Surabaya (ANTARA) - The World at First Light, Bernd Roeck, 1184 halaman (plus index), ISBN 9780691272153, cetakan pertama Juni 2025, Princeton University Press, AS
Renaisans identik dengan Eropa. Bisa dilacak sampai ke abad 14. Diawali di Florence, Italia. Ketika berbagai gagasan baru bermunculan, gaya seni semarak menghiasi keseharian warga. Suasana ketegangan antara Kesultanan Turki dan Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel masih terasa. Hingga pada 1453 Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Turki. Menandai periode baru bagi Eropa.
Perhatian para intelektual Italia terhadap warisan klasik Yunani pelan-pelan meningkat. Musim panas 1630 di Venesia. Hari yang panjang mendekati akhir. Angin sore bertiup dari Lagun melalui atap genteng yang masih hangat dari sinar matahari sepanjang hari, hembusan udara menyapu dahi tiga pria, yaitu Salviati, Simplicio dan Sagredo, yang telah berkumpul di salah satu istana kota.
Mereka telah menghabiskan seharian dalam percakapan serius, membahas dua "sistem dunia utama": teori Claudius Ptolemaios, yang diyakini sejak zaman kuno, bahwa Bumi merupakan pusat alam semesta. Dan lain teori, yang belum berusia satu abad, dari astronom Polandia Nicolaus Copernicus, yang memposisikan Bumi hanyalah sebuah planet yang mengorbit Matahari.
Perbincangan pun bergeser pada ketakjuban pada temuan baru kala itu, yakni mesin cetak. Adalah Johannes Gutenberg yang menemukan pada tahun 1440. Berkat penemuan ini, berbagai kegiatan ilmiah, diskusi tercatat dan catatan gagasan, bisa dicetak lalu disebar luas. Kisah perbincangan dua teori di atas termaktub dalam buku karya Galileo Galilei yang bertajuk Dialog Tentang Dua Sistem Dunia yang terbit di Florense pada 1632. Galileo memakai cara perbincangan imajiner tiga orang di atas.
Dan Galileo menempatkan pandangannya sendiri pada mulut Salviati, seorang pendukung pandangan dunia Copernicus. Sedangkan tuan rumah, Sagredo, berperan sebagai moderator. Namun dia, seperti Salviati, adalah seorang pendukung Copernicus dan dengan demikian juga sepandangan dengan Galileo. Sebaliknya, Simplicio justru menganjurkan sistem Ptolemeus lama. Nama Simplicio berarti 'orang bodoh.' Dia akhirnya, dalam buku itu, diusir dengan penuh ironi. Risalah Galileo tersebut laku keras berkat kemahirannya bercerita walau dengan gaya sarkasme.
Galileo bertujuan untuk meyakinkan audiens. Oleh karena itu, ia memulai dengan retorika, bukan matematika. Argumen yang diajukan oleh juru bicaranya, yaitu Salviati, bukanlah hal baru, dan tidak selalu tepat sasaran (misalnya, ia berpikir bisa mengutip pasang surut sebagai bukti bahwa Bumi bergerak). Melalui bukunya, Galileo menunjukkan bahwa keindahan argumen jauh lebih penting daripada fakta-fakta yang ada.
Berkat percetakan, karya Galileo kemudian bisa diakses publik. Cara Galileo menyajikan pandangan-pandangannya melalui dialog dan diskusi para tokoh rekaan merupakan model warisan Yunani dan Romawi. Beberapa abad sebelum Galileo, filsuf Socrates dan Cicero juga menggunakan cara yang sama. Keduanya melahirkan karya-karya berisi pandangannya yang ditulis dengan cara dialog tokoh rekaan.
Mekanisasi pada abad ke-13 adalah suatu pembalikan fundamental dari dunia yang ada sebelumnya. Penemuan mesin cetak Johannes Gutenberg memicu revolusi media. Hal ini didahului oleh apa yang bisa kita sebut sebagai revolusi diskursif, perluasan yang awalnya bertahap namun semakin cepat dari topik-topik yang dapat ditulis dan dibicarakan. Terfokus pada dunia sekuler dan terutama pada zaman kuno.
Melalui Reformasi, muncul revolusi agama. Akhirnya, Copernicus, Kepler, dan Galileo merombak ilmu kosmologi dan ilmu fisika. Secara keseluruhan, revolusi-revolusi ini mengubah dunia. Mereka menciptakan apa yang kita sebut modernitas, atau lebih tepatnya, jenis modernitas Barat, yang telah memberikan pengaruhnya di seluruh dunia. Sejarah awal renaisans dihiasi situasi itu.
Perjalanan renaisans Eropa memang melewati berbagai zona. Tidak berhenti pada satu negara atau bangsa tertentu di benua tersebut. Namun, yang selalu tampak dalam kisah perjalanan itu adalah kedekatan dengan laut, dan sering dibingkai oleh panorama padang rumput, hutan, dan ladang. Berkat renaisans, Eropa berjalan dari mitos ke logos, dari hutan ke kota dan melintasi lautan.
Pada akhirnya, Eropa muncul dari dunia tertutup ke alam semesta yang tak terbatas. Renaisans yang terengah-engah dalam sejarah berubah menjadi kekuatan mesin uap yang menaklukkan dunia. Dialog agung, yang menjadi praktek ilmiah selama berabad-abad lantas membuka jalan terbentuknya nilai, norma, wawasan serta cara pandang “Barat”. Dan ''Barat'' tak lalu menjadi konsep identik dengan kebebasan, kemajuan, pencapaian prestasi serta keuletan.
Para pemikir abad ke-12 sudah mengenali jati diri mereka usai terjadi pertarungan melawan dogmatisme, takhayul, mistis serta fanatisme buta. Untuk kemudian menuju pada kemerdekaan berpikir, keberanian berpendapat, kecermatan berargumentasi. Ibaratnya, seperti ungkapan Bernard Chartres, bahwa para pemikir Eropa adalah kurcaci di atas bahu raksasa renaisans. Newton pun menggunakan metafor yang sama.
Buku ini berisi empat bagian dengan 49 pokok bahasan. Sangat tebal, 1169 halaman. Boleh dikata, bahasan penulis sangat rinci menggambarkan situasi Eropa saat awal renaisans sampai munculnya Eropa sebagai kekuatan dunia. Bernd Roeck gurubesar ilmu sejarah modern yang mengajar di Universitas Zurich, Swiss. Ia juga direktur dari The German center for Venetian Studies in Venesia. Ia sempat menjadi jurnalis pada tahun 1972-1976 di Muenchen, Jerman.
Akhirulkalam, perjalanan sejarah renaisans Eropa memang selalu melahirkan sudut pandang baru. Buku ini pun melihat faktor dialog bebas yang meniru cara-cara filsuf Yunani untuk membebaskan publik dari mitos dan mistis pada gilirannya melahirkan kembali kebebasan berpikir dan berekspresi di Eropa. Masalahnya, kebebasan itulah yang mendorong Eropa lantas merasa lumrah mencaplok wilayah-wilayah lain di seberang lautan untuk menjadi koloninya.*