Tak sekadar transisi energi

id resensi buku,Tak Sekadar Transisi Energi,Subjects of the Sun, Myles Lennon Oleh Rosdiansyah

Tak sekadar transisi energi

Resensi buku: Subjects of the Sun, Myles Lennon, 336 halaman (plus index), ISBN 9781478060765, cetakan pertama Juni 2025, Duke University Press, AS (ANTARA/HO- Dok Rosdiansya)

Mataram (ANTARA) - Resensi buku: Subjects of the Sun, Myles Lennon, 336 halaman (plus index), ISBN 9781478060765, cetakan pertama Juni 2025, Duke University Press, AS

Narasi penyelamatan lingkungan kini sedang marak. Selain itu, juga menghadirkan sumber energi baru ramah lingkungan. Bukan saja di negara maju, narasi tersebut menghiasi ruang-ruang keseharian warga dan para pengambil keputusan. Namun, di negara-negara berkembang yang sarat Sumber Daya Alam (SDA) pun narasi itu bergaung.

Diantara konten narasi itu adalah bagaimana cara menyelamatkan lingkungan yang telah terlanjur porak-poranda selama minimal lima dekade belakangan ini. Sekaligus bagaimana cara merawat kesadaran warga demi mencegah kerusakan lingkungan lebih parah.

Namun, ancaman eksistensial terbesar bagi kehidupan di bumi sering kali dialami melalui kehidupan di cloud, tempat untuk menyimpan beragam data. Meskipun kita mungkin belum memerlukan mediasi digital untuk memahami konsekuensi yang selalu ada dari dunia yang kian menghangat akibat pemanasan global.

Pengalaman berbagai negara di wilayah utara memperlihatkan krisis energi yang berpangkal dari sistem pembangkit listrik dialami justru bukan berdasar pengalaman langsung. Melainkan berdasar pada data yang tersedia, data yang digali dan pengolahan data. Sehingga bisa dikatakan, pengalaman menghadapi krisis tersebut acap merujuk pada fenomena datafikasi. Tergantung pada data yang tersedia.

Apalagi, diskursus sipil tentang transisi energi sering kali fokus pada kebijakan, instrumen keuangan, dan kemauan politik. Sembari mengabaikan cara sehari-hari di mana aktivis, teknokrat, dan masyarakat biasa memperbincangkan infrastruktur energi melalui media virtual dan visual.

Namun, situasi itu sesungguhnya perlu diperhatikan secara cermat. Mengingat dalam masyarakat yang berubah menjadi penonton, yang disebut oleh filsuf Prancis, Guy Debord, sebagai ''Society of the Spectacle'' (Masyarakat Penonton), media sering kali mendistorsi, membingungkan, dan mempertahankan tatanan ekstraktif kapitalisme rasial.

Artinya, distorsi media acap menyembunyikan hasil-hasil industri ekstraktif yang merupakan praktek kapitalisme yang faktanya juga bersifat rasial. Hanya kalangan dari ras tertentu saja, seperti ras Kaukasoid dan Mongoloid, yang memperoleh kesempatan merasakan kenikmatan apapun produk kapitalisme. Terutama produk di bidang energi yang ditopang industri ekstraktif, industri yang menyedot SDA tanpa mau menanggung resiko lingkungan rusak.

Situasi kesenjangan itu membuat kita semakin terasing dari dunia yang seharusnya disembuhkan oleh energi bersih. Buku ini menukik ke jantung persoalan tersebut melalui amatan kritis terhadap beragam aktor yang terlibat dalam isu energi bersih. Seperti para teknolog, komunitas anti-kapitalis, korporasi bersih lingkungan, kelompok kulit putih pro-neoliberal serta pegiat lingkungan nirlaba. Meski mereka berada dalam posisi berbeda, namun mereka punya sudut-pandang unik terhadap masa depan energi bersih.

Diantara yang dikhawatirkan penulis buku adalah sikap pemerintahan Trump pada periode kedua ini. Menurutnya, Trump saat ini adalah sebuah rezim pemerintah yang hampir pasti akan membongkar regulasi lingkungan, melemahkan industri energi terbarukan, dan mengabaikan perlindungan keadilan lingkungan. Sedangkan sebagian besar studi lapangan dari buku ini dilakukan pada masa periode pertama pemerintahan Trump.

Melalui buku ini, penulis berargumen bahwa infrastruktur energi bukanlah semata urusan material. Melainkan, hal itu juga berkaitan pada kekuatan ideologis. Dalam berbagai dokumentasi tentang energi fosil, misalnya, terlihat jelas bagaimana bahan bakar fosil pada gilirannya juga menjadi pangkal dari perkara politik dan sosial. Beragam produk energi fosil acap menjadi bagian penting dari dinamika politik, sebab mereka yang menguasai produk-produk itu, seperti minyak bumi, batubara dan gas bumi, tentu mempunyai jalur khusus ke pembuat kebijakan.

Arsitektur politik yang sudah terbentuk ketika energi fosil itu menjadi primadona, kini bakal tetap dipertahankan. Hanya saja interkonektivitas politik dan lanskap media digital energi fosil akan digantikan oleh penguasaan terhadap EBT, utamanya tenaga surya. Oleh karena itu, dibutuhkan proses transisi energi yang radikal, terfokus pada pengaturan ulang antara manusia dengan ruang-ruang kebijakan yang ada dengan bertumpu pada kepekaan lingkungan.

Konten buku ini sebenarnya hanya empat bab, diawali dengan pemaparan tentang kisah mikrogrid di kompleks apartemen Marcus Garvey di Brownsville, Brooklyn, AS. Mikrogrid adalah stasiun pembangkit daya skala kecil yang menyediakan listrik, yang dihasilkan secara lokal (berbeda dengan listrik yang dihasilkan secara terpusat), kepada jaringan pengguna listrik yang terikat secara geografis. Dengan mikrogrid ini memungkinkan komunitas untuk kemandirian energi jika terjadi kerusakan pada jaringan pusat. Apartemen itu salah satu pemakai pertama mikrogrid tenaga surya di AS.

Lingkungan Brownsville mempunyai tingkat kriminalitas tinggi, pengangguran yang merajalela, statistik kesehatan masyarakat yang buruk, dan sebagainya. Sedangkan mikrogris tenaga surya adalah piranti kompleks dan mahal, memerlukan tidak hanya investasi keuangan yang cukup besar tetapi juga kemampuan teknis, institusi yang memiliki sumber daya yang baik, dan lingkungan yang dibangun yang stabil (misalnya, atap yang utuh). Semua itu kurang dimiliki oleh komunitas miskin seperti Brownsville.

Aktivis, ahli, dan orang awam yang berbasis di Kota New York sering kali secara keliru mengonsep infrastruktur solar sebagai kekuatan kesetaraan, demokrasi, dan mobilitas sosial. Sebab, sebagian besar dari kita hanya pernah mengenal dan berinteraksi dengan infrastruktur semacam itu melalui platform daring dan tampilan layar sosmed. Faktanya, kehadiran infrastruktur tenaga surya justru masih mempertahankan kesenjangan, sebagaimana kesenjangan dampak dari energi fosil.

Akhirulkalam, pendekatan buku ini memang unik. Tak dilakukan lewat penjelasan teknis tenaga surya itu untuk warga masyarakat dan apa yang bisa dilakukan warga masyarakat ketika infrastruktur tenaga surya itu sudah berada di tengah-tengah masyarakat. Energi Baru Terbarukan (EBT) memang harapan untuk menghadirkan energi lebih murah bisa dinikmati semua orang, meski faktanya saat ini EBT masih dinikmati orang-orang tertentu saja.*



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.