Mataram, 25/10 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melibatkan pondok pesantren (ponpes) dalam mencegah kasus penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang sering terjadi di berbagai lokasi perairan NTB.
"Para Da'i dari berbagai pondok pesantren terlibat aktif menyadarkan umat agar tidak menangkap ikan dan biota laut dengan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang berlaku," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, H.M. Ali Syahdan, di Mataram, Ahad.
Ia mengatakan hal itu untuk menjelaskan upaya pemerintah daerah mencegah praktik penangkapan ikan secara ilegal.
Ia mengatakan, metode dakwah untuk pencegahan "penangkapan ikan secara ilegal" yang melibatkan para da'i dari berbagai pondok pesantren itu dianggap manjur karena NTB merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Data kependudukan yang diperoleh Depag NTB dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan, pemeluk agama Islam saat ini mencapai 3.942.066 jiwa (96,51 persen) dari total penduduk NTB sebanyak 4.143.292 jiwa.
Pemeluk agama Hindu mencapai 107.519 jiwa (2,63 persen), Budha 14.386 jiwa (0,35 persen) Kristen Protestan 10.541 jiwa (0,26 persen) dan Katolik sebanyak 9.498 jiwa (0,23 persen) serta Konghucu 174 orang (0,04 persen).
Jumlah mesjid di wilayah NTB sebanyak 5.157 unit (belum termasuk mushola dan langgar), gereja sebanyak 27 unit sembilan unit diantaranya merupakan gereja Katolik, pura sebanyak 42 unit dan wihara sebanyak 38 unit.
Menurut Syahdan, metoda dakwah untuk pencegahan 'illegal fishing' itu semula hanya terbatas pada lingkungan di sekitar pondok pesantren, kini sudah mencakup berbagai pemukiman nelayan.
Para Da'i terus mengingatkan umat untuk tidak melakukan 'illegal fishing' setiap menjelang sholat Jumat setiap pekan atau ceramah singkat di sela-sela rutinitas sholat lima waktu.
"Kami juga terus meningkatkan koordinasi dengan para tokoh agama dan pengelola pondok pesantren, terkait upaya pencegahan 'illegal fishing' itu dan memberi dukungan yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daerah," ujarnya.
Syahdan mengatakan, keterlibatan pondok pesantren dalam pencerahan umat beragama sehubungan dengan kelestarian ekosistem perairan NTB itu sangat berdampak positif.
Satu demi satu kelompok nelayan mengakui kekhilafannya kemudian mendatangi Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan NTB guna menyampaikan harapan-harapan terkait pengembangan usaha perikanan dan kelautan yang mereka geluti.
Dia mencontohkan, kelompok nelayan asal Teluk Dalam Tanjung Utara Pulau Lombok yang datang bersama kepala desa setempat untuk meminta bantuan pembinaan.
"Mereka mengaku tidak akan menggunakan bom ikan lagi asalkan diberi pembinaan usaha. Ada yang minta bantuan perahu dan peralatan penangkapan ikan lainnya serta peralatan menyelam untuk menangkap lobster dan kami sedang mengupayakannya dalam perencanaan keuangan," ujarnya. (*)
"Para Da'i dari berbagai pondok pesantren terlibat aktif menyadarkan umat agar tidak menangkap ikan dan biota laut dengan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang berlaku," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, H.M. Ali Syahdan, di Mataram, Ahad.
Ia mengatakan hal itu untuk menjelaskan upaya pemerintah daerah mencegah praktik penangkapan ikan secara ilegal.
Ia mengatakan, metode dakwah untuk pencegahan "penangkapan ikan secara ilegal" yang melibatkan para da'i dari berbagai pondok pesantren itu dianggap manjur karena NTB merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Data kependudukan yang diperoleh Depag NTB dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan, pemeluk agama Islam saat ini mencapai 3.942.066 jiwa (96,51 persen) dari total penduduk NTB sebanyak 4.143.292 jiwa.
Pemeluk agama Hindu mencapai 107.519 jiwa (2,63 persen), Budha 14.386 jiwa (0,35 persen) Kristen Protestan 10.541 jiwa (0,26 persen) dan Katolik sebanyak 9.498 jiwa (0,23 persen) serta Konghucu 174 orang (0,04 persen).
Jumlah mesjid di wilayah NTB sebanyak 5.157 unit (belum termasuk mushola dan langgar), gereja sebanyak 27 unit sembilan unit diantaranya merupakan gereja Katolik, pura sebanyak 42 unit dan wihara sebanyak 38 unit.
Menurut Syahdan, metoda dakwah untuk pencegahan 'illegal fishing' itu semula hanya terbatas pada lingkungan di sekitar pondok pesantren, kini sudah mencakup berbagai pemukiman nelayan.
Para Da'i terus mengingatkan umat untuk tidak melakukan 'illegal fishing' setiap menjelang sholat Jumat setiap pekan atau ceramah singkat di sela-sela rutinitas sholat lima waktu.
"Kami juga terus meningkatkan koordinasi dengan para tokoh agama dan pengelola pondok pesantren, terkait upaya pencegahan 'illegal fishing' itu dan memberi dukungan yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daerah," ujarnya.
Syahdan mengatakan, keterlibatan pondok pesantren dalam pencerahan umat beragama sehubungan dengan kelestarian ekosistem perairan NTB itu sangat berdampak positif.
Satu demi satu kelompok nelayan mengakui kekhilafannya kemudian mendatangi Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan NTB guna menyampaikan harapan-harapan terkait pengembangan usaha perikanan dan kelautan yang mereka geluti.
Dia mencontohkan, kelompok nelayan asal Teluk Dalam Tanjung Utara Pulau Lombok yang datang bersama kepala desa setempat untuk meminta bantuan pembinaan.
"Mereka mengaku tidak akan menggunakan bom ikan lagi asalkan diberi pembinaan usaha. Ada yang minta bantuan perahu dan peralatan penangkapan ikan lainnya serta peralatan menyelam untuk menangkap lobster dan kami sedang mengupayakannya dalam perencanaan keuangan," ujarnya. (*)