Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) melaporkan dugaan keterkaitan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam kasus Bank Century ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Kami mendesak KPK mengusut keterkaitan sejumlah BUMN yang menyimpan dana di Bank Century," kata Koordiator MAKI, Boyamin Saiman setelah melapor ke KPK di Jakarta, Rabu.

Dalam laporan bernomor 3546/56/12/2009 itu, Boyamin menyertakan data rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 13 November 2008.

Menurut Boyamin, dalam rapat itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Siti Ch. Fadjrijah diminta oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk melaporkan nasabah besar Bank Century.

Boyamin menjelaskan, sebagian nasabah yang dilaporkan oleh Siti Fadjrijah adalah BUMN, yaitu Jamsostek dengan simpanan sebesar Rp212 miliar, PT Telkom (Rp165 miliar), PT Perkebunan Nusantara (Rp10 miliar), PT Asabri (Rp5 miliar), dan PT Wijaya Karya (Rp20 miliar).

Boyamin meminta KPK juga menelusuri keberadaan dana sejumlah BUMN itu di Bank Century. Menurut dia, simpanan dana BUMN di bank swasta menyalahi aturan perundangan.

"Seharusnya BUMN menyimpan dana di bank umum pemerintah," kata Boyamin.

Dalam laporannya, Boyamin juga menyoroti tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp689 miliar yang dikucurkan oleh Bank Indonesia kepada Bank Century dalam kurun waktu 14 November 2008 sampai 18 November 2008.

Laporan Keuangan Bank Century per 30 Desember 2008 menyebutkan, Bank Century masih memiliki kewajiban melunasi FPJP sebesar Rp689 miliar.

Namun, pada Laporan Keuangan Bank Century per Juni 2009, Bank Century sudah tidak memiliki kewajiban pelunasan FPJP.

Berdasar data yang ada, kata Boyamin, Bank Century telah melunasi FPJP kepada BI pada Februari 2009.

Boyamin menduga, pelunasan FPJP itu menggunakan dana yang dihimpun oleh Bank Century melalui penjualan efek.

"Kami menduga pelunasan FPJP menggunakan hasil penjualan efek itu," kata Boyamin.

Menurut Boyamin, Bank Century berhasil menjual efek hingga mencapai Rp512,17 miliar karena berjanji akan membeli kembali saham itu dengan harga yang lebih tinggi.

Penjualan efek itu tertera dalam Neraca Bank Mutiara Bank Mutiara per 30 September 2009. Neraca itu mencantumkan kewajiban "Efek yang dijual dengan janji dibeli kembali" sebesar Rp512,17 miliar.

Boyamin menjelaskan, kewajiban "Efek yang dijual dengan janji dibeli kembali" sebesar Rp512,17 miliar itu berpotensi membebani negara.

Hal itu disebabkan kepemilikan Bank Century yang berubah menjadi Bank Mutiara masih di tangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Jadi sangat mungkin pelunasan pembelian efek itu akan menggunakan uang negara melalui LPS," kata Boyamin.(*)


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024