Jakarta (ANTARA) - Tahun lalu, isu resesi ekonomi 2023 menjadi topik perbincangan yang cukup panas. Pecahnya perang Rusia-Ukraina hingga tekanan suku bunga Federal Reserve (The Fed) membuat para ahli ekonomi memprediksi perekonomian global akan lesu, yang mungkin juga menyeret perekonomian Indonesia.
Konflik antara Rusia dan Ukraina berdampak pada instabilitas pangan dan energi global. Perdagangan internasional diperkirakan bakal makin menguatkan proteksionisme karena negara produsen memprioritaskan kecukupan pasokan dalam negeri. Pengetatan moneter Amerika Serikat (AS) mengancam inflasi global dan nilai tukar, tak terkecuali rupiah yang juga sempat tertekan.
Pemangku kebijakan didesak untuk membuat regulasi yang dapat melindungi ekonomi nasional. Masyarakat diajak mengantisipasi kondisi ekonomi mereka agar dapat bertahan bila terjadi resesi. Penutupan tahun 2022 cukup diwarnai dengan kekhawatiran.
Manuver moneter-fiskal Indonesia
Tekanan global salah satunya terlihat pada melambungnya inflasi nasional. Pada penutupan 2022, inflasi tercatat berada pada level 5,51 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), melampaui target Bank Indonesia (BI) di kisaran 2-4 persen yoy.
Guna mengendalikan inflasi, BI mengambil langkah yang cukup gigih terkait suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), atau disebut sebagai BI-Rate. Hingga pertengahan 2022, tepatnya pada Juli, suku bunga tercatat di level 3,5 persen. Kemudian, demi mengejar inflasi masuk ke target sasaran 3,0±1 persen pada 2023, BI terus menaikkan suku bunga hingga ke level 5,50 persen pada Januari 2023.
Sama halnya dengan BI, Kementerian Keuangan juga menargetkan inflasi di kisaran tersebut, tepatnya 3,6 persen, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Upaya pengendalian inflasi dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat yang menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga ekonomi dapat tumbuh sesuai target APBN sebesar 5,3 persen.
Berbagai instrumen fiskal disiapkan untuk menahan berbagai gejolak ekonomi dan menjaga momentum pemulihan. Pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp2.463 triliun dan belanja negara Rp3.061,2 triliun sehingga defisit dapat dipatok pada 2,84 persen.
Anggaran difokuskan pada peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, reformasi perlindungan sosial, hingga ketahanan pangan dan energi untuk memberikan kekuatan ekonomi dari sisi internal negara.
Gejolak ekonomi 2023
Langkah preventif moneter-fiskal yang disiapkan untuk menyambut 2023 menunjukkan hasil. Salah satunya tercermin pada inflasi yang secara umum menunjukkan tren melandai sepanjang 2023.
Pada pembukaan tahun, inflasi turun ke level 5,28 persen yoy. Meski sempat naik pada Februari menjadi 5,47 persen yoy, capaian inflasi pada 5 bulan berikutnya konsisten menurun hingga menyentuh angka 3,08 persen per Juli. Hal ini sejalan dengan keputusan BI yang konsisten menjaga suku bunga di level 5,75 persen.
Tren penurunan inflasi, yang mampu menguatkan kinerja konsumsi masyarakat, berdampak pada capaian pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II-2023, ekonomi tercatat tumbuh sebesar 5,17 persen yoy, mempertahankan tren pertumbuhan di atas 5 persen selama 7 kuartal berturut-turut.
Aktivitas manufaktur juga terjaga ekspansif, di mana PMI manufaktur Indonesia pada periode itu tercatat berada pada level 53,3. Capaian tersebut membuat Indonesia masuk dalam jajaran 18,2 persen negara yang mencatatkan PMI manufaktur yang ekspansif dan menguat di tengah kontraksi ekonomi dunia.
Berbagai kinerja positif perekonomian itu bisa dibilang mematahkan proyeksi resesi yang ramai dikhawatirkan tahun lalu.
Namun, meredupnya ancaman resesi tidak membuat perekonomian Indonesia benar-benar terlepas dari gejolak ekonomi.
Krisis iklim menjadi salah satu pemain yang mewarnai gejolak ekonomi 2023, salah satunya melalui fenomena El Nino yang mengancam sektor pangan. Ancaman El Nino turut diiringi oleh memanasnya konflik Hamas-Israel yang berpotensi membuat harga minyak dunia melonjak. Artinya, harga pangan dan energi menjadi makin terancam.
Kondisi tersebut diperkirakan akan membuat inflasi global bertahan pada level tinggi, yang kemudian mendorong suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR), juga bertahan tinggi pada waktu yang lebih lama (higher for longer).
Implikasinya, imbal hasil (yield) obligasi negara maju, khususnya US Treasury, akan meningkat dan mendorong aliran modal yang berbalik dari negara berkembang menuju negara maju. Selain itu, kekuatan dolar AS akan meningkat secara signifikan dan menekan berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.
Merespons hal tersebut, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Oktober 2023, setelah mempertahankannya selama 8 bulan berturut-turut. Suku bunga sebesar 6 persen diharapkan dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi tetap pada target sasaran sehingga dapat memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik.
Impian BI menjaga nilai tukar dan inflasi bisa dikatakan berhasil. Nilai tukar rupiah pada 20 Desember 2023 menguat secara rata-rata sebesar 0,44 persen dibandingkan dengan perkembangan pada November 2023. Sementara inflasi November tercatat sebesar 2,86 persen yoy, masih berada dalam jangkauan target BI.
Adapun dari sisi pertumbuhan ekonomi, memang terjadi perlambatan pada kuartal III, di mana produk domestik bruto (PDB) tercatat tumbuh 4,94 persen yoy. Namun, konsumsi masyarakat tetap terjaga dengan capaian 5,1 persen yoy, berkat dukungan pengendalian inflasi serta bantuan pangan oleh APBN. Kementerian Keuangan optimistis pertumbuhan ekonomi 2023 secara keseluruhan masih bisa dijaga pada level 5 persen.
Antisipasi 2024
Ke depan, ketidakpastian ekonomi diperkirakan masih berlanjut. Ketegangan geopolitik sulit diprediksi, ekonomi sejumlah negara diproyeksikan masih lemah, serta fenomena El Nino yang mungkin masih berlangsung hingga tahun depan.
Dari sisi pasar keuangan, The Fed diproyeksikan bakal menurunkan suku bunga pada paruh kedua 2024, yang diyakini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai sinyal bahwa syok suku bunga telah terlewati. Meski begitu, BI tetap memasang ancang-ancang kebijakan moneter dengan mempertahankan suku bunga di level 6 persen. Harapannya, inflasi 2024 dapat terkendali dalam sasaran 2,5±1 persen.
Kondisi lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah kinerja ekonomi selama periode pesta demokrasi. Pemilu 2024 disebut membuat perekonomian nasional berada dalam kondisi rentan. Meski aktivitas kampanye dapat mendorong konsumsi masyarakat, ketidakpastian politik membuat investor diperkirakan mengambil sikap wait and see sehingga berdampak pada kestabilan pasar.
Pemangku kebijakan masih perlu melanjutkan manuver moneter-fiskal untuk menjaga perekonomian pada 2024.
Komitmen BI untuk fokus pada kebijakan moneter yang pro-stability serta Kementerian Keuangan yang mengoptimalkan APBN 2024 sebagai shock absorber diharapkan dapat melindungi perekonomian nasional tahun depan, sebagaimana keduanya mampu meredam ancaman resesi pada tahun ini.
Editor: Achmad Zaenal M