Mataram (ANTARA) - Di berbagai daerah di Indonesia, percakapan tentang pembangunan kerap dibayangi satu persoalan lama yang tak kunjung pergi, yakni korupsi.
Korupsi itu muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari proyek infrastruktur, pengelolaan aset publik, hingga layanan dasar masyarakat.
Setiap kali harapan untuk tata kelola yang bersih dari korupsi itu menguat, selalu ada saja kasus baru yang mencerminkan rapuhnya integritas di balik proses pengambilan keputusan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran individu, tetapi gejala sistemik yang terus mencari ruang dalam birokrasi dan kekuasaan.
Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak berada di luar lingkaran persoalan itu. Di provinsi yang tengah mendorong percepatan pembangunan, peningkatan investasi, dan penguatan tata kelola pariwisata serta energi, bayang-bayang korupsi juga tampak begitu nyata.
Dalam momentum Hari Antikorupsi Sedunia 2025, pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi NTB Wahyudi bahwa koruptor atau pelaku korupsi adalah "orang berilmu yang serakah", kembali menggugah ingatan kolektif kita.
Betapa ironi itu nyaris selalu sama, yakni mereka yang sudah cukup secara materi, ilmu, dan jabatan justru menjadi pelaku korupsi yang merampas hak rakyat.
Ungkapan itu bukan sekadar retorika. Sepanjang 2025, kejaksaan di NTB mengungkap 61 penyidikan kasus korupsi, dengan 36 di antaranya sudah memasuki tahap penuntutan.
Angka ini bukan hanya statistik, tetapi cermin bahwa korupsi hadir di berbagai sektor, mulai dari pengadaan lahan publik, kerja sama pengelolaan aset, hingga penyertaan modal BUMD.
Semua perilaku korupsi itu dilakukan oleh mereka yang memahami celah, menguasai regulasi, dan memegang otoritas yang seharusnya digunakan untuk melayani.
Korupsi tidak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh dari kombinasi kuasa, kesempatan, dan moralitas yang tergadaikan.
Ketika Wahyudi menyebut bahwa para pelaku korupsi adalah "berilmu dan berkuasa", ia sedang menyingkap akar masalah bahwa korupsi di NTB bukan soal ketidaktahuan, melainkan pilihan sadar untuk mengambil yang bukan haknya.
Maka pertanyaannya berlanjut, bagaimana wajah pemberantasan korupsi di NTB hari ini, dan sejauh mana ia menjangkau akar persoalan?
Peta penanganan korupsi
Beberapa perkara korupsi besar tahun ini menjadi ilustrasi penting bagaimana korupsi di NTB tidak lagi tersembunyi di ruang-ruang sempit, tetapi justru terjadi pada proyek dan kebijakan bernilai besar.
Kasus lahan MXGP di Sumbawa adalah contoh nyata. Penelusuran kerugian akibat korupsi oleh tim kejaksaan bersama BPKP menunjukkan bahwa proses hukum tidak berhenti di permukaan, melainkan menelusuri tata kelola dari hulu ke hilir.
Pemeriksaan mantan bupati, pejabat daerah, hingga tim appraisal memperlihatkan bahwa korupsi di sektor lahan kerap melibatkan banyak pihak.
Selain itu, perkara korupsi melalui penyalahgunaan aset Pemprov NTB di Gili Trawangan, kerja sama pengelolaan air bersih, hingga pembangunan mal yang melibatkan PT Tripat, menunjukkan pola serupa, yakni benturan kepentingan yang tidak dikawal baik, penyimpangan prosedur, dan keputusan strategis yang dipelintir untuk kepentingan segelintir orang.
Korupsi legislatif pun muncul kembali ke permukaan. Kasus gratifikasi DPRD NTB yang menyeret tiga tersangka pemberi suap, sekaligus melibatkan sedikitnya 15 legislator sebagai penerima, memperlihatkan satu hal yang konsisten, yakni korupsi sering lahir dari ekosistem, bukan individu semata.
Ketika uang Rp2 miliar dititipkan kembali sebagai barang bukti, publik melihat bagaimana relasi kuasa, kepentingan, dan negosiasi gelap dapat berjalan sistematis.
Di balik kasus-kasus ini, upaya pemberantasan korupsi menghadapi tantangan klasik, yakni keterbatasan penyidik. Kajati NTB mengakui hal tersebut, namun menekankan bahwa kekurangan personel tidak menjadi alasan melemah.
Komitmen untuk tetap tegas dalam penyidikan dan penuntutan, termasuk kemungkinan menyeret penerima gratifikasi menjadi tersangka, menunjukkan bahwa pembersihan sistem dari perilaku korupsi tidak bisa setengah hati.
Penanganan yang dilakukan kejaksaan, dengan 61 penyidikan aktif dan penyelamatan uang negara melalui sitaan serta pengembalian kerugian, merupakan sinyal positif. Namun tetap ada pertanyaan reflektif, sejauh mana hukum mampu mencegah korupsi, bukan hanya menindak?
Menata pemberantasan
Jika korupsi dilakukan oleh “orang berilmu yang serakah”, maka pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Ia memerlukan transformasi karakter, sistem, dan tata kelola.
Di NTB, arah penindakan tahun depan disebut akan lebih menyasar sektor yang menyentuh masyarakat luas, seperti pertambangan, kehutanan, dan layanan publik.
Langkah ini penting karena korupsi di sektor-sektor tersebut bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi merusak ekologi, akses publik, dan masa depan generasi.
Maka, jalan keluar yang perlu ditempuh untuk memberantas korupsi dapat dilihat dalam tiga lapis.
Pertama, membangun integritas di hulu. Proses rekrutmen, mutasi, dan promosi aparatur perlu berbasis rekam jejak dan etik, bukan sekadar administratif.
Pendidikan anti-korupsi tidak cukup dari slogan, tetapi harus terintegrasi dalam keputusan sehari-hari. Penguatan budaya organisasi yang berani menolak gratifikasi dan konflik kepentingan merupakan fondasi penting dalam upaya bersama memberantas korupsi.
Kedua, mempersempit ruang gelap kebijakan. Banyak kasus korupsi lahir dari celah regulasi atau proses yang tidak transparan. Digitalisasi layanan publik, pengadaan berbasis sistem, dan audit real-time dapat mengurangi ruang negosiasi informal. Pemerintah daerah perlu mempercepat integrasi data dan membuka akses publik terhadap dokumen-dokumen strategis.
Ketiga, memperbesar keberanian untuk menindak kasus korupsi hingga ke akar. Penegakan hukum yang selektif akan memunculkan ketidakpercayaan publik. Kejaksaan perlu menjaga keberlanjutan komitmennya untuk menyeret siapapun yang terlibat, termasuk penerima gratifikasi, pejabat aktif, atau pihak korporasi. Ketika publik melihat bahwa penindakan tidak pandang bulu, efek jera akan hadir dengan sendirinya.
Pemberantasan korupsi adalah perjalanan panjang. NTB sudah mengambil banyak langkah, tetapi masih memerlukan konsistensi.
Pernyataan bahwa pelaku korupsi adalah “orang berilmu yang serakah” sepatutnya menjadi pengingat bahwa persoalan terbesar bukan pada kecerdasan, melainkan karakter. Selama jabatan masih dianggap hak istimewa, bukan amanah, korupsi akan terus mencari celah.
Refleksinya sederhana, tetapi kuat bahwa korupsi tidak akan tuntas hanya dengan menangkap pelaku. Ia akan berkurang, ketika sistem membatasi ruang penyimpangan, ketika pengawasan berjalan otomatis, dan ketika mereka yang memegang kuasa memilih untuk tidak mengkhianati amanah.
Memberantas korupsi bukan hanya demi penegakan hukum, tetapi demi kemakmuran rakyat sebagaimana tema Hari Anti-korupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini.
Ketika uang publik kembali digunakan sebagaimana mestinya, ketika kebijakan tidak lagi dibajak oleh kepentingan gelap, saat itulah NTB dan Indonesia benar-benar melangkah menuju masa depan yang bersih dan adil.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Koruptor: Orang berilmu yang serakah
