Mataram (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengoptimalkan sosialisasi buang air besar sembarangan (BABS) nol, guna mendukung target program pemerintah 100-0-100, dalam bidang sanitasi.
"Program 100-0-100, yakni 100 persen penyediaan air bersih, nol persen kawasan kumuh dan 100 persen sanitasi, menjadi salah satu program unggulan yang ditargertkan tuntas tahun depan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram dr H Usman Hadi di Mataram, Selasa.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan terakhir, dari 50 kelurahan di Kota Mataram sudah ada 42 kelurahan yang dinyatakan BABS nol, sehingga tersisa 8 kelurahan yang masih memiliki perilaku BABS.
Delapan kelurahan tersebut sebagian besar berada pada kawasan-kawasan pinggir sungai dan pinggir pantai. Karenanya, delapan kelurahan itu akan menjadi prioritas sasaran sosialisasi untuk terus dimotivasi agar bisa merubah perilaku.
Akan tetapi, sambung Usman, setelah terjadi gempa bumi tahun 2018, jumlah kelurahan yang BABS bertambah karena adanya jamban keluarga dan jamban komunal yang rusak. "Jumlah kelurahannya belum kami data kembali," katanya.
Menurutnya, kendala yang dihadapi Dinkes dalam melaksanakan program BABS nol ini sangat kompleks, di antaranya, belum semua masyarakat memiliki jamban komunal, faktor kebiasaan yang menganggap BABS lebih praktis dan yang paling berat adalah perilaku masyarakat.
"Untuk itulah, dalam hal ini kami butuh kerja ekstra untuk merubah perilaku masyarakat," katanya.
Sementara untuk mendukung program BABS nol, setiap tahun Dinkes Mataram mengalokasikan anggaran sebesar Rp90 juta untuk menyubsidi masyarakat untuk pembuatan jamban keluarga atau jamban komunal.
Dalam hal ini, Dinkes bersifat pasif atau menunggu masyarakat yang meminta bantuan pembuatan jamban.
"Kalau kami yang tawarkan, masyarakat cenderung lalai untuk pemeliharaan dan perawatan sehingga cepat rusak. Sebaliknya, kalau masyarakat yang minta mereka lebih bertanggung jawab dalam pengelolaanya," katanya.
Ia mengatakan, dalam pemberian subdisi bantuan pembuatan jamban keluarga atau jamban komunal tersebut, Dinkes tidak memberikan uang tunai, melainkan memberikan bahan bangunan yang dibutuhkan agar lebih tepat sasaran.
"Program 100-0-100, yakni 100 persen penyediaan air bersih, nol persen kawasan kumuh dan 100 persen sanitasi, menjadi salah satu program unggulan yang ditargertkan tuntas tahun depan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram dr H Usman Hadi di Mataram, Selasa.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan terakhir, dari 50 kelurahan di Kota Mataram sudah ada 42 kelurahan yang dinyatakan BABS nol, sehingga tersisa 8 kelurahan yang masih memiliki perilaku BABS.
Delapan kelurahan tersebut sebagian besar berada pada kawasan-kawasan pinggir sungai dan pinggir pantai. Karenanya, delapan kelurahan itu akan menjadi prioritas sasaran sosialisasi untuk terus dimotivasi agar bisa merubah perilaku.
Akan tetapi, sambung Usman, setelah terjadi gempa bumi tahun 2018, jumlah kelurahan yang BABS bertambah karena adanya jamban keluarga dan jamban komunal yang rusak. "Jumlah kelurahannya belum kami data kembali," katanya.
Menurutnya, kendala yang dihadapi Dinkes dalam melaksanakan program BABS nol ini sangat kompleks, di antaranya, belum semua masyarakat memiliki jamban komunal, faktor kebiasaan yang menganggap BABS lebih praktis dan yang paling berat adalah perilaku masyarakat.
"Untuk itulah, dalam hal ini kami butuh kerja ekstra untuk merubah perilaku masyarakat," katanya.
Sementara untuk mendukung program BABS nol, setiap tahun Dinkes Mataram mengalokasikan anggaran sebesar Rp90 juta untuk menyubsidi masyarakat untuk pembuatan jamban keluarga atau jamban komunal.
Dalam hal ini, Dinkes bersifat pasif atau menunggu masyarakat yang meminta bantuan pembuatan jamban.
"Kalau kami yang tawarkan, masyarakat cenderung lalai untuk pemeliharaan dan perawatan sehingga cepat rusak. Sebaliknya, kalau masyarakat yang minta mereka lebih bertanggung jawab dalam pengelolaanya," katanya.
Ia mengatakan, dalam pemberian subdisi bantuan pembuatan jamban keluarga atau jamban komunal tersebut, Dinkes tidak memberikan uang tunai, melainkan memberikan bahan bangunan yang dibutuhkan agar lebih tepat sasaran.