Mataram (ANTARA) - Resensi buku: Al-Jahiz and Religious Knowledge, Hussein Ali Abdulsater, 360 halaman (plus index), ISBN: 9781399521994, cetakan pertama Juni 2025, Edinburgh University Press, UK
Abu Uthman al-Jahiz atau akrab disapa Al Jahiz, merupakan intelektual muslim sohor abad ke-8 sampai abad ke-9 yang reputasinya melampaui zaman. Selain kutu buku, ia juga dikenal sebagai pengamat andal. Hasil amatannya dituangkan ke dalam berbagai karya yang menghiasi masa keemasan peradaban Islam yang membentang mulai dari Afrika Utara sampai ke Asia Selatan.
Sebagai ilmuwan, ia sangat percaya pada empirisme. Sebagai teolog, ia berusaha menangkap kemegahan ciptaan Illahi ke dalam kata-kata serta mengembangkan epistemologi yang kompleks dan canggih. Gaya prosa yang dikembangkannya sangat unik. Ia begitu rinci dan sangat kuat berargumentasi. Sehingga warisannya hampir terlalu luas, terlalu rumit dan terlalu halus untuk dipahami oleh para penerusnya.
Namun, dalam jajaran intelektual muslim, nama Al Jahiz masih jarang disebut jika dibanding nama Ibnu Rushd (Averroes), Ibn Sina (Avicenna), Al Farabi, Ar Razi, Al Kindi dan Al Ghazali. Padahal, karya monumental Al Jahiz seperti ''Kitab Hayawan'' merupakan kitab yang masih dibaca hingga hari ini di kalangan civitas akademika.
Sepanjang hayatnya, Al Jahiz dikenal punya rasa ingin tahu yang amat besar terhadap berbagai obyek. Ia sanggup membaca manuskrip-manuskrip berbahasa Arab dan beragam bahasa lainnya selama berjam-jam di dalam perpustakaan, kemudian menyarikan lalu memperbincangkan dengan para sohib. Karya-karyanya yang bernuansa sastrawi begitu memikat karena pilihan kata dan langgam bahasa yang dikuasainya dengan baik.
Ia lahir di Basra pada 776 Masehi. Pendidikan formalnya dari madrasah sembari sehari-hari ia menjual ikan. Saat remaja ia menjadi jamaah masjid di Basra dimana para intelektual muslim kerap berkumpul untuk mengajar hadis, tata bahasa, tafsir, filologi, serta ilmu kalam. Kesukaannya mengunjungi pasar kemudian membuatnya acap bertemu dengan orang-orang Badui yang mendemonstrasikan kecakapan berkata-kata atau bersyair. Al Jahiz mencatatnya dengan baik tradisi Badui itu.
Sebagai pegiat literasi pada masanya, Al Jahiz kerap menghadiahkan kitab karyanya kepada penguasa dan para intelektual. Tentu, bukan sekadar hadiah, tapi implisit hadiah itu adalah ajakan kepada mereka untuk memperluas wawasan. Ia dekat pada Khalifah Al Ma'mun yang mengundangnya ke Baghdad. Bahkan, ia menjadi tutor Khalifah Mutawakkil, penerus Al Makmun. Selain khalifah, Al Jahiz juga menghadiahkan karya-karyanya kepada sejumlah intelektual dan ahli hukum istana, seperti pakar hukum Mazhab Hanafi Ahmad ibn Abi Du'ad dan wazir (perdana menteri) dari Khalifah Mutawakkil, Al Fath ibn Khaqan.
Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, gurubesar bahasa Arab di Universitas Cambridge, James Montgomery, mengatakan bahwa pada masa puncak karirnya Al Hajiz kembali memperdalam ilmu kalam. Langkah itu dilakukan Al Jahiz untuk membangun sistem pemikiran rasional berdasar pada Qur'an. Sebagai rasionalis muslim, Al Jahiz sangat peduli pada pokok-pokok ajaran keesaan ilahi yang absolut tanpa syarat, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk melarikan diri dari keadilan ilahi, serta keunggulan akal manusia.
Perjalanan religiositas Al Jahiz tidak main-main. Ia berinteraksi pada beragam orang yang berbeda keyakinan. Ia benar-benar menghayati diri sebagai seorang muslim yang memakai rasionalitas di tengah kemajemukan pengikut agama pada masa itu. Pandangan kritisnya pada religiositas manusia tidak berarti ia menolak agama secara keseluruhan. Sebaliknya, itu adalah buah dari pencarian pengetahuan sepanjang hayat, yang dipandu oleh rasa ingin tahu yang tidak biasa dan dihidupkan oleh berbagai kontroversi yang melingkupinya. Untuk memahami perspektifnya, penting untuk melihat konteks sejarah Al Jahiz.
Jauh sebelum kelahiran Al Jahiz, kekhalifahan Abbasiyah telah membangun Baghdad untuk menggantikan Damaskus. Para elit Baghdad, termasuk para khalifah, bersikap menyamakan semua muslim. Tak membedakan latar belakang Arab atau non-Arab. Semua diperlakukan sama, sehingga muslim non-Arab pun memperoleh kesempatan lebih luas dan nyaman di ruang publik. Dalam suasana kemajemukan itulah Al Jahiz hadir. Ia tumbuh sebagai remaja yang berinteraksi dengan beragam muslim yang berbeda latar-belakang.
Selain itu, konversi besar-besaran penduduk dari kepercayaan lama ke Islam ternyata belum diikuti dengan keterampilan berbahasa Arab. Padahal, untuk praktek ibadah, harus menggunakan bahasa Arab. Sementara, kalangan terdidik non-muslim juga gencar menolak ajaran Islam meski mereka bekerja sebagai administrator, teknisi, ahli fisika dan astronom istana. Khalifah Al Mansur tak kuasa membujuk mereka untuk masuk Islam. Dan situasi ini membuat kalangan intelektual muslim merasa tertantang untuk berdebat secara keilmuan.
Ketika Khalifah Al Ma'mun naik tahta di awal Abad ke-9, ia menghadapi situasi Baghdad yang hiruk pikuk penuh kontroversi. Saat itulah sang khalifah pertama kali bertemu Al Jahiz, sang penulis. Al Jahiz, yang lahir di Basra, bergabung dengan kerumunan orang-orang ambisius yang bercita-cita untuk meraih ketenaran di ibukota Baghdad. Diantara sohibnya adalah Ab al-Hudhayl al-Allf dan Ibrhm al-Nam. Sebelum perang saudara pecah, Allf dan Nam telah berkecimpung dalam lingkaran elit debat yang digelar oleh keluarga Barmakid yang sangat berpengaruh dan dipimpin oleh seorang intelektual terkemuka, Hishm b. al-akam. Sosok ini sangat menentukan pembentukan teologi Islam. Kemudian, ketika Mamn sendiri mengadakan sesi debat mingguan, banyak pengajar dan rekan-rekan Al Ji termasuk di antara yang paling berprestasi yang hadir dalam sesi-sesi ini.
Al Jahiz kemudian menjadi tutor putra khalifah. Ia menjadi pejabat istana. Selain memberi analisa dan observasinya kepada para pejabat istana lainnya seperti khalifah, wazir, para hakim, birokrat, ahli fisika dan astronom. Al Jahiz ternyata juga mencatat hasil interaksinya dengan para nelayan, tukang cukur, penjahit, pekerja sanitasi, tukang jagal, penjaga istana dan para pedagang. Aktivitasnya ini menjadikan Al Jahiz bukan sebagai intelektual di menara gading.
Ia intelektual organik yang bergaul dengan kalangan elit istana dan orang-orang biasa. Sehingga, ulasan-ulasan dalam bukunya sangat kaya nuansa. Kemahirannya dalam menulis dan membuat kalimat indah bermakna dalam kemudian menempatkan Al Jahiz sebagai penulis sohor favorit khalifah. Bahkan beberapa elit pejabat juga acap memesan buku karyanya. Keandalan Al Jahiz juga terlihat dari keterampilannya berlogika.
Sebagai salah satu tokoh aliran Mu'tazilah, Al Jahiz benar-benar memperlihatkan argumen-argumen teoritis yang memukau. Terutama argumen-argumen moral yang kokoh untuk berdebat lawan beragam orang, termasuk lawan non-muslim. Meski demikian, Al Jahiz juga acap mengkritik praktek-praktek pengusung Mu'tazilah yang dianggapnya sangat elitis. Kurang membumi.
Ala kulli hal, Al Jahiz memang contoh terbaik untuk melihat bagaimana pemakaian akal dalam mencari kebenaran. Sepanjang hayatnya, ia bersentuhan dengan fakta-fakta empiris keseharian yang lantas hal itu menjadi pijakannya untuk menilai batas-batas pemakaian nalar. Keyakinan pada ajaran agama perlu dihayati dan dilaksanakan secara baik dan benar dalam keseharian. Agama mempersilakan manusia memakai akal, tapi mengakali ajaran agama tentu berujung celaka.*