Jakarta (ANTARA) - Pendiri lembaga riset independen INDEF Didik J Rachbini mengatakan Presiden Joko Widodo agar berhati-hati terhadap pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Wacana pelonggaran sudah membawa dampak PSBB semakin tidak disiplin dan mengarah kepada ketidaktaatan dalam kebijakan dan peraturan pemerintah," kata Didik dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan terdapat tanda-tanda pejabat publik sejak awal menganggap enteng kasus COVID-19 yang masuk ke Indonesia sehingga ditanggapi negatif oleh masyarakat.
Persoalan, kata dia, kini makin tampak dengan adanya kesimpangsiuran PSBB karena ada pola komunikasi yang kurang harmonis di antara masing-masing pejabat publik.
Pada tahun 1910-an, lanjut dia, Indonesia pernah dilanda pandemi influenza yang memakan korban total 20 persen populasi dunia karena sarana kesehatan kurang.
Didik mengatakan memori buruk itu bukan tidak mungkin terulang jika Presiden dan jajaran pemerintahannya tidak berhati-hati dalam pernyataan dan kebijakannya.
Kebijakan PSBB, kata dia, sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari sukses.
Data hasil PSBB dan kebijakan pandemi COVID-19 di Indonesia belum dapat menurunkan jumlah positif COVID-19 bahkan jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya termasuk terendah berdasarkan laman endcoronavirus.org.
"Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan 'herd immunity'," kata dia merujuk kekebalan kawanan.
Kekebalan kawanan, kata dia, merupakan bentuk yang kuat sukses sehat, yang lemah tewas. Tentu "herd immunity" itu akan membuat masyarakat masuk dalam kerentanan dengan semakin banyak korban yang berjatuhan jika tidak direspon melalui kebijakan tepat.
"Wacana pelonggaran sudah membawa dampak PSBB semakin tidak disiplin dan mengarah kepada ketidaktaatan dalam kebijakan dan peraturan pemerintah," kata Didik dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan terdapat tanda-tanda pejabat publik sejak awal menganggap enteng kasus COVID-19 yang masuk ke Indonesia sehingga ditanggapi negatif oleh masyarakat.
Persoalan, kata dia, kini makin tampak dengan adanya kesimpangsiuran PSBB karena ada pola komunikasi yang kurang harmonis di antara masing-masing pejabat publik.
Pada tahun 1910-an, lanjut dia, Indonesia pernah dilanda pandemi influenza yang memakan korban total 20 persen populasi dunia karena sarana kesehatan kurang.
Didik mengatakan memori buruk itu bukan tidak mungkin terulang jika Presiden dan jajaran pemerintahannya tidak berhati-hati dalam pernyataan dan kebijakannya.
Kebijakan PSBB, kata dia, sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari sukses.
Data hasil PSBB dan kebijakan pandemi COVID-19 di Indonesia belum dapat menurunkan jumlah positif COVID-19 bahkan jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya termasuk terendah berdasarkan laman endcoronavirus.org.
"Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan 'herd immunity'," kata dia merujuk kekebalan kawanan.
Kekebalan kawanan, kata dia, merupakan bentuk yang kuat sukses sehat, yang lemah tewas. Tentu "herd immunity" itu akan membuat masyarakat masuk dalam kerentanan dengan semakin banyak korban yang berjatuhan jika tidak direspon melalui kebijakan tepat.