Mataram (ANTARA) - Mantan Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Irjen Pol Nana Sudjana yang kini diangkat dalam jabatan baru sebagai Kapolda Metro Jaya, mengatakan, masalah Hak Guna Usaha (HGU) Trawangan yang dipegang PT Gili Trawangan Indah (GTI) menjadi pekerjaan rumah (PR) kapolda yang baru, Irjen Pol Tomsi Tohir.
"Masalah GTI itu jadi 'PR' kapolda selanjutnya (Irjen Pol Tomsi Tohir)," kata Nana Sudjana ketika hadir mendampingi Inspektur upacara "farewell and Welcome Parade Kapolda NTB" Irjen Pol Tomsi Tohir di Lapangan Gajah Mada, Mapolda NTB, Senin.
Terkait dengan pernyataan tersebut, Kapolda NTB yang baru, Irjen Pol Tomsi Tohir belum memberikan keterangan lebih lanjut.
Sebelumnya, Polda NTB pada masa kepemimpinan Irjen Pol Nana Sudjana sempat melirik persoalan yang kabarnya telah muncul dugaan wanprestasi dalam kesepakatan antara pihak pengelola dari PT GTI dengan pemerintah terkait pembangunan usaha diatas lahan destinasi wisata tersebut.
Dengan niat mengumpulkan keterangan lapangan, Polda NTB berencana menerjunkan tim handalnya dari Subdit III Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus).
Namun demikian, usai pergantian pejabat Direktur Ditreskrimsus Polda NTB berganti dari Kombes Pol Syamsudin Baharuddin kepada Kombes Pol I Gusti Putu Gede Ekawana Putra pada akhir tahun 2019, rencana itu belum terlihat.
Persoalan HGU Trawangan yang dikelola PT GTI ini muncul kali pertamanya dari hasil sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam persoalan ini KPK melihat kontrak kerja antara Pemprov NTB dengan PT GTI atas pengelolaan objek tanah dengan golongan tanah pariwisata di kawasan wisata Gili Trawangan.
Dari hasil telaahnya, KPK mendorong Pemprov NTB untuk segera menertibkan aset tersebut. Karena bila dibiarkan, negara telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang cukup besar dari sektor pariwisata.
Kemudian berkaitan dengan pengelolaan, muncul harga triliunan rupiah yang berasal dari peninjauan dan penilaian ulang perihal objek pajak tanah yang dikeluarkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018.
Nilai aset yang merupakan sebidang lahan seluas 65 hektare dengan masa kontrak selama 70 tahun tersebut ditaksir mencapai Rp2,3 triliun.
Apalagi jika dilihat dari hasil kajian Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan di bawah kelola PT GTI. Banyak ditemukan persoalan yang merugikan pemerintah. Seluruh hasil kajiannya terindikasi mengarah pada perbuatan melawan hukum.
Adapun hasil kajian yang tercatat Bidang Datun Kejati NTB mendasarkan pada perjanjian kerja sama antara PT GTI dengan Pemprov NTB yang kabarnya sudah berjalan 23 tahun lamanya.
Hal pertama yang menjadi kajian hukumnya dilihat dari luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti yang dibayarkan PT GTI per tahunnya, yakni sebesar Rp22.250.000.
Belum lagi dilihat dari tumbuhnya ladang bisnis secara masif. Dari atas lahan tersebut, bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang berperan sebagai pemegang tunggal sertifikat HGU lahan seluas 65 hektare.
Dari kajiannya, keuntungan bisnis yang tumbuh liar di atas lahan PT GTI tersebut per tahunnya ditaksir mencapai angka Rp24 miliar. Dengan angka sekian, sangat disayangkan jika lahan tersebut tidak dimonopoli oleh pemerintah.
lebih dalam lagi perihal materi perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang katanya akan habis pada tahun 2065.
Dalam aturan kerja sama yang melahirkan sebuah sertifikat HGB, jaksa memastikan tidak ada masa kontrak yang berlaku selama 70 tahun. Melainkan dalam aturannya itu berlaku untuk kali pertama 30 tahun dan bila pertumbuhan usahanya menguntungkan, HGB dapat diperpanjang sampai 20 tahun.
Kemudian dalam perjanjian kontrak kerja samanya, PT GTI tidak menepati janji untuk membayar royalti yang seharusnya setiap 10 tahun ada kenaikan sebesar 10 persen.
Bahkan, warga yang sebelumnya bermukim dalam kawasan PT GTI dengan pegangan hukum berupa surat Hak Pengelolaan Atas Tanah-nya (HPL), digusur secara paksa. Hal yanh dilakukan setelah PT GTI mengantongi sertifikat HGB, ada sebanyak 720 KK yang angkat kaki dari dalam lahan tersebut.
Karenanya, berangkat dari hasil kajian ini, kejaksaan menyarankan pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memutus kontrak PT GTI dan memberikan kesempatan kepada pihak swasta lainnya untuk mengelola lahan tersebut menjadi lebih produktif.
Dengan latar belakang yang demikian, Pemprov NTB hingga kini belum mengambil langkah kongkret. Melainkan persoalan tersebut masih akan melalui pembahasan lebih dalam bersama tim terpadu yang dikatakan beranggotakan dari pejabat Polda NTB dan juga forkopimda.
"Masalah GTI itu jadi 'PR' kapolda selanjutnya (Irjen Pol Tomsi Tohir)," kata Nana Sudjana ketika hadir mendampingi Inspektur upacara "farewell and Welcome Parade Kapolda NTB" Irjen Pol Tomsi Tohir di Lapangan Gajah Mada, Mapolda NTB, Senin.
Terkait dengan pernyataan tersebut, Kapolda NTB yang baru, Irjen Pol Tomsi Tohir belum memberikan keterangan lebih lanjut.
Sebelumnya, Polda NTB pada masa kepemimpinan Irjen Pol Nana Sudjana sempat melirik persoalan yang kabarnya telah muncul dugaan wanprestasi dalam kesepakatan antara pihak pengelola dari PT GTI dengan pemerintah terkait pembangunan usaha diatas lahan destinasi wisata tersebut.
Dengan niat mengumpulkan keterangan lapangan, Polda NTB berencana menerjunkan tim handalnya dari Subdit III Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus).
Namun demikian, usai pergantian pejabat Direktur Ditreskrimsus Polda NTB berganti dari Kombes Pol Syamsudin Baharuddin kepada Kombes Pol I Gusti Putu Gede Ekawana Putra pada akhir tahun 2019, rencana itu belum terlihat.
Persoalan HGU Trawangan yang dikelola PT GTI ini muncul kali pertamanya dari hasil sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam persoalan ini KPK melihat kontrak kerja antara Pemprov NTB dengan PT GTI atas pengelolaan objek tanah dengan golongan tanah pariwisata di kawasan wisata Gili Trawangan.
Dari hasil telaahnya, KPK mendorong Pemprov NTB untuk segera menertibkan aset tersebut. Karena bila dibiarkan, negara telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang cukup besar dari sektor pariwisata.
Kemudian berkaitan dengan pengelolaan, muncul harga triliunan rupiah yang berasal dari peninjauan dan penilaian ulang perihal objek pajak tanah yang dikeluarkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018.
Nilai aset yang merupakan sebidang lahan seluas 65 hektare dengan masa kontrak selama 70 tahun tersebut ditaksir mencapai Rp2,3 triliun.
Apalagi jika dilihat dari hasil kajian Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan di bawah kelola PT GTI. Banyak ditemukan persoalan yang merugikan pemerintah. Seluruh hasil kajiannya terindikasi mengarah pada perbuatan melawan hukum.
Adapun hasil kajian yang tercatat Bidang Datun Kejati NTB mendasarkan pada perjanjian kerja sama antara PT GTI dengan Pemprov NTB yang kabarnya sudah berjalan 23 tahun lamanya.
Hal pertama yang menjadi kajian hukumnya dilihat dari luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti yang dibayarkan PT GTI per tahunnya, yakni sebesar Rp22.250.000.
Belum lagi dilihat dari tumbuhnya ladang bisnis secara masif. Dari atas lahan tersebut, bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang berperan sebagai pemegang tunggal sertifikat HGU lahan seluas 65 hektare.
Dari kajiannya, keuntungan bisnis yang tumbuh liar di atas lahan PT GTI tersebut per tahunnya ditaksir mencapai angka Rp24 miliar. Dengan angka sekian, sangat disayangkan jika lahan tersebut tidak dimonopoli oleh pemerintah.
lebih dalam lagi perihal materi perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang katanya akan habis pada tahun 2065.
Dalam aturan kerja sama yang melahirkan sebuah sertifikat HGB, jaksa memastikan tidak ada masa kontrak yang berlaku selama 70 tahun. Melainkan dalam aturannya itu berlaku untuk kali pertama 30 tahun dan bila pertumbuhan usahanya menguntungkan, HGB dapat diperpanjang sampai 20 tahun.
Kemudian dalam perjanjian kontrak kerja samanya, PT GTI tidak menepati janji untuk membayar royalti yang seharusnya setiap 10 tahun ada kenaikan sebesar 10 persen.
Bahkan, warga yang sebelumnya bermukim dalam kawasan PT GTI dengan pegangan hukum berupa surat Hak Pengelolaan Atas Tanah-nya (HPL), digusur secara paksa. Hal yanh dilakukan setelah PT GTI mengantongi sertifikat HGB, ada sebanyak 720 KK yang angkat kaki dari dalam lahan tersebut.
Karenanya, berangkat dari hasil kajian ini, kejaksaan menyarankan pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memutus kontrak PT GTI dan memberikan kesempatan kepada pihak swasta lainnya untuk mengelola lahan tersebut menjadi lebih produktif.
Dengan latar belakang yang demikian, Pemprov NTB hingga kini belum mengambil langkah kongkret. Melainkan persoalan tersebut masih akan melalui pembahasan lebih dalam bersama tim terpadu yang dikatakan beranggotakan dari pejabat Polda NTB dan juga forkopimda.