Mataram (ANTARA) - Gelombang pemanggilan terhadap 32 anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) oleh Kejaksaan Tinggi NTB dalam beberapa pekan terakhir menjadi pukulan serius bagi tata kelola politik daerah. 

Tiga legislator telah ditetapkan sebagai tersangka, sementara lainnya diperiksa untuk melengkapi berkas perkara. 

Bagi publik, rangkaian proses ini bukan sekadar rutinitas penegakan hukum, melainkan cermin yang memantulkan rapuhnya etika pejabat publik. Gratifikasi, sekali lagi, memperlihatkan wajah gelap kekuasaan yang terus sulit dibersihkan.

Permohonan perlindungan oleh 15 anggota dewan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menambah kerumitan situasi. Sebagian mengaku menghadapi tekanan psikologis, intimidasi, hingga serangan informasi palsu yang menyeret keluarga mereka. 

Ada pula yang mendapat teror lewat penyebaran foto disertai tuduhan liar. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perkara gratifikasi tidak hanya mengungkap dugaan transaksi gelap, tetapi juga memicu benturan sosial yang mengganggu ketenangan banyak pihak.

Kasus yang nilai gratifikasinya diduga mencapai Rp2 miliar dari dana pokok pikiran DPRD memperlihatkan betapa rentannya relasi kuasa dalam proses distribusi anggaran. 

Ruang-ruang formal seperti rapat dan mekanisme persetujuan dapat berubah menjadi kawasan abu-abu ketika integritas tidak menjadi landasan utama. Komunikasi informal, lobi-lobi tertutup, dan transaksi terselubung menjelma sebagai bagian dari praktik politik yang membahayakan kepercayaan rakyat.

Pemeriksaan maraton sejak 1 Desember 2025 menunjukkan keseriusan penyidik. Namun keseriusan hukum saja tidak cukup. Kasus ini memperlihatkan bahwa gratifikasi tidak pernah berdiri sebagai tindakan individual; ia lahir dari pola relasi dan kultur kekuasaan yang dibiarkan tumbuh. Ketika batas antara bantuan, hadiah, dan transaksi kepentingan dikaburkan, maka penyimpangan hanya menunggu momentum.

Situasi ini seharusnya menjadi pintu masuk pembenahan etika kekuasaan di NTB. Ada tiga prinsip yang bisa menjadi fondasi perbaikan. Pertama, membangun integritas sebagai sistem yang bekerja, bukan slogan yang diulang-ulang. 

DPRD perlu memperkuat pengawasan internal, memperjelas penelusuran konflik kepentingan, dan memastikan pelaporan kekayaan dilakukan secara transparan. Integritas harus hadir sebagai kebiasaan yang dilatih dan dijaga, bukan sekadar imbauan moral yang mudah dilupakan.

Kedua, menegakkan transparansi sebagai benteng pencegah penyimpangan. Publik berhak mengetahui bagaimana anggaran dirumuskan, disepakati, dan dijalankan. 

Akses terbuka terhadap dokumen keputusan serta proses alokasi dana akan memperkecil ruang gelap yang selama ini menjadi sumber masalah. Semakin sedikit ruang yang tersembunyi, semakin kecil pula peluang lahirnya gratifikasi.

Ketiga, memperkuat pendidikan moral dan integritas bagi para pemangku jabatan. Banyak penyimpangan terjadi bukan karena kurangnya pengetahuan hukum, melainkan lemahnya kompas moral. 

Kekuasaan tanpa kendali etika akan mudah tergelincir menjadi alat memenuhi kepentingan pribadi. Pembinaan etika yang berkelanjutan perlu menjadi kebijakan nyata, bukan sekadar kegiatan seremonial.

Publik dan media memiliki peran penting dalam menjaga agar langkah-langkah perbaikan tidak berhenti di tengah jalan. Ketika masyarakat aktif mengawasi dan media terus mengawal proses hukum, ruang bagi praktik-praktik gelap akan semakin menyempit.

Kasus gratifikasi di DPRD NTB harus menjadi momentum pemulihan kepercayaan. Rakyat membutuhkan dewan yang bersih, transparan, dan mampu menjaga martabat jabatan publik. 

Pertanyaannya kini, setelah badai pemeriksaan mereda, apakah rumah rakyat akan berdiri lebih kokoh atau justru kembali retak menunggu kasus berikutnya? 

Jawabannya sangat bergantung pada keberanian pejabat publik untuk belajar dari krisis ini dan membangun fondasi moral yang lebih kuat bagi masa depan NTB.


Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mencari keseimbangan pembangunan NTB
Baca juga: Buku 'Dari Api ke Aksara' lahir dari ruang redaksi ANTARA NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Luka sunyi perempuan di Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jejak efisiensi pupuk di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat pekerja wisata NTB belum aman
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Arah baru industri halal NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mandalika dan pertaruhan besar di pintu laut baru
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat NTB menguji jalan baru penghukuman


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025