Tajuk ANTARA NTB - Mencari keseimbangan pembangunan NTB

id Tajuk ANTARA NTB,Mencari keseimbangan ,pembangunan ,NTB,sumbawa,lombok,jalan Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB - Mencari keseimbangan pembangunan NTB

Arsip - Foto udara kawasan Jembatan Samota (Teluk Saleh, Pulau Moyo, Gunung Tambora) di Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa, NTB, Jumat (3/9/2021). Jembatan Samota yang dibangun di atas sungai Brang Biji dengan panjang 240 meter dan lebar tujuh meter tersebut merupakan jembatan pertama yang menggunakan teknologi struktur plengkung di Pulau Sumbawa selain berfungsi sebagai infrastruktur penghubung Simpang Jalan Negara (SJN) Garuda dengan Tanjung Menangis juga menjadi salah satu ikon kabupaten dan menjadi tempat wisata baru di Sumbawa. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa.

Mataram (ANTARA) - Pembangunan infrastruktur kembali menjadi perbincangan publik setelah potongan video dialog pejabat pemerintah ditafsirkan sebagai ketimpangan perhatian antara Lombok dan Sumbawa.

Klarifikasi pun muncul. Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal menegaskan bahwa pemerintah provinsi tidak membedakan prioritas pembangunan. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Nusa Tenggara Barat, Sadimin juga menepis anggapan adanya bias.

Namun persepsi ketimpangan tidak mudah hilang karena masyarakat merasakan sendiri kualitas konektivitas yang belum seragam di dua pulau tersebut.

Fakta yang disampaikan pemerintah menunjukkan bahwa tantangan pembangunan berbeda antara dua wilayah. Panjang jalan provinsi di Lombok sekitar 500 kilometer, sedangkan Sumbawa mencapai lebih dari 900 kilometer.

Secara logis, beban perbaikan dan peningkatan di Sumbawa jauh lebih besar. Karena itu, pada tahun anggaran 2025 Sumbawa menjadi prioritas dengan alokasi sekitar Rp58 miliar, lebih tinggi dibanding Lombok yang memperoleh Rp35 miliar.

Dalam sembilan bulan terakhir, sebagian besar proyek jalan juga berlokasi di Sumbawa, termasuk pada ruas dengan lalu lintas harian rendah.

Namun pengalaman sehari-hari masyarakat tidak selalu sejalan dengan data. Jalan yang rusak bertahun-tahun, akses antarkecamatan yang tak serata di wilayah lain, serta lambatnya penanganan infrastruktur di pedalaman membuat anggapan ketimpangan tetap mengemuka.

Pada saat yang sama, Lombok tengah menunggu proyek besar bernilai Rp3,5 triliun, yakni pembangunan bypass Lembar–Kayangan yang akan mulai dikerjakan pada 2027 dan memangkas waktu tempuh menjadi hanya dua jam. Proyek berskala monumental ini dinilai publik terlalu terpusat di Lombok, menambah jurang persepsi antara dua wilayah.

Namun membandingkan dua pulau tidak sesederhana menimbang angka. Lombok padat, urban, dan merupakan pusat ekonomi. Sumbawa luas, penduduk tersebar, dan biaya pembangunan lebih tinggi.

Lalu lintas harian memang lebih besar di Lombok, tetapi logika prioritas berbasis kepadatan mulai dipertanyakan. Banyak daerah kini mengadopsi keadilan spasial, yakni pembangunan yang mempertimbangkan kebutuhan mendasar, potensi pertumbuhan, dan akses layanan dasar, bukan sekadar jumlah pengguna jalan.

Dalam perspektif ini, pemerataan membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif. Beberapa ruas di Sumbawa yang jarang dilalui tetap menjadi urat nadi warga desa terpencil.

Jalan bukan sekadar infrastruktur fisik, tetapi akses menuju kesehatan, pendidikan, dan pasar. Karena itu, pendekatan prioritas berbasis kebutuhan harus diperluas.

Selain itu, Sumbawa juga membutuhkan proyek strategis berskala besar yang mampu mengubah wajah konektivitas wilayah timur NTB, sebagaimana bypass Lombok.

Jalur lintas cepat, penguatan pelabuhan, atau jaringan jalan industri bisa menjadi lompatan penting bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Transparansi juga memegang peran besar. Ketimpangan persepsi sering muncul karena informasi yang tidak utuh.

Publik perlu mengetahui peta anggaran, progres pembangunan, dan rencana jangka panjang secara berkala agar memahami arah kebijakan pemerintah. Komunikasi yang baik dapat meredam salah tafsir dan memperkuat rasa keadilan.

Pemerataan pembangunan tidak terjadi dalam satu tahun anggaran. Ia membutuhkan konsistensi kebijakan, pengawasan yang efektif, dan sinergi antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat.

Yang terpenting, pembangunan tidak boleh dilihat semata sebagai proyek fisik, melainkan juga sebagai proyek sosial yang menumbuhkan rasa memiliki, rasa adil, dan keyakinan bahwa setiap wilayah berhak tumbuh dengan martabat yang sama.

Ketika jalan tak sama rata, yang sejatinya dipertanyakan adalah arah pembangunan itu sendiri. Apakah ia mendekatkan warga pada kesempatan yang setara, atau justru memperlebar jurang?.

Momentum perdebatan publik hari ini semestinya menjadi titik balik untuk memastikan pembangunan yang lebih setara, efektif, dan manusiawi di seluruh NTB.

Baca juga: Buku 'Dari Api ke Aksara' lahir dari ruang redaksi ANTARA NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Luka sunyi perempuan di Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jejak efisiensi pupuk di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat pekerja wisata NTB belum aman
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Arah baru industri halal NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mandalika dan pertaruhan besar di pintu laut baru
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat NTB menguji jalan baru penghukuman
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menjemput tiket murah di Bali-NTB-NTT



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.