Tajuk ANTARA NTB - Luka sunyi perempuan di Bumi Gora

id luka sunyi,perempuan,kekerasan perempuan,NTB,tajuk ANTARA NTB,16 HAKTP Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB - Luka sunyi perempuan di Bumi Gora

Ilustrasi - Seorang perempuan berjualan makanan di pinggiran jalan Pelembak, Mataram, NTB, Jumat (6/8/2021). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.

Mataram (ANTARA) - Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024 mencatat satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.

Data Komnas Perempuan menunjukkan 330.097 kasus kekerasan perempuan pada 2024, meningkat 14,17 persen dibanding tahun sebelumnya.

Di Kota Mataram, sepanjang 2025, lebih dari 100 kasus kekerasan perempuan dan anak tercatat, sebagian besar berasal dari rumah tangga.

Kekerasan tidak selalu tampak fisik. Bentuk psikis, ekonomi, seksual, hingga kekerasan berbasis gender online semakin mengemuka seiring digitalisasi.

Ketimpangan kuasa dalam rumah tangga, norma patriarki yang masih kuat, dan stereotip gender yang menempatkan urusan domestik pada perempuan menciptakan impunitas bagi pelaku. Banyak korban enggan melapor karena takut, malu, atau tidak percaya pada sistem.

Namun, peningkatan laporan justru menandai kesadaran masyarakat yang tumbuh. Layanan hotline 24 jam UPTD PPA mulai dimanfaatkan, sementara sekolah membentuk satgas pencegahan kekerasan anak.

Kendala masih nyata, yakni layanan psikologis dan bantuan hukum belum merata, aparat belum sepenuhnya sensitif gender, dan banyak korban menghadapi trauma tanpa dukungan memadai.

Kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi persoalan struktural. Banyak perempuan memilih bertahan karena takut stigma sosial, ingin menjaga figur keluarga utuh, atau keterikatan ekonomi dengan pelaku.

Tekanan finansial pascapandemi menambah potensi konflik, sementara kekerasan verbal, kontrol ekonomi, pengabaian, hingga kekerasan seksual meninggalkan trauma jangka panjang yang memengaruhi kesehatan mental, kepercayaan diri, dan masa depan korban.

Ancaman kini semakin kompleks di era digital. Kekerasan berbasis gender online berkembang dari ancaman, pemerasan foto pribadi, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga modus rekrutmen fiktif.

Ledakan penggunaan internet membuka akses informasi, tetapi juga memperluas ladang kekerasan digital yang sulit dilacak.

Data DP3A Kota Mataram mencatat dua kasus kekerasan gender berbasis online pada sembilan bulan pertama 2025, meski jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Bullying digital termasuk yang paling sering dilaporkan di kalangan pelajar.

Penegakan hukum melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberi landasan, namun implementasi menghadapi kendala klasik, yakni minim tenaga ahli digital, fasilitas forensik siber terbatas, dan kerumitan pembuktian. Perlindungan holistik bagi perempuan, termasuk advokat HAM digital, masih tertinggal.

Menghapus kekerasan tidak cukup dengan aturan hukum. Dibutuhkan ekosistem perlindungan yang bekerja lintas tingkat mulai dari keluarga hingga kebijakan pemerintah.

UPTD PPA harus diperluas hingga kecamatan dan desa, didukung kader, relawan, tokoh masyarakat, dan guru terlatih.

Pendidikan publik dan konseling pranikah menjadi alat pencegahan sejak awal. Pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan anggaran daerah perlu ditegakkan.

Sinergi lintas lembaga, aparat sensitif gender, polisi perempuan, ruang pemeriksaan ramah korban, dan layanan psikologis harus menjadi standar.

Di ruang digital, literasi harus diperkuat sejak sekolah, termasuk pemahaman tanda-tanda kekerasan digital, menjaga privasi data, dan kesadaran konsekuensi jejak digital.

Layanan pengaduan 24 jam dan nomor darurat UPTD PPA menjadi jembatan pertama, sementara kolaborasi pentahelix melibatkan pemerintah, kepolisian, sekolah, platform digital, dan komunitas perempuan.

Desa dapat menjadi ruang aman awal bagi korban melalui peran kader PKK, pembina posyandu, dan tokoh masyarakat.

Kampanye 16 HAKTP bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah momentum menegaskan hak perempuan hidup tanpa rasa takut.

Setiap rumah, sekolah, kantor, dan ruang digital harus menjadi ruang aman. Perlawanan terhadap kekerasan memang senyap, tetapi tidak boleh sunyi.

Hak perempuan untuk hidup tanpa kekerasan adalah hak asasi yang tidak bisa ditawar, dan setiap tindakan perlindungan, pencegahan, serta edukasi literasi digital adalah langkah menyusun rumah aman bagi perempuan.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jejak efisiensi pupuk di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat pekerja wisata NTB belum aman
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Arah baru industri halal NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mandalika dan pertaruhan besar di pintu laut baru
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Saat NTB menguji jalan baru penghukuman
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menjemput tiket murah di Bali-NTB-NTT
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Sekolah rakyat dan ikhtiar memutus rantai kemiskinan NTB



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.