Mataram (ANTARA) - Dari nyanyian buruh tani bocah-bocah Kramat Sawah, protes publik atas privilese (fasilitas mewah) yang dinikmati para elite menggema di setiap sudut kota Jakarta.
Rabu, 3 September 2025
Privilese di balik kenaikan tunjangan DPR adalah yang paling lugas terdengar. Namun, publik juga memahami bahwa fasilitas mewah ini tidak hanya di parlemen. Ia juga hadir di meja para menteri, meski dalam bentuk yang lain.
Praktik rangkap jabatan sejumlah menteri dan wakil menteri contohnya. Selain di kabinet, mereka juga menjabat sebagai eksekutif Danantara hingga komisaris di berbagai BUMN. Pembiaran pelanggaran etika tata kelola tanpa sanksi ini—meski tak terucap—juga fasilitas mewah yang dinikmati elite dan menjadi bahan bakar kemarahan publik.
Wujud lainnya bahkan lebih berbahaya. Ia terlembagakan dalam pasal-pasal problematis UU No.1/2025 tentang BUMN. Melalui regulasi ini sejumlah fasilitas mewah bagi elite termuat dalam Pasal 3H Ayat 2 yang mengikis “risiko” penyelidikan KPK, Pasal 9G dan Pasal 87 Ayat 5 yang mengecualikan pejabat BUMN dari “kewajiban” penyelenggara negara, dan Pasal 71 Ayat 3 yang “membatasi” audit BPK.
Meski begitu, secercah koreksi hadir lewat Putusan Mahkamah Konstitusi atas UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara. Dengan memperluas larangan rangkap jabatan hingga wakil menteri, MK menegaskan bahwa resistensi terhadap privilesse itu belum padam, meski masih teralalu rapuh untuk meruntuhkan tembok privilese yang memagarinya.
Privilese yang Terlembaga.
Kokohnya tembok privilese, karena sudah terlanjur terlembaga. UU No.1/2025 tentang BUMN menjadi contohnya. Yang dalam kerangka Douglas North (1990) dimaknai sebagai perubahan atas “aturan dasar” kelembagaan. Namun, alih-alih memperkuat akuntabilitas publik, regulasi ini justru melonggarkan pengawasan dan mempersempit transparansi—menjadikan “kemewahan” bagi elite bukan lagi sekadar fasilitas, melainkan keleluasaan melanggar tanpa takut ditindak. Inilah privilese yang terlembaga, yang telah menjelma tembok penghalang setiap upaya koreksi. North menyebut pola ini sebagai redistributive institutions: aturan yang sengaja dirancang untuk mengunci distribusi privilese di lingkar elite, sementara insentif bagi BUMN berinovasi dan memberi manfaat publik justru diabaikan.
Karena perubahannya menuntut biaya politik tinggi. Koreksi pun hampir selalu berjalan lambat. North menyebut ini sebagai path dependency—jalur yang sulit dibelokkan. Artinya, begitu privilese ditanam dalam undang-undang, ia akan mengalir ke setiap keputusan strategis BUMN: dari penunjukan komisaris, arah investasi, hingga distribusi keuntungan. Sehingga potensi penyimpangan bukan lagi kasus terpisah, tapi pola yang berulang. Kemewahan fasilitas elite, karenanya, bukan gejala sesaat. Ia mengakar dan sulit digugat.
Dalam lanskap ini, risiko state capture sebagaimana diingatkan Hellman, Jones, dan Kaufmann (2000) tampak jelas. Privilese yang berulang tanpa koreksi membuat keputusan publik yang seharusnya berpihak pada rakyat berubah menjadi alat penguatan elite. Politik pun tak lagi sekadar lobi, melainkan mesin yang melegitimasi penyimpangan sebagai aturan main yang sah.
Relasi antara rakyat sebagai principal (pemberi mandat) dan pemerintah maupun manajemen BUMN sebagai agent (pelaksana mandat) pun terkikis. Loyalitas yang seharusnya mengalir ke publik bergeser ke lingkar kekuasaan. Ruang moral hazard pun terbuka lebar; elite meraup keuntungan jangka pendek, sementara kepentingan rakyat dikorbankan. Publik pun merasakannya, dan amarah di jalanan menjadi buktinya.
Langkah Koreksi
Maka, meredam gejolak saja tidak cukup; akar persoalan pada jalur kelembagaan harus dibongkar. Putusan MK soal larangan rangkap jabatan, misalnya, hanya akan bermakna bila segera dijalankan, bukan menunggu tenggat dua tahun yang memberi ruang elite mempertahankan privilesenya. Penundaan hanya menguatkan kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan demi kenyamanan segelintir elite.
Lebih mendasar, revisi pasal-pasal bermasalah dalam UU No.1/2025 tentang BUMN adalah keharusan. Pasal 3H Ayat 2, Pasal 9G, Pasal 87 Ayat 5, dan Pasal 71 Ayat 3 bukan sekadar redaksi hukum; ia adalah infrastruktur legal yang mengalirkan privilese ke lingkaran elite politik dan ekonomi. Tanpa perubahan, jargon reformasi tata kelola tak ubahnya slogan omon-omon belaka.
Langkah korektif ini harus dibarengi pengawasan independen yang efektif, keterbukaan informasi publik, dan penegakan sanksi tegas atas setiap konflik kepentingan. Transparansi tak akan berarti bila publik hanya diberi potongan informasi, atau bila pelanggaran berhenti di meja wacana tanpa akuntabilitas nyata.
Namun, koreksi regulasi hanyalah pintu awal. Akar privilese yang mengendap tak akan hilang hanya dengan revisi undang-undang. Diperlukan reformasi insentif yang mengikat loyalitas pejabat kembali ke mandat publik—termasuk UU Perampasan Aset. Tanpa itu, setiap koreksi hanyalah tambal sulam, yang gagal meredam arus ketidakadilan yang kini bergelombang di jalanan.
