Budaya terpinggirkan: Apakah program Taman Budaya milik segelintir orang?

id Budaya terpinggirkan,program ,Taman Budaya ,segelintir orang,ntb Oleh Indra Saputra Lesmana *)

Budaya terpinggirkan: Apakah program Taman Budaya milik segelintir orang?

pegiat budaya, aktor sekaligus sutradara Indra Saputra Lesmana (ANTARA/HO-Dok Indra Saputra Lesmana)

Mataram (ANTARA) - Panggung publik semestinya tak dijadikan arena privat. Sayangnya, belakangan ini di NTB sejumlah program budaya – terutama acara-acara untuk koreografer muda seperti “Yang Muda yang Berkarya” – justru didominasi oleh lingkaran dekat Kepala UPT Taman Budaya NTB. Bukannya menjadi ruang inklusif, Taman Budaya malah berubah menjadi panggung bagi sanggar pribadi pemimpinnya. Jika fakta ini benar, praktik tersebut sudah bertentangan dengan prinsip keadilan publik.

Nepotisme – tindakan pejabat publik memberi keuntungan kepada orang dekat di atas kepentingan masyarakat – bukan saja melanggar hukum, melainkan juga mengikis kepercayaan publik. Lembaga Info Hukum bahkan menegaskan bahwa nepotisme “merusak kredibilitas institusi di mata masyarakat karena dianggap sebagai tindakan yang tidak adil.” Ini artinya, jika Taman Budaya lebih sering menampilkan karya-karya dari satu sanggar tertentu ketimbang memberi ruang bagi bakat yang lebih luas, maka prinsip kesetaraan dan pelayanan publik sejatinya sudah dilanggar.

Fenomena seperti ini ibarat paradoks dalam demokrasi budaya. Di negeri yang menjunjung tinggi suara rakyat, praktik nepotisme muncul bagai ironi mendalam. Kompasiana mencatat bahwa meski dalam sistem demokrasi sekalipun “masih saja muncul praktik nepotisme” di mana posisi penting lebih sering jatuh ke tangan kerabat daripada orang yang paling kompeten.

Bagaimana jika panggung seni pun menertawakan prinsip meritokrasi? Ketika program “Yang Muda Yang Berkarya” berubah menjadi panggung eksklusif, hak-hak seniman muda dari suku atau komunitas lain justru dirampas. Dengan menutup ruang bagi seniman dari berbagai kalangan, kelompok tertutup ini tak hanya menyuburkan konflik kepentingan, tetapi juga mematikan keragaman budaya NTB yang selama ini dinanti-nantikan masyarakat.

Padahal NTB sejatinya adalah rumah bagi beragam suku dan seni. Gubernur NTB bahkan menekankan bahwa setiap kelompok suku harus diberi ruang untuk menampilkan jati diri budayanya, bukan justru dilebur menjadi satu kebudayaan dominan. Iqbal pernah melukiskan NTB “seperti Ampenan: rumah bagi keberagaman” yang memuat Sasak, Samawa, Bali, Bugis, Banjar, dan lain-lain. Seharusnya, program Taman Budaya mencerminkan harapan itu – namun faktanya justru sebaliknya. Kepala UPT tersebut, dengan memonopoli pengisi acara berdasarkan kedekatan pribadi, justru membatasi kesempatan seniman lain untuk berkarya di panggung publik. Alih-alih memajukan demokratisasi budaya, justru yang terjadi adalah terhambatnya demokratisasi panggung.

Dampaknya sangat luas: semangat keadilan sosial dalam kebudayaan tersayat. Seniman-seniman NTB yang berada di luar “lingkaran dalam” merasa tersisih, sedangkan potensi kolaborasi antar-komunitas terputus. Akhirnya, lembaga budaya ini kehilangan wibawa sebagai institusi publik. Janji kesetaraan yang dijunjung dalam visi pemerintahan justru tersingkir oleh kepentingan pribadi. Bukankah ini mencederai nilai-nilai bangsa kita? Jika kebudayaan kita justru diperdagangkan kepada KKN kultural, berarti kita telah gagal menjaga asas keadilan dan keberagaman dalam praktik nyata.

Maka, masyarakat dan para penikmat seni wajib bersuara. Mari kita tegakkan semangat meritokrasi di atas panggung budaya! Tanyakan kepada pejabat terkait: mengapa nama-nama yang sama terus bermunculan? Perlu ada audit yang transparan atas penyelenggaraan acara di Taman Budaya. Otoritas harus segera mengevaluasi mekanisme pemilihan seniman – karena apa artinya program “Muda Berkarya” jika justru mempersempit peluang banyak pihak?

Akhirnya, pembaca diajak berpikir kritis: apakah benar inilah kebudayaan kita saat ini? Apakah panggung seni ini adil bagi semua pihak, atau malah sandiwara yang melanggengkan kepentingan pribadi? Jika ruang kebudayaan untuk segenap seniman semakin sempit akibat monopoli segelintir orang, sudah saatnya kita bertanya dengan lantang, menuntut perubahan, dan bersama-sama memulihkan rasa keadilan di panggung kebudayaan NTB.

*) Penulis adalah pegiat budaya, aktor sekaligus sutradara



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.