Surabaya (ANTARA) - Salam Lestari !
Sejarah Rampogan Macan, Tradisi Adu Harimau Lawan Manusia yang Populer di Tanah Jawa.
Sebuah pertunjukan antara Harimau Jawa dengan Manusia ini sangat populer di era kolonial Belanda.
Suasananya pun terasa seperti menonton pertunjukan Gladiator.
Pada zaman penjajahan banyak ditemukan sebuah pertunjukan yang bertujuan untuk sarana hiburan bagi masyarakat Pribumi maupun di kalangan elit Belanda.
Media hiburan itu bukan hanya mengandung unsur kesenian dan budaya, tetapi juga pertarungan bak Gladiator.
Salah satu pertunjukan yang cukup populer di kalangan masyarakat Jawa yaitu Rampogan Macan atau biasa disebut Rampokan Matjan.
Tradisi pertunjukan ini sudah mulai nge-tren sejak abad 17 hingga 19.
Rampogan Macan ini kerap dipertontonkan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
Sejak pemerintahan Amangkurat II, tradisi Rampogan Macan sudah berlangsung dan sudah menjadi tradisi para Ningrat saat itu.
Di balik hiburan bagi masyarakat kebanyakan, tradisi Rampogan Macan ini menjadi salah satu penyebab punahnya spesies Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica), subspesies Harimau yang hidup terbatas (endemik) di Pulau Jawa.
Harimau ini telah dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an.
Selain itu, punahnya kucing besar ini juga disebabkan pembukaan lahan untuk pertanian, sehingga habitat aslinya pun hilang.
Tradisi Rampogan Macan ini awalnya hanya dilakukan untuk simbolisme suatu ritual, namun seiring berjalannya waktu fungsi dari Rampogan Macan ini berubah drastis.
Populer di Kalangan Sultan
Di Jawa, tepatnya Yogyakarta dan Surakarta, tradisi Rampogan Macan sangat populer dan menjadi sarana hiburan di kalangan para Sultan maupun masyarakat sekitar.
Salah satu sosok yang gemar mengadakan tradisi ini adalah Paku Buwono X.
Selain itu, di sudut alun-alun banyak kandang hewan liar yang memang dengan sengaja dipelihara.
Dari sinilah lahir Kebun Binatang pertama di Indonesia, bila diurut runtut menjadi Kebun Binatang tertua di Indonesia, yang pernah kita kenal sebagai Kebun Binatang Sriwedari Solo.
Pada sekitar tahun 1986 Kebun Binatang Sriwedari oleh Walikota R. Hartomo dipindah ke Jurug Solo, dengan nama Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).
Biasanya, Rampogan Macan akan dilaksanakan di Alun-Alun Utara yang biasa untuk menyambut para tamu agung.
Pelaksanaannya pun biasa dilakukan pada pagi hari, sehingga banyak para pembesar yang datang dan berkumpul.
Kemudian, para prajurit bersiap di tengah alun-alun lalu membentuk formasi mengelilingi arena pertarungan.
Para penombak biasa adalah orang-orang biasa atau prajurit baru sehingga banyak yang ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa ketika berhadapan langsung dengan kucing besar tersebut.
Membunuh Menggunakan Tombak.
Tombak yang digunakan dalam acara Rampogan Macan ini biasanya akan dijual atau digadaikan apa bila memalukan.
Penamaan aksi Rampogan ini sendiri diartikan sebagai "Rayahan" atau "Rebutan", di mana ratusan orang berebut untuk membunuh Harimau menggunakan tombak.
Aksi ini juga digelar di Kadipaten sebagai pemaknaan ruwatan atau mengusir roh-roh jahat.
Sayangnya, Harimau menjadi perlambangan roh-roh jahat sehingga harus dibasmi dan diusir lewat pembantaian.
Dilarang Pihak Belanda
Seiring berjalannya tradisi ini, jumlah atau populasi dari Harimau Jawa ini semakin berkurang dan bahkan punah.
Faktor lain dari punahnya kucing besar tersebut akibat pembukaan lahan besar-besaran pada zaman Belanda sehingga habitat aslinya pun berkurang.
Kemudian, pada tahun 1905 tradisi Rampogan Macan sudah mulai dilarang oleh Pemerintahan Belanda dengan alasan etika.
Menurut mereka, bukan suatu sikap kesatria dan terhormat, karena Harimau tidak dihadapi sendirian atau satu lawan satu.
Harimau Bali (Panthera Tigris Balica) sudah terlebih dahulu punah sebelum Harimau Jawa, dan kini Harimau Sumatera juga terancam punah oleh ulah kita manusia.
"Kau Peduli, Aku Lestari"
Surabaya :
Minggu 29 Desember 2024.
*) Penulis adalah Pemerhati Satwa Liar dan Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI).