Kendari (ANTARA) - Sore itu, angin laut yang bertiup dari barat menyertai dayungan sampan seorang pria. Dia melintasi deretan rumah terapung menuju masjid yang berdiri kokoh di sudut perkampungan Suku Bajo, Desa Tanailandu, Mawasangka, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, yang berada sekitar 1 Km dari bibir pantai.
Desa Tanailandu memliki lima dusun, yakni Oelambele, Wasindoli, Batuawu, Oeponda, dan Kaudani, yang dihuni sekitar 354 kepala keluarga (KK) dengan total penduduk 1.468 jiwa.
Selain pria itu, sejumlah warga dengan menggunakan sampan secara bersamaan mengikuti dari belakang menuju masjid yang berjarak sekitar 20 meter dari mereka. .
Pria itu pun menyapa mereka dengan nada tanya, "Mau ashar ke masjid juga?".
Pria itu adalah Rafiudin, yang juga Kepala Desa Tanailandu. Desa itu, salah satu dusunnya adalah kampung bagi Suku Bajo.
Bagi masyarakat Suku Bajo yang mayoritas beragama Islam dan berprofesi sebagai nelayan dan pembudi daya rumput laut. Keberadaan masjid tersebut merupakan berkah, karena pembangunannya sejak 2021 sempat terhenti karena kurangnya dana, yang kemudian baru dilanjutkan kembali dan rampung pada 2024.
Masjid yang menyerupai Ka'bah itu bernama Taman Surga Al-Muqarromah, terletak di Dusun Kaudani yang dihuni sekitar 64 kepala keluarga, dengan total penduduk di permukiman Suku Bajo itu sebanyak 264 jiwa.
"Ka'bah, kami pilih karena di Buton Tengah belum ada masjid yang menggunakan model itu, dan kami warga Suku Bajo melakukan shalat berjamaah di sini, bisa sampai 100 orang," kata Rafiudin.
Masjid yang terletak di sudut permukiman dan merupakan satu-satunya masjid di kampung Bajo itu mempunyai ukuran 10 x 10 meter dan dapat menampung sekitar 100 orang.
Selain bangunan yang menyerupai Ka'bah, masjid itu memiliki gerbang pintu di tiga sisinya yang berbentuk mirip sampan berderet tiga dan menyerupai gigi hiu.
Masjid itu juga dilengkapi 16 jendela, sehingga ketika berada di dalamnya, jendela-jendela ini seperti lukisan dinding karena membingkai pemandangan permukiman Suku Bajo yang berada di tengah laut.
Di depan masjid yang telah berdinding beton ini terdapat jembatan kayu yang memanjang sekitar 30 meter menuju permukiman dan terdapat tiang untuk tempat menambatkan sampan milik warga.
Bagi masyarakat Suku Bajo, sampan dan jembatan kayu menjadi satu-satunya sarana penghubung antarrumah dan ke masjid di permukiman terapung tersebut.
Untuk aktivitas sehari-hari, mereka biasanya menggunakan sampan atau berjalan kaki melewati jembatan kayu, dan katinting atau perahu bermesin yang digunakan ketika melaut atau menuju ke daratan untuk menjual hasil tangkapan serta berbelanja kebutuhan rumah tangga.
Bagi mereka, jembatan kayu dengan lebar sekitar 1.5 meter tersebut mempunyai fungsi seperti jalan raya bagi masyarakat yang ada di daratan, sementara sampan dan perahu katinting menjadi transportasi utama layaknya motor atau mobil di perkotaan.
Meskipun demikian, tidak semua fasilitas di darat bisa ditemui di Kampung Bajo itu, salah satunya fasilitas penerangan. Saat ini cuma masjid itu yang memiliki lampu dan mendapat aliran listrik dari darat, sementara rumah-rumah warga masih menggunakan pelita.
"Kabel listriknya dari darat, dibuatkan tiang kayu sebagai penyangga kabel, jaraknya mungkin lebih 1 kilometer, saat ini masih masjid dan ke depan semoga rumah warga juga sudah punya listrik," kata Rafiudin, sembari memperlihatkan deretan kayu yang tertancap di laut.
Selain listrik, kebutuhan pendidikan dan kesehatan juga menjadi prioritas kebutuhan warga di kampung terapung itu, karena sebagian besar mereka tidak sekolah.
"Semua anak-anak di sini buta huruf, ada sekolah, tapi tidak ada gurunya, ada posyandu yang tenaga kesehatan setiap bulan datang, saat ini anak-anak Bajo mulai rajin mengaji di masjid," katanya.
Terlepas dari semua kekurangan itu, dia berharap ke depan Kampung Bajo ini bisa berkembang baik dan menjadi salah satu destinasi wisata kampung terapung di Buton Tengah.
"Di sini sangat menyenangkan, ngabuburit sambil menyaksikan matahari terbenam," kata Rafiudin, sambil menunjuk ke arah barat.
Sementara Usman, pengunjung asal Kendari, Sulawesi Tenggara, mengaku sangat puas berkunjung ke masjid itu.
"Lokasi ini menarik buat yang hobi fotografi, terutama yang senang hunting sunrise dan sunset, penduduknya juga ramah, apalagi jarak dari daratan ke sini hanya butuh 10 menitan," kata Usman, sembari memasang lensa pada kameranya.
Bagi dia, permukiman Suku Bajo, khususnya yang berada di perairan laut, sangat menarik untuk dikunjungi, karena, selain menawarkan pemandangan alam, kearifan lokal masyarakatnya juga menarik
Dia berharap ke depan agar pemerintah menjadikan salah satu kampung terapung Suku Bajo yang kebanyakan tersebar di perairan laut Sulawesi Tenggara menjadi salah satu tujuan wisata di Bumi Anoa ini.
Hal itu juga diungkapkan Hendra, warga Dusun Kaudani, merasa senang ketika ada orang luar mau berkunjung ke kampungnya.
"Kami warga di sini sangat bersyukur dengan jadinya masjid Ka'bah ini, kami nyaman sembahyang dan sangat senang jika ada orang luar datang karena masjid ini," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Buton Tengah Irwan Seni Rajab mengatakan mendukung adanya tempat wisata religi yang ada di Dusun Kaudani, selama objek tersebut tidak berisiko bagi pengunjung .
Karena kebanyakan Kampung Bajo itu lebih dekat dengan perairan laut, sehingga pemerintah daerah memikirkan keselamatan pengunjung. Dinas Pariwisata Buton Tengah berupaya melakukan survei lapangan terlebih dahulu untuk menguji kelayakan kampung tersebut menjadi tujuan wisata religi.