Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) kesulitan mendata pasangan suami istri yang telah menikah siri karena yang bersangkutan tidak mau melaporkan adanya ikatan perkawinan itu.

     "Jadinya kami pun tidak punya data pasangan nikah siri, karena memang mereka pun tidak memberi tahu," kata Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Keluarga Berencana (KB) Provinsi NTB, Ratningdiyah, di Mataram, Sabtu.

     Ia mengatakan, pemerintah menjadi tahu adanya pernikahan siri berdasarkan cerita yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

     Apalagi nikah siri di Pulau Lombok sudah terjadi sejak puluhan tahun silam dan prosesnya pun relatif mudah, hanya ada wali nikah, penghulu dan saksi.

     Bisanya pemerintah (Pengadilan Agama, Red) menjadi tahu telah terjadi nikah siri ketika salah satu pihak, umumnya pihak perempuan, mengajukan cerai karena ingin kawin lagi setelah ditinggal pergi suaminya, termasuk ditinggal pergi ke Malaysia sebagai TKI.

     Nikah siri itu hanya dipertanggungjawabkan secara agama sehingga perceraiannya diajukan ke Pengadilan Agama setempat.

     "Tentu saja, perceraian yang kami data bukan pada pasangan nikah siri karena memang pasangan nikah siri tidak mau didata," ujarnya.

     Sebelumnya, Ratningdiyah mengungkapkan adanya 3.231 kasus perceraian yang dialami warga NTB selama tahun 2009 di tujuh kabupaten/kota di wilayah NTB.

     Jika dibandingkan dengan kasus perceraian di tahun 2008 yang mencapai 2.251 kasus, maka terjadi peningkatan yang cukup signifikan yakni sebanyak 980 kasus (30 persen).

     Kasus perceraian tertinggi terjadi di Kabupaten/Kota Bima yakni sebanyak 790 kasus, disusul Kabupaten Sumbawa dengan 730 kasus, dan Kabupaten Lombok Timur dengan 473 kasus.

     Perceraian di Kabupaten Dompu selama tahun 2009 mencapai 461 kasus, Kabupaten Lombok Tengah 448 kasus, Kota Mataram 218 kasus dan Kabupaten Lombok Barat sebanyak 169 kasus.     

     "Kasus perceraian di wilayah NTB itu umumnya didominasi oleh poligami dan persoalan ekonomi," ujarnya.

     Menurut Ratningdiyah, terdapat sedikitnya 13 faktor penyebab terjadinya perceraian di wilayah NTB yakni poligami, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggungjawab, kawin di bawah umur, kekerasan jasmani, kekejaman mental, politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan dan penyebab lainnya.

     Perceraian itu juga dipicu oleh perwakinan usia dini yang berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), apalagi pasangan suami istri itu minim pengetahuan dan wawasan rumah tangga.

     "Apalagi, perlindungan keamanan terhadap perempuan sangat minim dan kurangnya fasilitas penanganan cepat atas masalah kekerasan yang dihadapi perempuan," ujarnya.(*)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024