Mantan Wali Kota Bima mengajukan kasasi atas putusan banding PT NTB

id muhammad lutfi, kasasi, pengajuan upaya hukum lanjutan, putusan pengadilan tinggi ntb,Korupsi

Mantan Wali Kota Bima mengajukan kasasi atas putusan banding PT NTB

Terdakwa korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkup kerja Pemerintah Kota Bima, Muhammad Lutfi mengepalkan tangan seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Senin (3/6/2024). (ANTARA FOTO/Dhimas Budi Pratama/Spt.)

Mataram (ANTARA) - Mantan Wali Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Lutfi melalui penasihat hukumnya berencana mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan banding Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat (PT NTB) yang turut membebani uang pengganti kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkup kerja Pemerintah Kota Bima periode 2018-2022 sebesar Rp1,4 miliar.

"Kami merasa keberatan dengan putusan banding PT NTB tersebut, karena itu kami berencana akan mengajukan banding, hal ini akan kami bicarakan lebih lanjut dengan klien (Muhammad Lutfi)," kata Abdul Hanan, penasihat hukum Muhammad Lutfi di Mataram, Kamis.

Menurut dia, putusan majelis hakim tingkat banding yang dibacakan pada Rabu (7/8) tersebut telah mengesampingkan isi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993 tentang penyusunan surat dakwaan jaksa penuntut umum pada persidangan.

"Jadi, putusan yang dibacakan oleh hakim PT NTB, ada putusan yang di luar kewenangan dan fakta persidangan. Bisa dilihat dari fakta persidangan dan putusan pengadilan pengadilan tingkat pertama bahwa gratifikasi suap itu tidak terbukti karena surat dakwaan jaksa penuntut umum itu tidak memenuhi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993," ujarnya.

Hakim pengadilan tingkat pertama dalam putusan, kata dia, sebelumnya menyatakan bahwa dakwaan tentang penerimaan gratifikasi tersebut tidak disusun secara sistematis dan benar.

"Sehingga wajar saja, hakim pengadilan tingkat pertama tidak mempertimbangkan dakwaan jaksa penuntut umum tentang gratifikasi dalam putusan," ucap dia.

Dengan demikian, Hanan menyatakan tidak sependapat dengan hakim PT NTB yang memutus perkara Muhammad Lutfi dengan merujuk pada aturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

"Jadi, kalau misal hakim enggak mau pakai dakwaan secara sistematis, tentu nantinya jaksa penuntut umum membuat dakwaan serampangan, sesuka-sukanya," kata Hanan.

Selain itu, dalam fakta persidangan pada pengadilan tingkat pertama, Hanan melihat tidak ada fakta yang mengungkap jelas tentang Muhammad Lutfi menerima uang atau barang.

"Putusan yang dibacakan hakim PT itu di luar dari fakta sidang. Kami contohkan bahwa tidak ada satu pun bukti gratifikasi yang mengaitkan terdakwa dengan saksi-saksi. Klien kami ini memang tidak pernah bersentuhan dengan saksi-saksi, apalagi dalam proyek, itu tidak bisa dibuktikan jaksa penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram," ujarnya.

Hanan menyampaikan rencana untuk mengajukan upaya hukum lanjutan ke Mahkamah Agung tersebut masih harus menunggu salinan putusan banding dari pihak pengadilan.

"Sejauh ini, salinan putusan banding belum kami terima, kalau sudah ada, akan kami pelajari dan bicarakan lebih lanjut dengan klien kami," kata Hanan.

Majelis Hakim PT NTB pada sidang putusan banding Muhammad Lutfi (7/8), mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram dengan menyatakan terdakwa terbukti melanggar dakwaan kesatu dan kedua penuntut umum.

Selain menyatakan terdakwa terbukti melanggar tindak pidana korupsi, hakim turut menyatakan terdakwa Muhammad Lutfi menerima gratifikasi dalam jabatan.

Baca juga: Kejari Sumbawa Barat tetapkan tersangka korupsi proyek fisik SMA
Baca juga: KPK dalami soal perizinan tambang di Maluku Utara


Dalam putusan banding, pidana pokok Muhammad Lutfi serupa dengan putusan pengadilan tingkat pertama, yakni dijatuhi pidana hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan pengganti denda.

Hakim tingkat banding turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp1,4 miliar subsider 1 tahun kurungan pengganti.