Jakarta (ANTARA) - Dalam waktu 13 tahun sejak ANKA sukses menjalankan misi terbang pertamanya pada 2010, pesawat nirawak (UAV/drone) pertama yang didesain dan dibuat seluruhnya di Turki itu menjadi incaran negara-negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Ketertarikan Indonesia terhadap ANKA mulai terlihat setidaknya sejak 2018 saat Kementerian Pertahanan RI pada 28 Juni membuka tender pengadaan sistem UAV untuk memperkuat kesiapan tempur tiga matra TNI. Turkish Aerospace turut berpartisipasi dalam tender itu menawarkan ANKA kepada Indonesia pada 24 Agustus 2018.
Kurang dari 3 bulan, Turkish Aerospace datang langsung ke Indonesia mengenalkan ANKA kepada masyarakat di Tanah Air dalam pameran alutsista Indo Defence Expo & Forum di Jakarta pada 7–10 November 2018. Replika ANKA dalam ukuran aslinya (full mock-up) dipamerkan selama 4 hari di Jakarta.
Meskipun demikian, pengadaan sistem UAV sempat tertunda karena pemilihan presiden (pilpres) pada 2019. Presiden Joko Widodo kembali terpilih untuk periode kedua, dan dia menunjuk kompetitornya saat pilpres, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan RI.
Di bawah kendali Prabowo, pengadaan sistem UAV kembali berproses. Tak lama setelah resmi menjabat, Prabowo dua kali melawat ke Turki dalam waktu yang tak begitu jauh, yaitu pada November 2019 dan Juli 2020. Dalam kunjungannya itu, Prabowo membahas kerja sama pembuatan drone dan tank bersama Kepala Badan Industri Pertahanan Turki (SSB) Prof. Ismail Demir. Prabowo juga mendatangi beberapa industri pertahanan Turki, termasuk di antaranya Turkish Aerospace.
Tindak lanjut pertemuan itu, Turkish Aerospace dan PT Dirgantara Indonesia meneken framework agreement dalam program Aerospace Engineering saat acara pembukaan Indo Defence Expo & Forum 2022 di Jakarta pada 2 November. Turkish Aerospace diwakili oleh Presiden & CEO Prof. Temet Kotil, sementara PT Dirgantara Indonesia oleh Direktur Utama Gita Amperiawan. Upacara penandatanganan dokumen kerja sama itu disaksikanoleh Menhan RI dan Kepala Badan Industri Pertahanan Turki.
Tiga bulan kemudian, Kementerian Pertahanan RI dan Turkish Aerospace lanjut bertemu di Jakarta pada 3 Februari 2023 untuk meneken kerja sama pembelian 12 unit ANKA yang disertai dengan beberapa program pelatihan, alih teknologi, dan dukungan untuk integrated logistic support (ILS), ground support & test equipment (GS&TE), flight simulator, infrastruktur hanggar, dan masa garansi selama 24 bulan/600 jam terbang.
Kepala Biro Humas Setjen Kemhan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha saat dihubungi di Jakarta, pada akhir Juli 2023, menjelaskan kontrak pembelian 12 unit ANKA mencapai 300 juta dolar AS atau sekitar Rp4,5 triliun.
Menurut catatan Kemenhan, kontrak senilai 300 juta dolar AS ini sekarang masih dalam proses aktivasi di Kementerian Keuangan. Rencananya, ANKA bakal dikirim ke Indonesia dalam waktu 32 bulan setelah kontrak efektif.
Alih teknologi
Dalam kontrak pembelian ANKA, Turkish Aerospace sepakat mendukung alih teknologi yang dilakukan, salah satunya melalui perakitan enam unit ANKA oleh PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jawa Barat.
"Untuk kontrak pembelian dengan Indonesia, enam unit dirakit di Turki, dan enam unit lainnya di PT DI. Jadi tentunya ada alih teknologi di sini. Kami berencana mulai mengirim komponen-komponennya pada Agustus tahun ini," kata Presiden & CEO Turkish Aerospace Prof. Temet Kotil menjawab pertanyaan ANTARA saat sesi wawancara khusus di Istanbul, Turki, 27 Juli 2023.
ANTARA berkesempatan mengikuti sesi wawancara khusus dengan Presiden & CEO Turkish Aerospace Industries bersama tujuh media lainnya dari Indonesia dan Malaysia pada sela-sela acara International Defence Industry Fair (IDEF) 2023 di Tüyap Fair Convention and Congress Center di Istanbul.
ANKA yang merupakan Medium Altitude Long Endurance (MALE) UAV mampu menjalankan berbagai fungsi sebagai drone tempur, di antaranya observasi (intelligence, surveillance, dan reconnaissance/ISR), deteksi dan identifikasi target, signal intelligence & electronic warfare, close air support mission, alat untuk mengawasi wilayah maritim dan perbatasan, communication relay, air-to-ground strike, dan dapat dilengkapi dengan berbagai jenis senjata.
CEO Turkish Aerospace melanjutkan ANKA dapat terbang sampai 30 jam pada ketinggian di atas 30.000 kaki. Jangkauan line of sight (LOS) ANKA mencapai 250 kilometer lebih. ANKA juga dapat mengangkut beban (payload) sampai 350 kilogram lebih.
Konfigurasi perangkat dan senjata yang dapat dipasang di ANKA, di antaranya EO/IR SATCOM+Radio Relay, EO/IR+SATCOM+Laser Guided Smart Bombs and Missiles, EO/IR+SATCOM+SAR/ISAR/GMTI+AIS, dan EO/IR+COMINT/DF+ESM/ELINT.
Drone tempur buatan Turki itu memiliki bentangan sayap (wing span) 17,5 meter, panjang 8,6 meter, dan tinggi 3,25 meter. Turkish Aerospace saat ini telah mengirim 36 lebih unit ANKA untuk Angkatan Udara Turki, Angkatan Laut Turki, Kementerian Dalam Negeri Turki, Direktorat Jenderal Kehutanan Turki, dan beberapa negara, seperti Tunisia dan Chad. Selain Indonesia, negara lain yang juga membeli ANKA, yaitu Kazakhstan, Malaysia, Kyrgyzstan, dan Angola.
Rencananya, 12 unit ANKA yang dibeli oleh Indonesia nanti akan digunakan oleh TNI Angkatan Udara (6 unit), TNI Angkatan Laut (3 unit), dan TNI Angkatan Darat (3 unit).
Manfaatkan kesempatan
Keberhasilan industri pertahanan Turki membuat drone tempurnya sendiri tentu sebuah pencapaian yang tidak mudah mengingat hanya beberapa negara yang membuat sendiri drone tempurnya, yaitu Amerika Serikat pada 2001, Uni Emirat Arab (UAE) pada 2002, Israel pada 2004, Inggris pada 2005, kemudian gabungan Italia, Yunani, Swedia, Swiss, Spanyol, dan Prancis pada 2006.
Dalam periode 2010, seterusnya ada Iran, Afrika Selatan, Turki, Korea Utara, Pakistan, Rusia, Taiwan, Yordania, Korea Selatan, Jerman, Georgia, Jepang, India, Ukraina, Australia, Arab Saudi, Belarusia, dan Indonesia mulai memamerkan prototipe UAV dalam negeri yang disebut Elang Hitam pada 2019.
Riset pengembangan Elang Hitam sebetulnya berlangsung pada 2015 melibatkan konsorsium Kementerian Pertahanan RI, PT Dirgantara Indonesia, BPPT (sekarang melebur menjadi BRIN), TNI, ITB, dan LAPAN (saat ini juga melebur ke BRIN).
Walaupun demikian, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam rapat bersama DPR RI September 2022 menjelaskan proyek itu saat ini dialihkan dari yang mulanya untuk keperluan militer menjadi kebutuhan sipil. Pengalihan itu berdasarkan hasil evaluasi pada Juli hingga Desember 2021, termasuk terhadap hasil uji terbang Elang Hitam di Pangandaran yang belum berhasil.
“Dalam hal ini ada dua masalah, yaitu masalah teknis dan masalah kepemilikan teknologi,” kata Kepala BRIN, kala itu.
Terkait masalah teknis, Handoko menjelaskan belum ada pengujian yang memadai terhadap setiap komponen pesawat sesuai dengan tahapan dan standar yang ditetapkan. Padahal, tahapan itu semestinya dilakukan terlebih dahulu sebelum uji terbang perdana.
Kemudian terkait masalah kepemilikan teknologi, Handoko menjelaskan seluruh teknologi kunci Elang Hitam berasal dari luar negeri, khususnya mission system, kecuali platform-nya.
"Teknologi yang digunakan untuk mission system ini berasal dari salah satu perusahaan di Spanyol," kata dia.
Berkaca dari pengalaman itu, kerja sama untuk merakit enam unit ANKA di dalam negeri perlu dimanfaatkan oleh industri pertahanan Indonesia, terutama PT Dirgantara Indonesia.
Tentu tidak ada waktu instan untuk membangun UAV sendiri, terlebih saat infrastruktur dan komponen pendukung lainnya pun belum memadai. Industri pertahanan Turki, termasuk Turkish Aerospace, juga menempuh perjalanan yang tidak singkat sampai akhirnya membangun teknologi drone tempurnya sendiri.
Turkish Aerospace saat ini memiliki fasilitas pembuatan dan perakitan pesawat, pesawat tempur, teknologi dirgantara, dan satelit di Kahramankazan, Ankara, Turki, yang luasnya mencapai 700.000 meter persegi. Perusahaan itu juga memperkerjakan 6.000 lebih teknisi dan ahli. Namun, itu semua merupakan hasil dari konsistensi, ambisi, kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak, terutama Pemerintah Turki dalam 5 dasawarsa terakhir.
Baca juga: Polres Kudus sebut tilang elektronik pakai drone tunggu kesiapan alat
Baca juga: Ditlantas Polda Jateng uji coba ETLE berbasis drone
Indonesia sejatinya punya potensi mewujudkan industri pertahanan yang kapasitasnya mendekati Turkish Aerospace. Namun, itu semua hanya dapat terwujud manakala ada dukungan yang konsisten dan konkret, terutama dari sisi pembiayaan kepada industri pertahanan dalam negeri.