Jakarta (ANTARA) - Konsultan Colliers International Indonesia menyatakan bahwa peritel besar mulai bereksperimen dengan konsep toko kecil, selain melakukan penjualan secara daring untuk merengkuh kalangan pembeli milenial yang lebih suka pengalaman personal.
"Tingkat hunian (mal/pusat perbelanjaan) menurun karena format ritel mulai bergerak ke arah yang lebih kecil," kata Senior Associate Director Colliers International Indonesia, Ferry Salanto di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, fenomena banyaknya outlet atau toko berukuran besar yang tutup dari sejumlah peritel besar pada 2019 kemungkinan akan terus berlanjut pada 2020 ini bila mereka tidak beradaptasi.
Apalagi, ia mengingatkan bahwa kondisi pasar saat ini lebih banyak didorong oleh kalangan milenial serta perilaku pembeli yang cenderung mengalami perubahan. Hasil riset Colliers menyatakan bahwa pasar ritel telah terfragmentasi cukup lama sehingga para peritel mencari model yang lebih konsolidasi dan menyeluruh.
Sebelumnya Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Nika Pranata melansir hasil penelitian tentang penjual dan pembeli online di Indonesia, salah satunya mengupas alasan orang Indonesia senang belanja produk impor secara online.
“Ada dua alasan, pertama adalah produknya langka atau tidak tersedia di Indonesia dan kedua harganya murah,” kata Nika.
Nika memaparkan hasil penelitian tersebut didapat dari survei yang dilakukan terhadap 1.626 responden yang terdiri dari 820 pembeli online dan 806 penjual online yang tersebut di Pulau Jawa, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara.
Dari sisi pembeli, ditemukan tiga platform digital yang paling sering digunakan oleh pembeli online asal Indonesia yakni Alibaba dan Aliexpress asal China, serta Amazon asal Amerika Serikat.
Menurut Nika, kebanyakan pembeli asal Indonesia menggunakan platform tersebut untuk berbelanja peralatan elektronik seperti ponsel, kamera, laptop, dan komputer. Selain itu produk aksesori elektronik, yakni audio, printer, penyimpanan data, hingga aksesori hp juga banyak dicari.
Ia menambahkan berdasarkan temuan lapangan hampir semua penjual online Indonesia menyatakan bahwa praktik tersebut menurunkan penjualan mereka dan mengancam keberlangsungan bisnisnya.
“Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, 90 persen barang yang dijual secara online merupakan produk impor. Nah, hal ini membuat persaingan semakin ketat,” ujar Nika.
Nika menyampaikan saat ini dunia memasuki era perdagangan tanpa batas, pergerakan barang dan jasa menjadi sangat mudah. Dampaknya, impor barang melalui e-commerce meningkat tajam.
Sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan ekspor yang dilakukan melalui platform daring akan dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terjadi saat ini.
"Satu hal yang pasti, kita akan bisa survive (bertahan) dengan apa yang tampaknya kecil tapi kalau dilakukan bersama-sama, yaitu penjualan (ekspor) melalui online, ini benar-benar membantu," katanya di Jakarta, Senin (14/10).
Menurut Enggar, saat ini Indonesia bersaing dengan seluruh dunia untuk merebut pasar yang ada. Namun, cara tradisional kini tidak lagi relevan digunakan karena memerlukan waktu lama.
"Tingkat hunian (mal/pusat perbelanjaan) menurun karena format ritel mulai bergerak ke arah yang lebih kecil," kata Senior Associate Director Colliers International Indonesia, Ferry Salanto di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, fenomena banyaknya outlet atau toko berukuran besar yang tutup dari sejumlah peritel besar pada 2019 kemungkinan akan terus berlanjut pada 2020 ini bila mereka tidak beradaptasi.
Apalagi, ia mengingatkan bahwa kondisi pasar saat ini lebih banyak didorong oleh kalangan milenial serta perilaku pembeli yang cenderung mengalami perubahan. Hasil riset Colliers menyatakan bahwa pasar ritel telah terfragmentasi cukup lama sehingga para peritel mencari model yang lebih konsolidasi dan menyeluruh.
Sebelumnya Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Nika Pranata melansir hasil penelitian tentang penjual dan pembeli online di Indonesia, salah satunya mengupas alasan orang Indonesia senang belanja produk impor secara online.
“Ada dua alasan, pertama adalah produknya langka atau tidak tersedia di Indonesia dan kedua harganya murah,” kata Nika.
Nika memaparkan hasil penelitian tersebut didapat dari survei yang dilakukan terhadap 1.626 responden yang terdiri dari 820 pembeli online dan 806 penjual online yang tersebut di Pulau Jawa, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara.
Dari sisi pembeli, ditemukan tiga platform digital yang paling sering digunakan oleh pembeli online asal Indonesia yakni Alibaba dan Aliexpress asal China, serta Amazon asal Amerika Serikat.
Menurut Nika, kebanyakan pembeli asal Indonesia menggunakan platform tersebut untuk berbelanja peralatan elektronik seperti ponsel, kamera, laptop, dan komputer. Selain itu produk aksesori elektronik, yakni audio, printer, penyimpanan data, hingga aksesori hp juga banyak dicari.
Ia menambahkan berdasarkan temuan lapangan hampir semua penjual online Indonesia menyatakan bahwa praktik tersebut menurunkan penjualan mereka dan mengancam keberlangsungan bisnisnya.
“Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, 90 persen barang yang dijual secara online merupakan produk impor. Nah, hal ini membuat persaingan semakin ketat,” ujar Nika.
Nika menyampaikan saat ini dunia memasuki era perdagangan tanpa batas, pergerakan barang dan jasa menjadi sangat mudah. Dampaknya, impor barang melalui e-commerce meningkat tajam.
Sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan ekspor yang dilakukan melalui platform daring akan dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terjadi saat ini.
"Satu hal yang pasti, kita akan bisa survive (bertahan) dengan apa yang tampaknya kecil tapi kalau dilakukan bersama-sama, yaitu penjualan (ekspor) melalui online, ini benar-benar membantu," katanya di Jakarta, Senin (14/10).
Menurut Enggar, saat ini Indonesia bersaing dengan seluruh dunia untuk merebut pasar yang ada. Namun, cara tradisional kini tidak lagi relevan digunakan karena memerlukan waktu lama.