lain, seperti membiayai perjalanan anggota Komisi VI DPR, ongkos haji atau umrah sejumlah tokoh masyarakat, membiayai perjalanan hakim agama Mahkamah Agung, serta memberikan sumbangan yang tidak sesuai dengan peruntukan.
Tak berhenti disitu, korupsi haji juga menjerat Menteri Agama periode 2009-2014, Suryadharma Ali. Pada 22 Mei 2014, KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka atas kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2010-2013.
Suryadharma curang dalam pengangkatan petugas panitia penyelenggara haji di Arab Saudi dan memanfaatkan sisa kuota haji untuk beberapa orang yang dipilihnya agar bisa naik haji gratis. Ia juga terbukti menggunakan DOM yang bersumber dari APBN untuk kepentingan pribadinya, seperti berobat anaknya serta keperluan wisata. Total DOM yang diselewengkan oleh Suryadharma mencapai Rp1,8 miliar.
Inilah sebabnya, presiden Prabowo Subianto akhirnya membentuk Kementerian Haji dan Umrah di bawah kepemimpinan Menteri Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan) dan Wakil Menteri Dahnil Anzar Simanjuntak dengan harapan besar: terjadinya reformasi tata kelola haji yang bermanfaat bagi umat dan bangsa.
Reformasi Haji di Bawah Wamen Dahnil Anzar Simanjuntak
Kementerian Agama Republik Indonesia kini tengah berbenah. Harapan terbesar bagi praktik korupsi, manipulasi, dan perburuan rente dalam penyelenggaraan haji saat ini berada di tangan sosok Dahnil Anzar Simanjuntak. Berawal dari pembentukan Badan Penyelenggara (BP) Haji, presiden Prabowo Subianto mulai menunjukkan keseriusannya memberantas para koruptor melalui mantan staf khususnya ini. Dahnil dilantik menjadi menjadi Wakil Menteri (Wamen) Haji dan Umrah oleh Presiden Prabowo setelah ia menduduki jabatan Wakil Kementerian Haji.
Sikapnya yang dikenal tegas dan tidak mau berkompromi dengan para calo serta pemburu rente telah secara nyata mengusik pola praktik rente haji yang selama ini dianggap lazim.
Dahnil menyadari, penyelenggaraan haji di Indonesia telah sejak lama menjadi ruang yang sarat kepentingan, terutama karena besarnya arus dana dan kompleksitas tata kelola yang mengikutinya. Di tengah upaya pemerintah untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas, ia muncul sebagai satu figur yang sering dianggap sebagai penghalang utama bagi berlanjutnya praktik korupsi, manipulasi, dan rente. Ketegasannya untuk tidak berkompromi dengan para perantara, calo, dan pemburu rente telah mengguncang kenyamanan para aktor yang selama ini diuntungkan melalui celah-celah penyelenggaraan haji.
Selama bertahun-tahun, praktik rente dalam sektor haji berkembang karena dua faktor utama. Di antaranya, besarnya jumlah dana yang dikelola dan lemahnya pengawasan pada titik-titik tertentu dalam proses penyelenggaraan. Anggaran penyelenggaraan haji yang mencapai 18 hingga 20 triliun rupiah setiap tahun membuka peluang besar bagi berbagai bentuk penyimpangan. Selain dana resmi, terdapat pula potensi keuntungan dari jalur non-budgeter, terutama yang berkaitan dengan kuota haji. Di sinilah praktik jual beli, manipulasi, dan rekayasa angka kuota kerap terjadi, melibatkan pihak-pihak yang memanfaatkan celah sistem demi keuntungan pribadi maupun kelompok.
Sikap tanpa kompromi yang ditunjukkan Dahnil menimbulkan resistensi karena mengganggu pola relasi informal yang sebelumnya telah mengakar. Banyak pihak yang selama ini diuntungkan dari celah-celah sistem tersebut merasa terancam ketika proses pembenahan mulai menyentuh area yang selama ini tertutup. Langkah-langkah pengetatan akses, transparansi dalam penentuan kuota, hingga pencegahan praktik percaloan dianggap sebagai bentuk pembatasan terhadap ruang gerak para pemburu rente.
Namun demikian, dinamika ini sebenarnya menunjukkan bahwa pembenahan tata kelola haji bukan hanya soal meningkatkan layanan kepada jamaah, tetapi juga tentang merebut kembali integritas sektor publik dari kepentingan sempit individu. Penolakan terhadap praktik rente merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa dana umat dikelola secara amanah, profesional, dan sesuai prinsip good governance. Upaya semacam ini juga menjadi bagian penting dari reformasi birokrasi yang lebih luas, yang bertujuan menutup celah penyimpangan di seluruh sektor layanan publik.
Pada akhirnya, perlawanan terhadap praktik korupsi dan rente dalam penyelenggaraan haji akan selalu menghadapi tantangan, terutama ketika menyentuh kepentingan aktor-aktor yang telah lama menikmati keuntungan. Meski demikian, keberanian untuk menegakkan transparansi dan integritas tetap menjadi pondasi penting dalam memperbaiki tata kelola ibadah haji di Indonesia. Figur seperti Dahnil, dengan sikap tegasnya, mencerminkan bahwa perubahan memang mungkin dilakukan, meskipun akan selalu ada pihak yang merasa dirugikan oleh hadirnya tata kelola yang lebih bersih.
*) Penulis adalah Ketua Umum PB HMI 2023-2025 dan Direktur Nusantara Impact Center