Apa kabar Islam anda ?

id islam,apa kabar islam anda,Islam di Persimpangan Kekuasaan,resensi buku Oleh Jufri Naldo *)

Apa kabar Islam anda ?

Buku “Islam di Persimpangan Kekuasaan: Meneroka Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Sumatera Utara, yang ditulis oleh Faisal Riza (ANTARA/HO)

Medan (ANTARA) - Ada sebagian umat Islam memiliki beberapa keyakinan selepas Prabowo Subianto dilantik jadi Presiden atau paling tidak selepas Maxim Bouttier menikahi Luna Maya. Pertama, untuk menjadi seorang muslim cukup hanya dengan membersihkan hati dan sekali waktu mengikuti training-training kesalihan.

Kedua, untuk menjadi seorang muslim harus mampu membongkar tafsir ayal-ayal Alqur’an dan mematutkannya dengan perkembangan zaman. Ketiga, ada keyakinan bahwa untuk menjadi seorang muslim yang sempurna, seseorang harus menonton kontes dakwah di laman televisi, di media sosial youtube–kemudian jangan lupa di like dan subscribe, atau menonton tayangan religious-klenik yang memvisualisasikan azab tuhan dan kengerian api neraka.

Selanjutnya yang keempat, untuk menjadi muslim yang sempurna itu harus lewat jalur politik, yakni membentuk basis massa, kemudian mendirikan partai politik yang di support oleh ormas Islam, dan disusupkan ke Masjid-Masjid dengan iming-iming Islam harus menjadi pemenang karena selama ini tertindas, setelah itu mereka duduk menjadi eksekutif dan legislatif dengan gaji yang glamor tanpa harus pusing dengan kebijakan negara dan sering buat kebijakan seenaknya.

Itulah potret sebagian umat Islam saat ini yang telah dimanipulasi oleh komersialisme, industri media, dan ereksi-proyek ekonomi politik yang berjubah agama. Dan ini menjadi bukti bahwa masyarakat kita–terlebih saya–acap kali tercebur ke dalam pusaran manipulatif itu yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman tentang tauhid dan abai untuk mendalami ruh Islam yang sesungguhnya. Buku “Islam di Persimpangan Kekuasaan: Meneroka Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Sumatera Utara, yang ditulis oleh Faisal Riza, hadir untuk menghentakkan kesadaran masyarakat agar terlepas dari manipulatif itu.

Secara sepintas, buku ini terkesan melawan ulama yang dianalogikan sebagai orang yang salih dan taat. Namun sesungguhnya kita perlu berterima kasih pada pengarang yang telah menyajikan pemikiran dan pengalaman panjangnya sebagai seorang sarjana yang berinteraksi langsung dengan para ulama, politisi, dan aktivis–yang datang dari berbagai latar belakang nan berbeda. Pengarang buku ini sangat otoritatif dalam bidangnya.

Berbekal pendidikan Pondok Pesantren semasa tingkat menengah di Medan, kemudian melanjutkan pendidikan tingkat atas di Mu’allimin Muhammadiyah Klaten, dan terakhir jenjang kesarjanaan yang tertinggi disudahi pada tingkat Doktoral di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan. Saat ini pengarang adalah Associate Profesor, Pemikiran Politik Islam, di Universitas yang sama.

Secara jujur, Islam di Persimpangan Kekuasaan, mengajak pembaca untuk melihat kembali bagaimana kota Medan, yang dari sosio-kultural mempunyai karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Keunikan tersebut terletak pada kesediaan kota Medan dalam mencukupkan apa yang ingin dicari oleh masyarakat, misalnya mencari agama, suku, ras, enis, dan yang paling krusial adalah mencari “stok” ketua–kota Medan memiliki itu semua (Hal. 34).

Oleh karena itu, dalam hal ini, Riza justru menyediakan satu bagian khusus awal mula terbentuknya kota Medan dengan segala kompleksitasnya itu, yang menurut Riza kota Medan bisa muncul dalam geografis pemukiman penduduk tidak lain adalah setting-an dari para imajinator kelas elit dan pebisnis orang Eropa (Hal. 182). Setelah terbentuk dan ditinggal oleh si pembuat, konsekuensi selanjutnya adalah semua kelompok dan golongan berhak meng-klaim bahwa kota Medan adalah punya mereka. Apakah mereka yang dari kelompok etnis, suku, dan agama. Dari sinilah sumbu awal pertikaian itu muncul. Ada rasa nano-nano bagi sebagian warga kota, kecemburuan sosial mulai kumat, diskriminasi mulai tumbuh dan subur, dan berakhir dengan gejolak dengan membawa identitas primordial yang dimiliki.

GNPF Sumatera Utara adalah sebuah identitas primordial yang dianulir sebagai gerakan sebagian warga kota yang ingin merebut kekuasaan dengan jalur politik praktis yang di bungkus dengan jubah agama. Riza menukilkan bahwa proyeksi menciptakan gerakan dengan jargon memperjuangkan Islam sesungguhnya hanya gambaran yang digerakkan dengan setting latar, penambahan properti, narasi, dan penguat suara yang menciptakan ilusi.

Di balik jargon itu para agen dan aktor gerakan hanya memperjuangkan agenda politik (hal. 181). Memang, sebuah gerakan apabila sudah dibalut dengan agama maka akan sangat meriah dan di sambut baik oleh masyarakat banyak. Hal ini wajar, karena sejarah juga mencatat, betapa sebuah gerakan yang sudah terinspirasi, terdorong, dan dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam sangat berperan besar dalam membangkitkan semangat perubahan. Syarikat Islam (SI), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al Washliyah, adalah contoh sebuah gerakan sosial keagamaan di Indonesia yang berhasil membangkitkan semangat kemerdekaan (Hal. 51). Akan tetapi ruang, waktu, dan situasi dan kondisinya tentu sangat jauh berbeda.

Saya sendiri, terus terang, sangat menikmati membaca buku ini. Mungkin baru kali ini saya menikmati sebuah buku yang sangat ilmiah dan menantang. Di setiap bagian-bagian yang ada dalam buku ini–tentu saja dalam tingkatan yang berbeda–saya memperoleh banyak hal, sekaligus dalam buku ini ditemukan teori yang kokoh kemudian dipadukan dengan data yang kuat yang diperoleh dengan susah-payah dan dikumpulkan selama bertahun-tahun. Ketajaman analisis pengarang yang dipimpin oleh teori gerakan sosial (ingat: teori ini lahir di Barat kemudian dikembangkan di Timur) kemudian diaduk dan dibentrokkan dengan kesediaan untuk menomor-satukan fakta dilapangan.

*) Penulis adalah Pecinta Buku dan Kopi



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.