Mataram (ANTARA) - Resensi buku: Something Between Us, Anand Pandian, 304 halaman (plus index), ISBN: 9781503642324, cetakan pertama Mei 2025, Stanford University Press, AS
Tembok Trump, mungkin istilah itu yang cocok untuk menggambarkan tembok perbatasan antara Amerika Serikat (AS) dan Mexico. Wujud dari ambisi Trump untuk memblok arus masuk pencari kerja dari Mexico ke AS. Selama masa kampanye pada periode pertama kepresidenannya, Trump telah gembar-gembor membangun tembok itu. Di berbagai wilayah pemilihan, para pendukung Trump gencar menyuarakan ''Build the Wall'' (Bangun Tembok).
Seruan pendukung Trump itu bersumber dari ketidaksukaan mereka terhadap para pencari kerja dari negara lain ke AS. Bagi mereka, AS adalah untuk warga AS. Warga negara lain dipersilakan ke AS tapi tidak untuk mencari kerja atau peluang berusaha. Sikap anti tenaga kerja asing merupakan cermin dari rasa tidak nyaman dan tak aman. Trump dan Partai Republik menangkap rasa itu lalu menjadikan tema pokok kampanyenya untuk meraih jabatan kepresidenan.
Seorang petugas patroli di Dakota Utara suatu ketika mengatakan kepada penulis buku ini, bahwa ia tak akan meninggalkan rumahnya tak terkunci. Baginya, meninggalkan rumah harus dalam keadaan rumah itu terkunci. Begitupula dengan keadaan bangsa, pintunya harus dikunci. Analogi ini marak di kalangan warga biasa pendukung Trump. Bagi mereka, warga asing atau pendatang adalah ancaman keamanan dan keselamatan.
Dari serangkaian fakta yang dijumpai pemulis melalui wawancara luas sejak 2016 tampak bahwa persoalan tembok pembatas itu bukan cuma retorika politik. Itu kenyataan hidup sehari-hari di AS ketika cara pikir kebanyakan warga AS adalah membedakan diri mereka dari orang asing. Warga AS lawan orang asing, keamanan versus ancaman. Fakta-fakta itu sangat kuat terlihat dalam keseharian warga. Dari keinginan untuk rasa aman pribadi dan keluarga lalu memuncak pada rasa aman secara nasional.
Bagi mereka, sangat perlu membentengi AS. Terutama dari kehadiran orang-orang asing yang mengancam rasa aman serta nyaman. Benteng adalah solusi untuk tetap mempertahankan keseharian AS yang nyaman. Mereka, para pendukung Trump, sangat sulit mempercayai orang asing atau bersimpati pada upaya keras pekerja asing di AS. Sebagai antropolog, penulis buku ini melihat seksama betapa sulit warga AS yang sudah kerasukan anti orang asing untuk menerima pekerja dari luar AS.
Tembok pemisah sesungguhnya sudah ada dalam hati dan pikiran warga AS anti asing. Hanya saja, mereka memendamnya selama ini. Bagi mereka, jagat hidupnya berbeda dari dunia di luar tembok pemisah. Perhatian utama adalah pada jagat hidup dalam tembok, tak peduli pada dinamika di luar tembok atau keinginan orang di luar tembok untuk bisa merasakan alam kebebasan AS. Tembok hati dan pikiran ini benar-benar memblokade perasaan warga AS yang berpandangan kebebasan AS milik warga AS dan orang luar AS tak perlu latah ikut merasakan kebebasan itu.
Pada tahun 2017, penulis buku ini mengunjungi pameran senjata api di Fort Lauderdale, Florida. Ribuan senjata api berbagai jenis terlihat dipamerkan. Senjata-senjata itu diproduksi beragam pabrik. Yang menarik perhatian adalah produk bermerek ''Thunderwear''. Produk untuk membawa senjata dengan aman dan nyaman walau pemilik senjata itu sedang tidur di kasur. Pramuniaga senjata api menjelaskan, produknya paling diminati karena meningkatkan rasa aman bagi pembawa senjata api.
Keluar dari ruang pameran itu, penulis buku ini berpikir betapa rumitnya hidup warga AS yang selalu merasa terancam. Seperti tak ada tempat aman di seluruh wilayah AS. Warga merasa aman jika bisa membawa senjata api kemanapun dia pergi. Gaya hidup seperti itu justru yang berbahaya bagi seluruh warga. Sebab, jika terjadi ketegangan bahkan perseteruan diantara mereka, maka senjata api bisa menyalak. Mirip perilaku ''Senggol bacok'' di kalangan preman di Indonesia.
Dalam 12 ulasan khas observasi bernuansa antropologi yang termuat dalam empat bagian, penulis buku ini berhasil merinci suasana kebatinan warga AS yang barangkali sejak tragedi 9/11 merasa tak aman. Rasa curiga dan tak nyaman terhadap orang asing masih mengendap dalam keseharian warga AS. Lalu, datanglah Trump ke panggung politik. Ia menawarkan cara membuat AS kembali digjaya. Yakni, dengan membangun tembok dan mempersetankan apapun dari luar tembok. Trump lantas disambut luas, meski sebenarnya siasat Trump bukan hal baru. Dulu, Hitler sohor dengan propaganda ''Liebensraum'' (Ruang Hidup), beda retorika mirip substansinya.
Akhirulkalam, beragam batas hadir dimana-mana, mengisi kehidupan budaya manusia. Namun, batas itu tidaklah harus diekspresikan dengan tembok pembatas yang secara kaku memisahkan antar warga. Setiap denyut keseharian memang punya batas. Jangan melampaui batas. Itu tidak baik. Membangun tembok pemisah untuk mempertegas batas, justru tanda melampaui batas.*
