Di balik riuh Mandalika: Sunyi perlindungan pekerja wisata NTB

id Di balik riuh Mandalika,perlindungan pekerja wisata ,NTB,BPJS Ketenagakerjaan Oleh Abdul Hakim

Di balik riuh Mandalika: Sunyi perlindungan pekerja wisata NTB

Ilustrasi - Pekerja melakukan perbaikan jaringan listrik di Kelurahan Ampenan Tengah, Mataram, NTB. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.)

Mataram (ANTARA) - Pagi itu, cahaya matahari baru saja menyentuh permukaan Pantai Kuta Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Deretan pedagang musiman terlihat mulai menggelar lapak, menyusun kain tenun berwarna cerah, memompa es putar, hingga menata minuman dingin untuk wisatawan yang sebentar lagi berdatangan.

Tidak jauh dari situ, Akhyar (28), pekerja lepas event sedang mengikat tali pembatas rute lomba lari yang akan digelar akhir pekan.

“Kami biasanya mulai dari subuh sampai malam. Kalau soal jaminan keselamatan kerja, itu tergantung event. Kadang ada, seringnya tidak,” ujarnya saat ditemui di area Sirkuit Mandalika belum lama ini.

Di balik keramaian pariwisata NTB, terdapat satu kenyataan sunyi yang jarang disorot, yakni ribuan pekerja wisata musiman bekerja dalam risiko tinggi tanpa perlindungan jaminan sosial. Padahal mereka adalah fondasi riil yang menopang geliat ekonomi dari Lombok hingga Sumbawa.

Tulisan ini mengurai bagaimana perlindungan jaminan sosial terutama melalui BPJS Ketenagakerjaan menjadi kunci pembangunan pariwisata NTB yang inklusif dan berkelanjutan.

Pekerja musiman

Di beberapa titik wisata di Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Mataram, pola yang sama selalu muncul, yakni pekerja musiman mengisi hampir setiap sendi industri wisata NTB.

Mereka hadir dalam beragam wajah, yakni para pemandu wisata yang saban hari menapaki jalur terjal Gunung Rinjani, juru masak homestay di Sembalun yang menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu pendaki.

Selain itu fotografer freelance yang menunggu momen terbaik di pantai Gili Trawangan, kru panggung yang bekerja di balik gemerlap event MotoGP dan konser musik, hingga pedagang musiman yang memenuhi arena lomba lari dan festival budaya.

Meski perannya berbeda-beda, satu kesamaan menyatukan mereka, yakni sebagian besar bekerja tanpa kontrak resmi yang menjamin keamanan dan kepastian kerja.

Dari berbagai data yang dihimpun pemerintah daerah, terlihat jelas bahwa perlindungan pekerja di NTB masih jauh dari ideal.

Kepala Disnakertrans NTB, I Gede Putu Aryadi, memaparkan bahwa dari lebih dari dua juta pekerja informal di provinsi itu, baru sebagian kecil yang terlindungi dalam skema jaminan sosial.

Menurutnya, dari sekitar 2,15 juta pekerja informal, baru 9,3 persen atau 201.649 orang yang terlindungi. Itu berarti 77,8 persen lainnya masih bekerja tanpa perlindungan.

Situasi pekerja formal pun tidak jauh berbeda. Dari 733.040 pekerja formal, baru 60 persen atau 411.126 orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, NTB memiliki 3,19 juta angkatan kerja berdasarkan data BPS Agustus 2024.

“Ini tantangan besar. Karena meskipun tingkat pengangguran terbuka (TPT) terus menurun dari 3,01 persen pada 2021 menjadi 2,73 persen pada 2024, perlindungan bagi pekerja tidak boleh tertinggal,” kata I Gede Putu.

Berbagai langkah, telah ditempuh untuk memperkuat perlindungan sosial, termasuk pendaftaran petani dan buruh tembakau melalui dana DBHCHT sejak 2022, serta pemanfaatan regulasi baru PMK 72/2024.

Pemprov NTB juga mendorong kabupaten/kota menganggarkan BPJS Ketenagakerjaan lewat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) .

Hingga 2024, Pemprov NTB tercatat telah menanggung kepesertaan 8.100 petani dan buruh tembakau, 4.083 penyelenggara Pilkada, serta 2.500 pekerja event MotoGP sebagai bentuk perluasan perlindungan bagi kelompok rentan.

Gambaran itu memperlihatkan betapa rapuhnya struktur tenaga kerja sektor wisata NTB, sebuah industri yang menjadi tumpuan hidup ribuan keluarga.

Risiko yang mereka hadapi juga tidak kecil, yakni pekerja panggung bergelut dengan alat berat dan cuaca tak menentu, kru event bekerja hingga dini hari, sementara pemandu wisata berjibaku dengan medan terjal, arus laut, serta keselamatan wisatawan.

Kerentanan itu tercermin dari tingginya klaim yang harus dibayarkan. BPJS Ketenagakerjaan NTB mencatat bahwa sepanjang 2024, lembaga tersebut membayar Rp453,5 miliar klaim untuk lebih dari 32 ribu kasus.

Angka itu menegaskan bahwa risiko sosial bukanlah bayangan atau asumsi, melainkan kenyataan yang dihadapi pekerja setiap hari.


Cerita pinggir

Suasana pagi yang sejuk mengantar langkah menuju sebuah warung kecil tempat para pemandu wisata Rinjani biasa berkumpul sebelum memulai pendakian.

Di sana, Zainal (45), seorang pemandu yang bekerja secara freelance, sedang memeriksa peralatan pendakian miliknya. Dengan wajah yang sudah akrab dengan kerasnya medan Rinjani, ia berbagi cerita tentang keseharian para guide.

“Kalau naik gunung, risiko jatuh, cedera, atau hilang selalu ada. Tapi banyak teman-teman guide belum punya perlindungan. Mereka pikir iurannya mahal, padahal cuma sekitar dua ribu sehari,” katanya sambil mengikat tali sepatu, seolah menegaskan betapa risikonya berjalan beriringan dengan pekerjaannya setiap hari.

Di Gili Trawangan, percakapan serupa muncul dari Lilis (31), seorang fotografer pantai yang pagi itu sedang menata peralatan kameranya di bawah rindang pohon kelapa. Ia baru saja selesai memotret pasangan wisatawan ketika momen sunyi membuka ruang berbagi cerita.

“Kalau ada kecelakaan di pantai atau kamera rusak karena tersapu ombak, kami tanggung sendiri. Tidak ada perlindungan apa-apa. Padahal kerja kami musiman, pendapatan tidak tetap,” ujarnya, sambil mengusap lensa kameranya yang mulai tergores air garam—seolah menjadi simbol rapuhnya perlindungan bagi pekerja sepertinya.

Kedua testimoni ini menunjukkan isu yang sama, yakni ketidaktahuan, akses terbatas, dan minimnya edukasi jaminan sosial.


Memperkuat perlindungan

Upaya memperluas perlindungan sosial bagi pekerja rentan di NTB terus digencarkan. Pemprov NTB kini menanggung 13.000 pekerja rentan mulai dari buruh tani hingga pekerja miskin melalui pembiayaan BPJS Ketenagakerjaan. Program tersebut didukung oleh dana DBHCHT serta kontribusi CSR.

“Manfaatnya sangat besar, terutama bagi pekerja informal yang berisiko tinggi,” ujar Asisten III Setda NTB, Eva Dewiyani dalam kegiatan monitoring dan evaluasi UCJ 2025 di Mataram.

Tentunya keterlibatan kabupaten/kota diperlukan untuk memperluas Universal Coverage Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UCJ).

Di sisi realisasi, Wakil Kepala Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Bali, Nusa Tenggara dan Papua (Banuspa) Agus Marpaung, menyebut capaian UCJ NTB per April 2025 baru 32 persen.

Sementara itu, Kepala BPJS Ketenagakerjaan NTB, Nasrullah Umar, mencatat baru 530 ribu dari potensi 1,2 juta pekerja yang terlindungi. “Mobilitas tinggi di sektor konstruksi membuat banyak pekerja keluar masuk kepesertaan,” jelasnya.

Untuk menjangkau pekerja yang paling sulit diakses, BPJS Ketenagakerjaan mengandalkan Program Perisai, para petugas desa yang bergerak dari satu komunitas ke komunitas lain untuk mengedukasi pekerja musiman dan pedagang kecil.

Melalui jaringan ini, literasi jaminan sosial menjangkau desa-desa wisata seperti Sembalun, Senaru, Kuta Mandalika, Moyo, hingga Maluk—wilayah yang menjadi denyut utama pariwisata NTB.

Langkah edukasi ini semakin kuat setelah terbitnya Fatwa MUI yang membolehkan dana ZIS digunakan untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja rentan.

Sementara itu, di ranah pengawasan, kolaborasi BPJS Ketenagakerjaan dengan Kejaksaan Tinggi NTB telah memulihkan iuran perusahaan penyelenggara event hingga miliaran rupiah, memastikan pekerja tidak kehilangan haknya.

Tidak kalah penting, pemerintah kabupaten/kota telah menerbitkan SK Universal Coverage Jamsostek, sebagai komitmen memperkecil jumlah pekerja informal yang belum terlindungi dan mempercepat tercapainya target UCJ di seluruh NTB.

Menata masa depan

Keberlanjutan industri pariwisata tidak cukup hanya dengan menjaga alam, budaya, dan promosi. Ia membutuhkan perlindungan manusia yang menghidupkannya.

Manfaat jaminan sosial bukan lagi sekadar konsep di atas kertas, tetapi telah terbukti nyata dirasakan para pekerja.

Sebanyak 700 anak pekerja memperoleh beasiswa dengan total mencapai Rp2,8 miliar, memastikan pendidikan mereka tetap berjalan meski keluarga sedang berduka.

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga menjadi penopang bagi pekerja hotel yang terdampak penurunan kunjungan wisatawan, memberikan ruang bernapas di tengah ketidakpastian.

Sementara itu, pelatihan dan informasi pasar kerja yang disiapkan BPJS Ketenagakerjaan membantu mempercepat penyerapan tenaga kerja baru, membuat pekerja lebih siap kembali memasuki dunia kerja dengan keterampilan yang lebih relevan.

Namun masalahnya tetap besar yakni 77,8 persen pekerja informal NTB belum terlindungi, sebagian besar adalah pekerja wisata.

Tanpa perlindungan, mereka menjadi fondasi rapuh pada industri yang terus bergerak cepat.

Hasil observasi lapangan, wawancara, dan analisis data mengerucut pada sejumlah langkah strategis yang perlu segera diperkuat.

Pemerintah daerah penting menyediakan anggaran khusus untuk melindungi pekerja musiman pariwisata, meniru model DBHCHT di Lombok Timur dan Pemprov NTB yang telah membuktikan efektivitasnya.

Di saat yang sama, para pelaku industri wisata harus mengambil tanggung jawab lebih besar dengan mendaftarkan seluruh pekerja event dan tenaga harian termasuk freelancer serta kru logistik agar tidak ada lagi pekerja yang luput dari perlindungan.

Desa-desa wisata dapat berperan sebagai pusat edukasi jaminan sosial, memanfaatkan jaringan Perisai dan koperasi desa untuk menjangkau para pedagang kecil, pekerja harian, dan pelaku usaha lokal.

Kolaborasi lintas sektor mulai dari pariwisata, UMKM, pemerintah desa, hingga BPJS Ketenagakerjaan perlu berjalan konsisten, tidak hanya menguat saat event besar berlangsung.

Untuk menjangkau pekerja paling rentan, skema pembiayaan seperti ZIS, CSR, dan dana sosial perusahaan harus dimaksimalkan sebagai sumber dukungan tambahan.

Semua ini bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam sekejap. Ini adalah pekerjaan berkelanjutan yang membutuhkan komitmen jangka panjang dan langkah yang terus dijaga.

Pesona Mandalika, Rinjani, Moyo, dan Gili Trawangan akan selalu memanggil wisatawan dari seluruh dunia. Namun kemajuan itu tidak boleh dibangun di atas pundak pekerja musiman yang dibiarkan tanpa perlindungan.

Membangun Indonesia melalui perlindungan pekerja yang inklusif berarti memastikan setiap pekerja tanpa kecuali bekerja dengan aman dan bermartabat.

Karena pariwisata hanya tumbuh ketika mereka yang menjaganya juga terlindungi. Mereka bekerja untuk NTB. Tugas kitalah memastikan mereka tidak berjalan sendirian.




COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.