Pesepakbola katakan sepak bola sebagai karier populer
Jakarta (ANTARA) - Bangsa Indonesia sudah mengenal sepak bola sejak lebih dari 100 tahun lalu. Karel Stokkermans dalam tulisannya berjudul Dutch East Indies Football History menuliskan tentang awal mula berdirinya federasi sepak bola pertama di Indonesia bernama Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) atau Asosiasi Sepak Bola Hindia Belanda.
NIVB yang menjadi cikal bakal PSSI, mendapat legitimasi dari pemerintah pada Oktober 1919 dan memperoleh pengakuan FIFA pada april 1924.
Banyak club sepak bola dari berbagai daerah bernaung di bawah NIVB. Beberapa dari klub sepak bola di Hindia Belanda saat itu sejatinya sudah berdiri sejak akhir abad ke 19. Artinya sepak bola sudah dipertandingkan sejak lama, jauh sebelum NIVB didirikan.
Ini pula sebagaimana yang tercatat dalam buku karya Berretty berjudul 40 Jaar Voetbal in Nederlandsc-Indie 1894-1934. Pada mulanya, para atlet sepak bola hanya terdiri dari orang-orang Eropa (Belanda) dan Tionghoa.
Barulah pada pertengahan tahun 1920-an warga pribumi mulai dilibatkan dalam klub-klub sepak bola di Hindia Belanda meskipun dalam jumlah yang masih amat rendah.
Setelah menjadi negara merdeka, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan jumlah atlet sepak bola yang terbilang rendah di dunia.
Pada tahun 2017, atlet sepak bola Indonesia (semua level-usia) yang terdaftar di FIFA masih di bawah angka seratus ribu. Bahkan untuk level Asia Tenggara, ketersediaan atlet sepak bola kita masih kalah oleh Malaysia, Thailand dan Singapura. Padahal dalam rasio jumlah penduduk beberapa negara tersebut sangat jauh di bawah dengan Indonesia.
Bukan karier populer
Ketersediaan jumlah pemain sepak bola di semua umur sangat penting khususnya pada upaya pembinaan dan penyaringan atlet sepak bola berusia muda. Semakin banyak jumlahnya, semakin besar peluang untuk mendapatkan pemain-pemain berkualitas.
Tetapi bagaimana caranya memperoleh pemain berbakat sejak dini bila antusiasme generasi muda Indonesia lebih tertarik untuk bercita-cita jadi PNS, dokter, pengacara, politikus atau karier-karier sejenis lainnya.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan minat penduduk di negara Eropa dan Amerika Latin yang sekitar 6-7 persen populasinya begitu meminati sepak bola dan menjadikannya sebagai suatu karier penting, (Galagher, 2018). Suatu hal yang mungkin agak sulit dijumpai di Indonesia.
Baca juga: Chile hadapi dilema memainkan Sanchez atau tidak lawan Uruguay
Bila ada semacam survei terkait cita-cita yang respondennya ialah pelajar tingkat SLTP atau SLTA, kita mungkin akan benar-benar jarang mendengar kata sepak bola ditempatkan sebagai karier masa depannya.
Bukannya tidak ada anak-anak muda yang hobi dan berbakat di bidang sepak bola di negeri ini. Tetapi karena minimnya ketersediaan infrastruktur yang menunjang bagi berjalannya pembinaan bakat dan pendidikan anak-anak muda di bidang sepak bola, membuat generasi muda Indonedia menjadi kesulitan untuk menapaki cita-cita dan mengasah bakatnya.
Bahkan untuk sekadar mencari lapangan sepak bola di desa saat ini menjadi sulit karena banyak lahannya sudah dijadikan permukiman.
Ketiadaan sarana penunjang dan minimnya perhatian PSSI dan pemerintah selama berpuluh tahun lamanya membuat Indonesia kehilangan kesempatan mendapatkan mutiara-mutiara berbakat di seantero nusantara.
NIVB yang menjadi cikal bakal PSSI, mendapat legitimasi dari pemerintah pada Oktober 1919 dan memperoleh pengakuan FIFA pada april 1924.
Banyak club sepak bola dari berbagai daerah bernaung di bawah NIVB. Beberapa dari klub sepak bola di Hindia Belanda saat itu sejatinya sudah berdiri sejak akhir abad ke 19. Artinya sepak bola sudah dipertandingkan sejak lama, jauh sebelum NIVB didirikan.
Ini pula sebagaimana yang tercatat dalam buku karya Berretty berjudul 40 Jaar Voetbal in Nederlandsc-Indie 1894-1934. Pada mulanya, para atlet sepak bola hanya terdiri dari orang-orang Eropa (Belanda) dan Tionghoa.
Barulah pada pertengahan tahun 1920-an warga pribumi mulai dilibatkan dalam klub-klub sepak bola di Hindia Belanda meskipun dalam jumlah yang masih amat rendah.
Setelah menjadi negara merdeka, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan jumlah atlet sepak bola yang terbilang rendah di dunia.
Pada tahun 2017, atlet sepak bola Indonesia (semua level-usia) yang terdaftar di FIFA masih di bawah angka seratus ribu. Bahkan untuk level Asia Tenggara, ketersediaan atlet sepak bola kita masih kalah oleh Malaysia, Thailand dan Singapura. Padahal dalam rasio jumlah penduduk beberapa negara tersebut sangat jauh di bawah dengan Indonesia.
Bukan karier populer
Ketersediaan jumlah pemain sepak bola di semua umur sangat penting khususnya pada upaya pembinaan dan penyaringan atlet sepak bola berusia muda. Semakin banyak jumlahnya, semakin besar peluang untuk mendapatkan pemain-pemain berkualitas.
Tetapi bagaimana caranya memperoleh pemain berbakat sejak dini bila antusiasme generasi muda Indonesia lebih tertarik untuk bercita-cita jadi PNS, dokter, pengacara, politikus atau karier-karier sejenis lainnya.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan minat penduduk di negara Eropa dan Amerika Latin yang sekitar 6-7 persen populasinya begitu meminati sepak bola dan menjadikannya sebagai suatu karier penting, (Galagher, 2018). Suatu hal yang mungkin agak sulit dijumpai di Indonesia.
Baca juga: Chile hadapi dilema memainkan Sanchez atau tidak lawan Uruguay
Bila ada semacam survei terkait cita-cita yang respondennya ialah pelajar tingkat SLTP atau SLTA, kita mungkin akan benar-benar jarang mendengar kata sepak bola ditempatkan sebagai karier masa depannya.
Bukannya tidak ada anak-anak muda yang hobi dan berbakat di bidang sepak bola di negeri ini. Tetapi karena minimnya ketersediaan infrastruktur yang menunjang bagi berjalannya pembinaan bakat dan pendidikan anak-anak muda di bidang sepak bola, membuat generasi muda Indonedia menjadi kesulitan untuk menapaki cita-cita dan mengasah bakatnya.
Bahkan untuk sekadar mencari lapangan sepak bola di desa saat ini menjadi sulit karena banyak lahannya sudah dijadikan permukiman.
Ketiadaan sarana penunjang dan minimnya perhatian PSSI dan pemerintah selama berpuluh tahun lamanya membuat Indonesia kehilangan kesempatan mendapatkan mutiara-mutiara berbakat di seantero nusantara.