Tajuk ANTARA NTB - Saat NTB menguji jalan baru penghukuman

id Tajuk ANTARA NTB,pidana kerja sosial,KUHP,NTB,jalan baru penghukuman Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB - Saat NTB menguji jalan baru penghukuman

Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Muhamad Iqbal (kanan) bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Asep Nana Mulyana (kiri) di Pendopo Gubernur NTB di Mataram, Rabu (26/11/2025). ANTARA/Nur Imansyah. (1)

Mataram (ANTARA) - Di banyak ruang sidang, terutama di daerah, pidana penjara masih menjadi pilihan paling mudah ketika seorang terdakwa dinyatakan bersalah.

Selama puluhan tahun, hukuman badan dianggap sebagai cara paling efektif untuk memberi efek jera dan memulihkan ketertiban.

Namun pendekatan lama itu terus menyisakan persoalan yakni lembaga pemasyarakatan yang semakin padat, keterbatasan ruang pembinaan, dan minimnya pemulihan relasi sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Di tengah kebutuhan mereformasi sistem peradilan pidana, pidana kerja sosial menawarkan pendekatan baru. Instrumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP itu akan berlaku penuh pada 2026.

Dalam skema ini, pelaku menjalani hukuman tanpa diputus dari keluarga, pekerjaan, dan komunitasnya. Untuk perkara tertentu, pendekatan tersebut lebih rasional dan proporsional ketimbang pemenjaraan.

Di berbagai negara, kerja sosial terbukti menurunkan residivisme sekaligus memberi manfaat langsung bagi publik melalui pekerjaan yang dilakukan terpidana.

Di Indonesia, gagasan serupa mulai menemukan momentumnya ketika sejumlah daerah mempersiapkan mekanisme pendukung.

Salah satu yang melangkah cepat ialah Nusa Tenggara Barat (NTB), yang kini menjadi laboratorium awal penerapan pidana kerja sosial sebelum KUHP baru berjalan penuh.

NTB memiliki alasan kuat untuk mendukung skema ini. Banyak perkara ringan di daerah tersebut yang sejatinya tidak membutuhkan pemenjaraan.

Dalam konteks ini, kerja sosial menghadirkan pendekatan yang lebih mendidik, lebih efektif, dan tidak menambah beban lembaga pemasyarakatan.

Melalui skema tersebut, pelaku dapat menebus kesalahan dengan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Pemahaman mengenai kerja sosial di NTB juga lebih luas dari sekadar membersihkan fasilitas umum.

Daerah ini memiliki jaringan lembaga kesejahteraan sosial, panti asuhan, hingga simpul pemberdayaan masyarakat yang dapat menjadi lokasi pelaksanaan program.

Pelaku bisa ditempatkan sesuai kapasitasnya, mulai dari tugas administrasi, pendampingan sosial, hingga layanan publik sederhana.

Selain itu, NTB memiliki modal sosial berupa budaya gotong royong yang kuat. Tradisi kolektif yang hidup di desa-desa dapat memperkuat karakter rehabilitatif kerja sosial.

Dengan cara itu, penghukuman tidak hanya menghasilkan hukuman, tetapi sekaligus memperbaiki hubungan sosial antara pelaku dan lingkungannya.

Meski demikian, perubahan paradigma ini membutuhkan kesiapan kelembagaan. Setiap perkara memerlukan asesmen untuk menentukan kelayakan pelaku menjalani kerja sosial.

Koordinasi antarlembaga penegak hukum, pemerintah daerah, dan institusi sosial juga harus berjalan efektif. Mekanisme pelaporan dan pengawasan mesti disiapkan agar proses ini tidak sekadar menjadi formalitas administratif.

NTB telah memulai pondasi lewat perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah, kejaksaan tinggi, dan kejaksaan negeri.

Langkah antisipatif ini memberi ruang bagi pembentukan standar operasional sebelum aturan pelaksana KUHP baru terbit. Dengan demikian, ketika masa implementasi datang, NTB tidak mulai dari nol.

Namun keberhasilan kerja sosial bergantung pada beberapa hal penting, yakni kesiapan lembaga sosial yang menjadi mitra pelaksanaan, konsistensi penentuan jenis perkara yang layak mendapat alternatif hukuman, dan jaminan bahwa pekerjaan yang diberikan tetap menjunjung martabat manusia.

Pidana kerja sosial memberi harapan bagi sistem peradilan yang lebih modern dan manusiawi.

Di daerah seperti NTB, keberanian untuk memulai adalah pesan penting bahwa reformasi hukum tidak harus menunggu pusat.

Ketika kerja sosial diletakkan pada ruang yang tepat, penghukuman tidak lagi berhenti pada efek jera, melainkan membuka jalan bagi pemulihan sosial yang lebih luas--sebuah tujuan yang sejalan dengan esensi keadilan itu sendiri.




COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.