Surabaya (ANTARA) - Debat pada proses kontestasi kepala daerah esensinya adalah adu gagasan. Siapa yang gagasannya paling masuk akal dan paling mungkin diimplementasikan, mestinya dialah yang harus dikawal untuk bisa memegang tampuk kepemimpinan publik di level kepala daerah. Maka sebagai sebuah proses adu gagasan, debat meniscayakan suguhan tontonan yang berkualitas, bukan sekadar agenda rutin penyelenggara pemilu. Apalagi hanya sebagai penggugur kewajiban. Jangan, sebab hal itu akan menjadi jalan menyia-nyiakan uang rakyat karena prosesnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Debat kandidat calon gubernur dan wakil gubernur tahun 2024 sebentar lagi akan dilaksanakan. Sewajarnya bagi masyarakat NTB untuk memperhatikan beberapa aspek penting, misalnya, pertama, dalam proses debat yang mempertontonkan adu gagasan menjadi cerminan bagi kualitas, kapasitas dan kapabilitas seorang calon kepala daerah. Publik bisa menilai apakah mereka menguasai secara mendasar persoalan-persoalan daerah yang akan diselesaikan dalam kurun waktu kepemimpinannya. Sehingga, jika ada debat yang kemudian mempersoalkan hal-hal yang tidak substansial, apalagi menyinggung kepribadian (personal attact), cemooh, dan yang sejenisnya, maka sejatinya hal itu bukanlah debat, melainkan bentuk penghinaan terhadap forum mulia yang memiliki tujuan mulia. Menyerang pribadi lawan dalam konteks debat tidaklah elok. Cara tersebut adalah langkah pengecut seorang kandidat untuk bersembunyi dari ketidakmampuan menghadirkan gagasan yang lebih baik daripada lawan. Bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakah penyimpangan dari sebuah esensi debat.
Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut muncul karena alasan yang cukup beragam. Ia bisa jadi muncul karena kebencian, bisa muncul karena rasa penasaran yang belum tuntas, atau justeru bagian dari strategi debat. Maka, kalaupun benar sebagai sebuah strategi debat, tetap saja tidak elegan. Pengalaman debat dalam beberapa proses pemilihan kandidat yang menyuguhkan tontonan yang tak semestinya bisa berakibat panjang. Semisal munculnya sentimen pribadi antar kandidat bahkan bisa meluas ke pendukung kandidat di masyarakat akar rumput (grass root). Cukuplah pengalaman debat calon presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu yang disinyalir mengangkat persoalan pribadi beberapa waktu yang lalu menjadi pelajaran penting yang harus diwaspadai.
Kedua, debat juga bukan arena pembenaran dan kesepakatan. Jika dalam pelaksanaan debat kandidat isinya adalah saling membenarkan dan menyetujui, maka jelas itu bukan esensi debat, melainkan rapat. Maka mengembalikan muruah debat pada koridor idealnya harus pula diikuti oleh keseriusan masing-masing kandidat untuk menghadirkan debat yang berkualitas. Debat bahkan bisa menjadi mekanisme kampanye yang sangat efektif bagi kandidat. Terlepas pro kontra soal pengaruh debat terhadap perubahan sikap pemilih yang masih mengandung potensi bagi munculnya sebuah perdebatan (debateable), apakah berpengaruh signifikan ataukah tidak.
Ketiga, debat pilkada harus dilihat dari sisi positifnya. Acara debat kandidat bisa menjadi media yang efektif bagi seorang kandidat. Visi misi kandidat bisa diketahui ideal dan memungkinkan untuk diimplementasikan dilihat dari kemampuan kandidat memahami persoalan daerah. Sehingga gagasan yang dipaparkan membuka ruang bagi munculnya evaluasi dari publik. Dari sini diharapkan akan terbangun pola komunikasi dua arah dari kandidat dan publik secara luas. Sehingga pemilih bisa menilai secara obyektif kandidat mana yang kira-kira pantas untuk dipilih. Cerminan debat sebagai instrumen demokrasi yang mendorong ke arah demokrasi yang transparan dan terbuka menjadi semakin ideal.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah, publik juga bisa mengevaluasi bagaimana penguasaan para calon terhadap isu-isu lokal daerah, kredibilitas, rekam jejak dan juga langkah-langkah progresif yang akan ditawarkan. Perbedaan langkah dan pendekatan yang digunakan oleh para kandidat bisa menjadi cerminan apakah strategi penanganan masalah yang ditawarkan bersifat riil ataukah hanya lip service yang sulit untuk diimplementasikan. Sudah semestinya kandidat harus memahami bahwa masyarakat pemilih dewasa ini sesungguhnya adalah masyarakat yang cerdas dan tidak gampang diberi janji-janji palsu. Karenanya turunan program dari visi-misi yang telah disusun, harus disertai dengan road map yang jelas. Bukan asal sebut sebagai janji politik. Sebagai pemilih cerdas di Nusa Tenggara Barat, kita tunggu saja suguhan debat sesungguhnya. Tabik.
*) Penulis adalah Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya