Mahfud MD bela Abraham Samad

id Mahfud Bela

Mahfud MD bela Abraham Samad

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan setelah bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (6/2). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) (1)

"Kalau yang begitu-begitu saja dijadikan pidana yang serius, jadinya menimbulkan kesan kriminalisasi"
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai tindakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad sehingga dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri adalah tindakan yang tidak merugikan siapa pun.

"Saya melihat kasus Samad yang di Sulawesi Barat itu kan hanya sifatnya mala prohibita, bukan serius pemalsuan. Mala Prohibita adalah orang melanggar aturan tetapi sebenarnya tidak merugikan apa-apa seperti misalnya orang mencantumkan nama orang di KK (Kartu Keluarga) karena keperluan praktis," kata Mahfud di gedung KPK Jakarta.

Pada 2 Februari 2015, seorang perempuuan bernama Feriyani Lim melaporkan tuduhan pemalsuan dokumen yang diduga dilakukan Abraham Samad karena memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari suatu daerah ke Makassar, Sulawesi Selatan pada 2007.

Saat itu Feriyani ingin membuat paspor namun domisili Feriyani masih di Pontianak, Kalimantan Barat. Feriyani kemudian ditawari bantuan untuk mengurus pembuatan paspor Abraham dan rekannya Uki, dengan memasukkan identitas Feriyani ke dalam kartu keluarga Abraham.

Feriyani sendiri adalah tersangka dugaan kasus pemalsuan dokumen yang ditangani Polda Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat pada 2007.

Bareskrim Polri sebelumnya sudah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan terlapor Abraham Samad terkait laporan dugaan pertemuan Abraham dengan beberapa politisi PDIP.

"Misalnya saya punya pembantu tanpa ada dokumen resmi dari daerah asalnya, saya bawa ke kantor kelurahan. Tolong ini cantumkan pembantu saya ke dalam keluarga saya. Itu mungkin dari prsedur salah, tetapi kesalahannya mala prohibita bukan mala inse," tambah Mahfud.

Mala prohibita mengacu perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh hukum positif atau oleh Undang-Undang yang umumnya dirumuskan tanpa mensyaratkan niat jahat (mens rea) pelakunya, sedangkan mala inse adalah perbuatan yang dianggap ssesuatu yang jahat bukan karena diatur demikian atau dilarang hukum positif atau UU.

"Kalau yang begitu-begitu saja dijadikan pidana yang serius, jadinya menimbulkan kesan kriminalisasi. Kita ini sebenarnya punya arah kebijakan, yaitu arah hukum yang ke arah restorative justice. Itu tidak terlalu membesarkan hal yang sepele, misalnya yang disebut mala prohibita. Tengah malam Anda melanggar lampu merah, itu melanggar aturan tapi kan tidak merugikan orang lain karena sepi, jadi hukumannya seharusnya dibuat tidak terlalu serius," ungkap Mahfud.

Hal itu menurut Mahfud termasuk tuduhan memalsukan dokumen, padahal masalahnya sepele.

"Orang punya KTP banyak, padahal (mereka) hakim-hakim, pejabat KTP-nya lebih dari satu, semua melanggar aturan itu mala prohibita, bukan mala inse. Seperti saya waktu jadi menteri tanpa minta surat pindah tiba-tiba datang KK dan KTP sebagai penghuni rumah dinas negara misalnya. Kapan saya minta ini? Itu kan tidak melanggar rasa keadilan meskipun aturannya tidak meminta tiba-tiba datang surat pindah, banyak pejabat begitu," tegas Mahfud.

Mahfud mengaku sudah bicara dengan Wakapolri Komisaris Jenderal Pol Badrodin Haiti terkait kondisi KPK dan Polri.

"Saya sudah bicara langsung dengan Pak Badrodin agar ini selesai dengan baik tidak dalam konflik. Pandangannya sama, Pak Badrodin ingin negara ini terus baik. Kalau begitu semua berlaku fair saja dan membedakan antara mala inse dengan mala prohibita itu dalam hukum menjadi penting. Kalau hal-hal sepele itu dijadikan kasus kriminal serius bisa ratusan ribu di negeri ini," tambah Mahfud.

Tujuannya adalah agar KPK sebagai anak kandung reformasi tetap berdiri bersama-sama dengan Polri dan kejaksaan, demikian Mahfud. (*)


Editor: Jafar M Sidik