Mataram (ANTARA) - Insiden Kepala Kanwil Kemenag NTB, Zamroni Aziz, yang viral karena melempar mikrofon saat pelantikan Kepala Kemenag Dompu, menuai sorotan publik. Walaupun dijelaskan sebagai tindakan spontan karena mikrofon menghalangi prosesi ucapan selamat, persepsi masyarakat melihatnya sebagai sikap kurang pantas dalam forum resmi. Bagi pejabat publik, tindakan kecil sekalipun bisa menimbulkan dampak besar terhadap citra birokrasi.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, perilaku pejabat publik wajib tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014. Melempar mikrofon, meski tidak melanggar hukum pidana, dapat dipandang bertentangan dengan asas kepatutan dan profesionalitas. Publik berhak menuntut sikap wibawa, ketenangan, dan teladan dari pejabat negara, terlebih dalam acara pelantikan yang bersifat resmi dan sakral.
Peristiwa ini juga menegaskan pentingnya akuntabilitas simbolik. Publik tidak hanya menilai pejabat dari kebijakan, tetapi juga dari sikap sehari-hari yang terekam kamera. Ketika rekam jejak seorang pejabat sudah pernah menjadi sorotan, insiden kecil dapat memperkuat persepsi negatif dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap integritas birokrasi.
Karena itu, klarifikasi resmi saja tidak cukup. Diperlukan evaluasi internal dan penguatan etika birokrasi agar kejadian serupa tidak terulang. Integritas pejabat publik bukan hanya soal kepatuhan pada aturan formal, tetapi juga tentang kesadaran menjaga martabat jabatan. Di situlah letak tanggung jawab moral yang tidak boleh diabaikan.
Lebih jauh, insiden ini menjadi refleksi bahwa pembinaan aparatur sipil negara (ASN) tidak cukup hanya pada aspek kompetensi teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kepribadian. Kementerian Agama, sebagai institusi yang membawa misi moral dan spiritual, seharusnya menjadi teladan utama dalam menunjukkan etika dan ketenangan dalam setiap tindakan pejabatnya.
Dengan demikian, setiap kejadian yang mencederai simbol kewibawaan birokrasi harus ditindaklanjuti dengan langkah korektif. Bukan untuk mempermalukan pejabat yang bersangkutan, melainkan untuk menjaga marwah institusi. Pada akhirnya, integritas birokrasi akan sangat ditentukan oleh keseriusan pejabat publik dalam menempatkan etika di atas ego pribadi.
*) Penulis adalah Praktisi dan Akademisi Hukum Administrasi Negara, Universitas Muhammadiyah Mataram
