Deschooling dan kritik Ivan Illich demi dunia pendidikan humanis

id Dunia pendidikan,humanisme pendidikan,Deschooling,ivan illich Oleh Mochamad Husni*)

Deschooling dan kritik Ivan Illich demi dunia pendidikan humanis

Pelajar berlindung di bawah meja saat simulasi mitigasi bencana di MTs Negeri 9 Jakarta, Johar Baru, Jakarta Pusat, Senin (29/4/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Jakarta (ANTARA) - Pekan-pekan awal semester baru ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk introspeksi bagi seluruh pihak. Terutama, bagi para orang tua, siswa, mahasiswa, bahkan masyarakat umum.

Perubahan pola pikir dari sisi peserta didik amat perlu dilakukan untuk melengkapi serangkaian evaluasi dan program pembenahan sistem pendidikan Indonesia yang masih terus berjalan.

Dalam konteks ini, tetaplah menarik bila semua mengingat kembali “Deschooling Society” dan kritik-kritik yang disampaikan Ivan Illich, filsuf dan pemikir kelahiran Wina, Austria, pada 1926 yang dikenal sebagai kritikus humanis radikal.

Konsep dan solusi-solusi terhadap dunia pendidikan yang seharusnya membangun kemandirian, ia lontarkan setelah mengamati praktik pendidikan yang berlangsung di Amerika Latin.

Kendati nun jauh dari negeri ini, dengan pandangannya yang mendasar, luas, serta bermuara pada pembebasan, kritik peraih gelar doktor bidang sejarah dari Universitas Salzburg ini masih relevan bagi masyarakat Indonesia.

Illich tak menampik arti penting pendidikan. Akan tetapi ia mempertanyakan, apakah sistem pendidikan yang berlaku benar-benar diperlukan dan tepat sasaran?

Alih-alih membebaskan, Illich menilai bahwa pendidikan yang dipraktikkan dalam bentuk ruang kelas--di mana peserta didik hadir menghadapi pendidik--justru berakibat buruk bagi peserta didik dan masyarakat.

Masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kurikulum tak ubahnya komoditas. Nilai, sertifikat, dan ijazah kerap berfungsi sebagai alat legitimasi bahwa seseorang berpendidikan. Di luar itu, mereka yang tidak memiliki dokumen yang diterbitkan sekolah atau kampus, akan terpental dari lingkungannya.

Di sini Illich menyebut sekolah memegang monopoli dunia pendidikan. Pada saat bersamaan, pihak terdidik dan juga orang tua murid memilih sikap pasif serta menyerahkan seluruh persoalan pendidikan pada lembaga pendidikan.

Lebih berbahaya lagi, sistem pendidikan yang keliru mengakibatkan dehumanisasi. Alih-alih menumbuhkan kemandirian, sekolah seakan tidak peduli ketika lulusan-lulusan yang dihasilkan seperti robot-mekanis yang justru tidak mampu menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi.

Ada jarak yang terbentang jauh antara pelajaran yang diberikan dengan realitas. Tidak sekadar mengkritik, Ivan Illich melengkapi argumennya dengan sejumlah solusi.

Illich menggulirkan usulan untuk melakukan reformasi persekolahan. Kritik Ivan Illich terhadap pendidikan disebabkan oleh realitas kebijakan pendidikan di Amerika Latin dan Afrika sekitar tahun 1970-an, yang pada saat itu mewajibkan pendidikan sekolah selama 12 tahun.

Adapun di Amerika Selatan muncul anggapan bahwa yang tidak menempuh pendidikan selama 12 tahun dianggap sebagai terbelakang.

Menurut Illich, dengan adanya kewajiban bersekolah pun tidak akan mampu mencapai kesamaan sosial ekonomi di kedua kawasan tersebut. Yang terjadi justru semakin banyak sekolah di kawasan tersebut kian melumpuhkan kaum miskin untuk mengurusi pendidikan mereka sendiri.


Tiga tujuan

Menurut Illich, sistem pendidikan yang benar sekaligus membebaskan harus mempunyai tiga tujuan.

Pendidikan harus memberi kesempatan kepada siapa pun setiap saat dapat mengakses sumber pembelajaran secara bebas dan mudah. Tidak boleh ada sekat-sekat atau penghalang yang memisahkan dan justru membeda-bedakan siapa pun untuk dapat belajar.

Dari sisi pemberi pelajaran, maka guru, dosen, atau siapa pun yang hendak memberikan pengetahuan, harus dijamin dan dikondisikan oleh sistem pendidikan agar proses tersebut dapat berlangsung.

Tujuan berikutnya, sistem pendidikan harus menjamin proses pemberian saran dan masukan-masukan mengenai pendidikan. Lembaga pendidikan tidak boleh menutup diri, apalagi merasa paling benar dan berhak dalam menjalankan pendidikan.

Dari ketiga tujuan itu, tampak sekali bahwa Illich banyak memberi penekanan pada negara. Minimal, peran besar negara untuk melakukan perbaikan sistem pendidikan terletak pada lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan.

Memang benar, sebagai pihak terdidik, mungkin saja siswa, mahasiswa, atau orang tua murid, akan menanggung dampak dehumanisasi akibat sistem pendidikan seperti yang dikritik Ivan Illich.

Namun, sekolah tetap penting. Solusinya bukan dengan meninggalkan lembaga pendidikan.

Dari kritik Ivan Illich, semua pihak bisa menarik sikap dan cara pihak terdidik dalam mengikuti sistem pendidikan.

Pola pikir pertama yang harus dimiliki adalah membuang jauh asumsi bahwa nilai, sertifikat, atau bahkan ijazah sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan proses pendidikan.

Benar bahwa lulus dari lembaga pendidikan belum tentu menjamin kesuksesan seseorang. Namun, harus diyakini bahwa lembaga pendidikan memperbesar peluang untuk sukses.

Faktor-faktor pendukung lain tetap perlu disiapkan. Saat ini teknologi digital juga sangat memungkinkan proses belajar mandiri.

Kedua, pihak terdidik dan para orang tua, pun tidak boleh pasif. Keberhasilan program pendidikan tidak boleh seratus persen diserahkan pada lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan.

Keterlibatan dalam proses belajar mengajar amat diperlukan mengingat proses belajar mengajar di lembaga pendidikan hanya memakan sedikit dari waktu kehidupan.

Perhatian terhadap progres pendidikan anak harus diperhatikan para orang tua. Orang tua pun harus mengondisikan suasana agar anak-anak mereka mau mengungkapkan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.

Apalagi, sebagian besar waktu justru berada di luar kegiatan belajar mengajar bersama lembaga penyelenggara pendidikan.

Karena itu pula, sebagai poin ketiga, siswa, mahasiswa, maupun orang tua harus menempatkan kegiatan belajar mengajar, proses transfer, atau peningkatan pengetahuan tidak terbatas pada ruang-ruang kelas.

Ilmu pengetahuan tersebar di masyarakat. Siapa saja yang ditemui bisa memberi pengetahuan baru. Bahkan peristiwa-peristiwa alam yang ditemui pun bisa menjadi bahan diskusi yang memancing pemahaman serta sikap kritis.


*) Mahasiswa Program Doktoral Universitas Sahid, Jakarta