Surabaya (ANTARA) - Suatu sore saya membaca sebuah obrolan di sebuah group WA, ada pertanyaan apakah tidak ada rencana group ini mengadakan buka bersama ? mungkin sang penanya merasa group ini kering tak ada aktivitas, dan buka bersama dianggap sebagai sebuah aktivitas, lalu mendapat jawaban dari salah seorang anggota group mohon maaf masih belum bisa, karena saya masih dalam kondisi sakit dan terbaring.
Mungkin bersama dianggap sebagai sebuah aktivitas yang relegious dan menyenangkan. Sebuah dialog ringan tapi itulah menunjukkan watak dan karakter masyarakat kita secara umum. Sebuah suasana yang menggambarkan bahwa apa yang dilakukan kadang juga tidak membangun perspektif yang memahami keadaan orang lain.
Dalam perspektif yang lebih besar saya akan coba tuliskan suasana tersebut yang pada akhirnya terjadi ketimpangan dan mendorong untuk memaksakan diri mengikuti arus yang ada. Memaksakan diri berbuat sesuatu itulah yang berakibat terjadinya penyimpangan perilaku koruptif. Meraampas perasaan dan hak orang lain untuk bahagia demi memuaskan diri. Semua lapisan masyarakat berpotensi melakukan itu.
Indonesia sering digambarkan sebagai bangsa religius. Rumah ibadah berdiri megah di hampir setiap sudut kota. Dari masjid, gereja, pura, hingga vihara, semua ramai oleh umat yang menjalankan ibadah. Survei Pew Research Center (2023) bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara paling religius nomor satu di Asia Tenggara. Namun, ada ironi besar yang terus menghantui: meski masyarakatnya taat beribadah, Indonesia justru menduduki peringkat ke-6 sebagai negara paling korup di Asia Tenggara, menurut Transparency International (2023).
Lebih menyakitkan lagi, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya mencapai skor 34 dari 100, menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri ini masih merajalela. Data Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023) mengungkapkan bahwa korupsi terbesar terjadi pada sektor-sektor strategis seperti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dana pendidikan, bantuan sosial (bansos), dan proyek-proyek infrastruktur. Ironisnya, di tengah berbagai ibadah yang khusyuk, uang rakyat yang semestinya untuk kesejahteraan justru dikorup oleh para pejabat dan oknum yang seharusnya menjadi teladan.
Pertanyaannya, mengapa agama yang diajarkan dan dipraktikkan setiap hari tidak mampu membendung laju korupsi? Mengapa doa-doa yang dilantunkan tak mampu menahan tangan-tangan rakus dari merampok uang rakyat?
Agama yang Tertinggal di Mimbar
Fenomena ini terjadi karena agama sering berhenti sebagai ritual belaka, tidak menjadi akhlak dan etika sosial. Shalat dijalankan, puasa dilaksanakan, tetapi dalam ruang-ruang kekuasaan, nilai kejujuran, amanah, dan integritas ditinggalkan. Agama kehilangan ruhnya sebagai pengontrol moral pribadi dan sosial.
Selain itu, budaya permisif terhadap korupsi sudah terlanjur mengakar. Masyarakat cenderung maklum terhadap perilaku pejabat korup karena merasa "semua orang melakukannya". Bahkan, pelaku korupsi masih bisa tampil sebagai tokoh masyarakat, berdiri di barisan depan masjid, atau menjadi dermawan yang menyumbang ke tempat ibadah, seolah perbuatan baiknya bisa menutupi kejahatan luar biasa tersebut.
Keteladanan yang Rusak dan Penegakan Hukum yang Lemah
Kegagalan agama mencegah korupsi juga tak lepas dari buruknya keteladanan para pemimpin dan lemahnya penegakan hukum. Ketika pejabat tinggi yang kerap berbicara tentang moral dan agama justru terlibat korupsi, maka hilanglah harapan publik pada teladan kebaikan.
Hukum yang semestinya menjadi pagar pelindung justru penuh kompromi. Kasus-kasus besar sering berakhir dengan hukuman ringan atau permainan politik di belakang layar.
Agama Seharusnya Menjadi Etika Sosial dan Moral Publik
Agama sejatinya tidak hanya mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama (hablum minannas).
Buya Syafii Maarif pernah berpesan, "Tak ada gunanya shalat, zakat, puasa, jika tangan masih tega mencuri hak rakyat."
Begitu juga Prof. Azyumardi Azra yang mengingatkan bahwa "Agama mestinya hadir dalam tindakan, bukan sekadar di lisan."
Jika agama hanya berhenti di mimbar, tanpa menjadi kekuatan moral dalam tindakan sehari-hari, maka agama hanya menjadi topeng, sementara kejahatan terus berjalan.
Saatnya Kembali ke Hakikat Agama yang Membangun Moral Bangsa
Korupsi yang merajalela di negeri ini adalah tanda bahwa agama kita sedang mengalami krisis makna.
Untuk itu, perlu gerakan bersama untuk:
Mengembalikan agama sebagai kekuatan moral dan etika publik, bukan sekadar ritual individual.
Membangun budaya malu terhadap korupsi, mulai dari elite hingga masyarakat bawah.
Menegakkan hukum secara adil dan tegas tanpa tebang pilih, sehingga memberi efek jera bagi koruptor.
Mendorong keteladanan pemimpin yang bersih dan berintegritas, karena pemimpin adalah cermin rakyatnya.
Sebagai Sebuah Renungan
"Jika bangsa ini tak lagi takut pada dosa, kepada siapa rakyat berharap keadilan?"
Indonesia harus segera keluar dari ironi ini: bangsa yang mengaku beragama, tetapi tega mengkhianati amanah rakyat. Jangan biarkan agama hanya berhenti di bibir, sementara korupsi terus menari di balik meja-meja kekuasaan.
Surabaya, 15 Maret 2025
*) Penulis adalah Kolumnis dan Dosen Psikologi Komunikasi di STT Multimedia Malang, Wakil Ketua ICMI Jatim