Mataram (ANTARA) - Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) baru menuntaskan Rapat Umum Anggota ke-17 di Jakarta, pada Jumat, 29/11. Ada hal menarik dalam perhelatan empat tahunan itu kali ini dan diklaim merupakan sejarah baru bagi organisasi. Untuk pertama kalinya, ketua umum dan pengawas dipilih secara aklamasi oleh peserta RUA. Biasanya, kedua posisi kunci tersebut diperebutkan dengan sengit. Saking sengitnya persaingan antara para kandidat, ketua umum khususnya, INSA akhirnya terbelah dua.
Situasi di muka terjadi dalam RUA empat tahun lalu. Tetapi, atmosfir kebersamaan terasa amat kental dalam forum tertinggi organisasi para pemilik kapal nasional itu Jumat lalu. Saya yang berkesempatan hadir dan mengikutinya hingga selesai bisa merasakannya. Suasana batin yang cair seperti itulah yang barangkali menjadi salah satu faktor terpilihnya Sugiman Layanto, Managing Director PT Wintermar Offshore Marine, Tbk, sebagai ketua umum INSA periode 2019-2023.
Adapun untuk posisi pengawas terpilih Hadi Surya, bos PT Berlian Laju Tanker, Tbk. Semula floor juga mencalonkan Johnson W. Sutjipto, ketua umum INSA periode 2015-2019, untuk jabatan ini. Namun, owner perusahaan pelayaran PT Salam Bahagia dan galangan kapal Mariana Bahagia, itu menolaknya. Berlari kecil dari kursi deret belakang menuju mikropon di panggung depan, lelaki plontos ini lalu mengatakan, “Saya mau fokus pada pekerjaan baru sebagai pelari. Jadi, saya menolak dicalonkan menjadi pengawas,” ujarnya disambut tepuk tangan meriah para peserta RUA.
Pria asal Palembang, Sumatera Selatan, itu memang layak diapresiasi oleh rekan-rekannya sesama pemilik kapal. Ia berhasil menavigasi INSA melewati badai yang menghadang pasca RUA ke-16 di Jakarta pada 2015. Publik mencatat setelah rapat besar ini, kembali dihelat RUA susulan di Surabaya, Jawa Timur. Sejak saat itu, shipowner Indonesia memiliki dua organisasi yang memayungi mereka. Saat ini ada 442 perusahaan pelayaran yang bernaung di bawah “INSA Indonesia” – branding baru untuk organisasi yang ditinggalkan Johnson.
Arah Ke Depan
Rapat Umum Anggota ke-17 bukan hanya sekedar ajang kangen-kangenan. Saya mencatat beberapa hal penting yang dibicarakan. Bobotnya amat strategis bagi perjalanan bisnis pelayaran nasional ke depan, paling tidak dalam empat tahun kepemimpinan Sugiman Layanto.
Pertama, mendorong pemerintah untuk segera merevisi peraturan dan kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan industri pelayaran nasional. Konkretnya, menghapus Pasal 7 Huruf G Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.76 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru.
INSA menilai peraturan tersebut kontradiktif di mana pemerintah baru akan memberikan izin impor setelah proses ganti bendera selesai dilakukan. Padahal, proses ini memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Surveyor membutuhkan waktu 3 hari kerja untuk survei dan tambahan 2 hari lagi untuk membuat laporannya. Pengusaha pelayaran Indonesia yang akan membeli kapal bekas dari luar negeri harus merogoh kocek senilai Rp125 juta buat urusan survei. Sementara, sebelum kapal akan dijual oleh pemilik pertama, flag state dan biro klasifikasi sudah pula melakukan survei.
INSA meminta sebaiknya masalah ganti bendera ini dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Permendag No.118 tahun 2018. Organisasi ini juga meminta perbaikan terhadap Surat Edaran Kepala SKK Migas No. SRT-0102/SKKMA0000/2018/S6 tertanggal 7 Februari 2018 tentang Kewajiban Penggunaan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Dalam Operasi Perkapalan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Aturan itu memicu biaya tinggi (high cost economy) bagi pengusaha pelayaran karena terjadi praktik double-class. Maksudnya, sebelum diklas oleh BKI, kapal-kapal perminyakan sudah diklas oleh klas asing sebagai syarat agar bisa mendapat kontrak dari perusahaan perminyakan. Aturan SKK Migas tersebut meminta agar kapal tadi diklas kembali oleh BKI. Ya, jelas double-class dong. Ada banyak lagi yang diminta oleh INSA tetapi saya cukupkan dua aturan saja.
Kedua, meminta pemerintah tetap teguh menjalankan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan mengawal agar kebijakan asas cabotage yang sudah berjalan sejak 2005 dapat dilaksanakan secara konsekuen dan bahkan perlu diperkuat dengan program beyond cabotage. Sejalan dengan ini, INSA berharap agar Permendag No.82 tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu dalam rangka mendukung program tersebut dapat dilaksanakan.
Ketiga, mendorong pemerintah untuk memangkas birokasi administrasi pelayanan bidang angkutan laut dan kepelabuhanan agar menjadi lebih efisien dan efektif dengan menerapkan layanan berbasis online dan menerapkan prinsip no service no pay. Keempat, meminta pemerintah memangkas jumlah pelabuhan terbuka di Indonesia untuk memperbesar pangsa muatan dalam negeri dan mendorong keseimbangan muatan antar pelabuhan.
INSA sejak awal mengusulkan agar pelabuhan terbuka cukup lima pelabuhan atau maksium 10 pelabuhan yakni Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan Sorong.
Kelima, mendesak pemerintah memperbesar pelibatan anggota INSA dalam kegiatan layanan angkutan laut bersubsidi (tol laut) dengan menjadi operator kapal-kapal tol laut yang dibangun Pemerintah. Keenam, mendorong terwujudnya Sea and Coast Guard sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Pelayaran.
Ketujuh, mendorong pemerintah agar memperbaiki citra Indonesia di mata dunia internasional dengan mengeluarkan Indonesia dari daftar Top Ten Tokyo MoU dengan melibatkan klasifikasi luar negeri dalam kegiatan statutory kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
Terakhir, bersama pemerintah, INSA ingin mengawal agar Joint War Committee (JWC) tidak memasukkan perairan Indonesia ke dalam daftar perairan rawan perang atau war risk zone. Dikeluarkannya Indonesia dari daftar ini tahun lalu sedikit banyak akibat lobi INSA Indonesia kepada kumpulan underwriter yang bermarkas di London, Inggris itu.
Sayang, ada beberapa hal yang sepertinya luput dari perhatian INSA Indonesia. Misalnya, bagaimana revolusi industri 4.0 akan diterapkan dalam industri pelayaran dalam negeri. Saya tidak menemukan isu ini dalam dokumen RUA yang dibagikan kepada para peserta. Bahkan, mendengar kata “revolusi industri 4.0” diucapkan dalam forum pun tidak. Barangkali isu ini akan dibicarakan dalam rapat kerja nanti. Entahlah.
Last but not least, isu gaji pokok khusus/upah sektoral untuk pelaut dalam negeri juga tidak muncul. Padahal, sebagai ujung tombak perusahaan pelayaran pelaut domestik amat sangat membutuhkannya. Sudah tak terhitung banyaknya tuntutan terkait isu ini disuarakan oleh para pelaut lokal namun tetap saja tak kunjung ada solusi. Untuk yang satu ini, ada baiknya ketua umum INSA terpilih Sugiman Layanto dapat menyelesaikannya dalam kesempatan pertama. Semoga. Proficiat INSA Indonesia!
Situasi di muka terjadi dalam RUA empat tahun lalu. Tetapi, atmosfir kebersamaan terasa amat kental dalam forum tertinggi organisasi para pemilik kapal nasional itu Jumat lalu. Saya yang berkesempatan hadir dan mengikutinya hingga selesai bisa merasakannya. Suasana batin yang cair seperti itulah yang barangkali menjadi salah satu faktor terpilihnya Sugiman Layanto, Managing Director PT Wintermar Offshore Marine, Tbk, sebagai ketua umum INSA periode 2019-2023.
Adapun untuk posisi pengawas terpilih Hadi Surya, bos PT Berlian Laju Tanker, Tbk. Semula floor juga mencalonkan Johnson W. Sutjipto, ketua umum INSA periode 2015-2019, untuk jabatan ini. Namun, owner perusahaan pelayaran PT Salam Bahagia dan galangan kapal Mariana Bahagia, itu menolaknya. Berlari kecil dari kursi deret belakang menuju mikropon di panggung depan, lelaki plontos ini lalu mengatakan, “Saya mau fokus pada pekerjaan baru sebagai pelari. Jadi, saya menolak dicalonkan menjadi pengawas,” ujarnya disambut tepuk tangan meriah para peserta RUA.
Pria asal Palembang, Sumatera Selatan, itu memang layak diapresiasi oleh rekan-rekannya sesama pemilik kapal. Ia berhasil menavigasi INSA melewati badai yang menghadang pasca RUA ke-16 di Jakarta pada 2015. Publik mencatat setelah rapat besar ini, kembali dihelat RUA susulan di Surabaya, Jawa Timur. Sejak saat itu, shipowner Indonesia memiliki dua organisasi yang memayungi mereka. Saat ini ada 442 perusahaan pelayaran yang bernaung di bawah “INSA Indonesia” – branding baru untuk organisasi yang ditinggalkan Johnson.
Arah Ke Depan
Rapat Umum Anggota ke-17 bukan hanya sekedar ajang kangen-kangenan. Saya mencatat beberapa hal penting yang dibicarakan. Bobotnya amat strategis bagi perjalanan bisnis pelayaran nasional ke depan, paling tidak dalam empat tahun kepemimpinan Sugiman Layanto.
Pertama, mendorong pemerintah untuk segera merevisi peraturan dan kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan industri pelayaran nasional. Konkretnya, menghapus Pasal 7 Huruf G Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.76 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru.
INSA menilai peraturan tersebut kontradiktif di mana pemerintah baru akan memberikan izin impor setelah proses ganti bendera selesai dilakukan. Padahal, proses ini memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Surveyor membutuhkan waktu 3 hari kerja untuk survei dan tambahan 2 hari lagi untuk membuat laporannya. Pengusaha pelayaran Indonesia yang akan membeli kapal bekas dari luar negeri harus merogoh kocek senilai Rp125 juta buat urusan survei. Sementara, sebelum kapal akan dijual oleh pemilik pertama, flag state dan biro klasifikasi sudah pula melakukan survei.
INSA meminta sebaiknya masalah ganti bendera ini dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Permendag No.118 tahun 2018. Organisasi ini juga meminta perbaikan terhadap Surat Edaran Kepala SKK Migas No. SRT-0102/SKKMA0000/2018/S6 tertanggal 7 Februari 2018 tentang Kewajiban Penggunaan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Dalam Operasi Perkapalan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Aturan itu memicu biaya tinggi (high cost economy) bagi pengusaha pelayaran karena terjadi praktik double-class. Maksudnya, sebelum diklas oleh BKI, kapal-kapal perminyakan sudah diklas oleh klas asing sebagai syarat agar bisa mendapat kontrak dari perusahaan perminyakan. Aturan SKK Migas tersebut meminta agar kapal tadi diklas kembali oleh BKI. Ya, jelas double-class dong. Ada banyak lagi yang diminta oleh INSA tetapi saya cukupkan dua aturan saja.
Kedua, meminta pemerintah tetap teguh menjalankan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan mengawal agar kebijakan asas cabotage yang sudah berjalan sejak 2005 dapat dilaksanakan secara konsekuen dan bahkan perlu diperkuat dengan program beyond cabotage. Sejalan dengan ini, INSA berharap agar Permendag No.82 tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu dalam rangka mendukung program tersebut dapat dilaksanakan.
Ketiga, mendorong pemerintah untuk memangkas birokasi administrasi pelayanan bidang angkutan laut dan kepelabuhanan agar menjadi lebih efisien dan efektif dengan menerapkan layanan berbasis online dan menerapkan prinsip no service no pay. Keempat, meminta pemerintah memangkas jumlah pelabuhan terbuka di Indonesia untuk memperbesar pangsa muatan dalam negeri dan mendorong keseimbangan muatan antar pelabuhan.
INSA sejak awal mengusulkan agar pelabuhan terbuka cukup lima pelabuhan atau maksium 10 pelabuhan yakni Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan Sorong.
Kelima, mendesak pemerintah memperbesar pelibatan anggota INSA dalam kegiatan layanan angkutan laut bersubsidi (tol laut) dengan menjadi operator kapal-kapal tol laut yang dibangun Pemerintah. Keenam, mendorong terwujudnya Sea and Coast Guard sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Pelayaran.
Ketujuh, mendorong pemerintah agar memperbaiki citra Indonesia di mata dunia internasional dengan mengeluarkan Indonesia dari daftar Top Ten Tokyo MoU dengan melibatkan klasifikasi luar negeri dalam kegiatan statutory kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
Terakhir, bersama pemerintah, INSA ingin mengawal agar Joint War Committee (JWC) tidak memasukkan perairan Indonesia ke dalam daftar perairan rawan perang atau war risk zone. Dikeluarkannya Indonesia dari daftar ini tahun lalu sedikit banyak akibat lobi INSA Indonesia kepada kumpulan underwriter yang bermarkas di London, Inggris itu.
Sayang, ada beberapa hal yang sepertinya luput dari perhatian INSA Indonesia. Misalnya, bagaimana revolusi industri 4.0 akan diterapkan dalam industri pelayaran dalam negeri. Saya tidak menemukan isu ini dalam dokumen RUA yang dibagikan kepada para peserta. Bahkan, mendengar kata “revolusi industri 4.0” diucapkan dalam forum pun tidak. Barangkali isu ini akan dibicarakan dalam rapat kerja nanti. Entahlah.
Last but not least, isu gaji pokok khusus/upah sektoral untuk pelaut dalam negeri juga tidak muncul. Padahal, sebagai ujung tombak perusahaan pelayaran pelaut domestik amat sangat membutuhkannya. Sudah tak terhitung banyaknya tuntutan terkait isu ini disuarakan oleh para pelaut lokal namun tetap saja tak kunjung ada solusi. Untuk yang satu ini, ada baiknya ketua umum INSA terpilih Sugiman Layanto dapat menyelesaikannya dalam kesempatan pertama. Semoga. Proficiat INSA Indonesia!