Mataram (ANTARA) - Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Hj. Sitti Rohmi Djalilah meminta semua kepala dusun (Kadus) mengambil peran dalam membantu pemerintah daerah memberikan edukasi pencegahan pernikahan anak di wilayahnya masing-masing.
"Kita harap identifikasi pernikahan anak ini dimulai dari dusun. Misalnya kalau ada potensi anak mau menikah segera diedukasi supaya tidak menikah dulu," kata Wagub NTB Sitti Rohmi Djalilah menyikapi tingginya pernikahan anak di wilayah itu di Mataram, Sabtu.
Wagub NTB menilai peran dusun terutamanya Kadus sangat penting dalam mencegah terjadinya pernikahan dini anak. Sebab, Kadus menjadi garda terdepan ketika terjadi masalah di wilayahnya.
"Makanya edukasi dari yang paling bawah itu penting," ujarnya.
Menurut dia, persoalan pernikahan anak ini seperti fenomena gunung es. Karena saling terkait dengan persoalan stunting atau kekerdilan pada anak, sehingga apa yang harus dilakukan pemerintah bersama seluruh pihak juga harus komprehensif.
"Jadi apa yang kita lakukan juga harus komprehensif sehingga tidak bisa hanya satu program saja. Karena pernikahan anak ini bukan parsial masalah tapi komprehensif masalah. Jadi semua di intervensi mulai ekonomi, pemberian pelatihan, peningkatan usaha UMKM sehingga miliki kepercayaan untuk terus berkembang," terang Wagub NTB.
Wagub NTB mengutarakan selain meminta Kadus mengambil peran, salah satu cara mencegah pernikahan anak adalah pendidikan. Karena dengan pendidikan pola pikir anak akan jauh ke depan.
"Pokoknya bagaimana anak-anak itu fokus sekolah, minimal sampai lulus SMA. Sehingga kenapa kita juga buka SMA Terbuka, supaya mereka tetap bisa belajar dan sekolah meski sudah menikah dan bekerja sebagai bekal. Di situ ada paket A, paket B, paket C yang bisa dipilih," katanya.
Selain edukasi secara terus menerus dengan bekerja sama seluruh pihak. Salah satunya dengan mengajak Kementerian Agama dan Pengadilan Agama juga bisa mengambil peran membantu pemerintah daerah mendukung pencegahan pernikahan dini. Sebab, data kasus pernikahan anak yang dipakai pemerintah itu acuannya dari data Pengadilan Agama.
"Prinsipnya kita jangan takut temukan kasus. Terpenting adalah penanganan ke depan. Kita berharap data pernikahan anak itu yang ada di pengadilan bisa kita dapatkan dari dusun melalui Posyandu Keluarga, sehingga detail data yang kita dapat seperti angka stunting," terangnya.
"Apalagi hanya NTB yang memiliki data 100 persen stunting "by name by adress" di Indonesia. Yang lain masih pakai data survei. Dengan aktif d posyandu keluarga. Ke depan kita harap untuk NTB juga demikian. Jadi lagi-lagi identifikasi ada potensi anak mau nikah di dusun karena ada Posyandu di situ," sambung Wagub NTB.
Disinggung terkait implementasi Perda Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang sudah dimiliki NTB. Wagub NTB mengaku sangat membantu. Hanya saja menurutnya pemerintah daerah tidak bisa hanya mengacu pada Perda, terlebih sanksi dalam Perda tersebut sudah dicabut pemerintah pusat.
"Kalau soal sanksi soal hukum dicabut itu bukan wewenang kita sehingga tidak bisa tanya ke kita juga. Yang kita lakukan adalah bagaimana fokus secara teknis pendampingan agar kasus pernikahan anak bisa dicegah bersama seluruh pihak. Karena kalau semua sama-sama memahami maka kasus-kasus pernikahan anak bisa dihindari," katanya.
Sebelumnya Studi kualitatif Save the Children Indonesia menemukan dalam 12 bulan, satu sampai dua anak di NTB dinikahkan setiap harinya.
Peneliti Utama Save the Children Indonesia, Dian Aryani mengatakan kecenderungan adanya peningkatan jumlah kejadian (prevalansi) perkawinan anak di NTB terus meningkat.
"Data dispensasi perkawinan Kanwil Kementerian Agama NTB tahun 2019 terdapat sebanyak 311 permohonan dan di tahun 2020 sebanyak 803 permohonan. Terdapat kenaikan 492 permohonan dispensasi perkawinan. Data di atas menunjukkan rata-rata, ada tambahan satu atau dua orang anak yang dinikahkan setiap hari, dalam kurun waktu 12 bulan di NTB. Angka ini pun belum termasuk praktik pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu kampung yang tidak terdata dengan baik," ujarnya pada kegiatan diskusi Diseminasi Laporan PenelitianKualitatif tentang Perkawinan Anak, Pernikahan Dini, dan Kawin Paksa di NTB di Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB.
Ia menjelaskan, penelitian kualitatif Save the Children Indonesia mengenai perkawinan anak, pernikahan dini dan kawin paksa (PAPDKP) dilakukan di empat kabupaten di NTB, yakni Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah. Hasilnya sebanyak 38 persen dari 492 permohonan dispensasi perkawinan merupakan kompilasi data dari tiga kabupaten yaitu Lombok Utara, Lombok Tengah and Lombok Timur, dengan angka tertinggi berada di Lombok Tengah.
"Pemaksaan perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran hak anak. Kasus perkawinan anak di NTB ibarat "gunung es" di mana data yang nampak di permukaan didasarkan pada permohonan dispensasi kawin, sedangkan data nikah siri dan perkawinan di bawah tangan tidak ditemukan," terang Dian Aryani.
Menurut dia, perkawinan anak sangat berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi yang tentunya akan berujung pada munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural. Tak hanya itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga juga marak terjadi pada pasangan muda atau pasangan yang menikah di usia anak, dan tak sedikit dampak terburuk dalam berbagai kasus adalah meninggal dunia.
Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB juga mencatat bahwa angka putus sekolah murid SMA/SMK per November 2021 telah mencapai 2.313 orang. Penyebab utama adalah perkawinan anak dan bekerja membantu ekonomi keluarga