Mataram (ANTARA) - Resesi hampir pasti tak terelakan, dan dialami banyak negara. Kita tentu tidak sendirian. Sebagaimana prediksi Bank Dunia, ekonomi Indonesia terpaksa tumbuh nol persen pada tahun ini. Langkah selanjutnya, bagaimana menyiapkan skema pemulihan ekonomi dalam jangka panjang, lantaran tantangan ke depan tak selalu berjalan mulus. 

Pelbagai ekspansi moneter dan fiskal telah ditempuh pemerintah. Opsi BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) terbitan pemerintah pun dilakukan. Meskipun BI tak pernah menyebutkan secara gamblang, masuknya BI lewat private placement artinya sama dengan cetak uang atau populer disebut quantitative easing (QE). 

Pertanyaannya, sejauh mana efektivitas QE dan berapa lama BI sanggup mendanai pemerintah dalam bertarung menghadapi korona?.

QE merupakan upaya injeksi likuiditas pada perbankan. Memang menemukan ongkos menangani wabah korona tidak selalu mudah dengan asumsi kebutuhan sebesar Rp.903,49 triliun. Namun kepastiannya, makin berlarut pandemi membuat pembiayaan pemerintah terus melonjak. Rencananya, BI akan burden sharing (bagi beban) sebesar Rp. 397,56 triliun. Apabila bunganya diasumsikan 7,36 persen, maka setara Rp.66,5 triliun. Dengan demikian BI harus menanggung bunga 53,9 persen atau sama dengan Rp.34,9 triliun. 

Ada pandangan menyebutkan, jika pembelian obligasi diskon oleh BI berlangsung lama bakal mengundang hiperinflasi, apalagi dilakukan secara agresif. Meskipun per Juni 2020, inflasi masih di posisi 1,96 persen (yoy). Di sisi lain persediaan dana BI juga terbatas. Per tanggal 17 Juli 2020, BI sudah membeli SBN pemerintah senilai Rp.36,69 triliun. 

Selain itu, BI juga ambil keputusan menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate 100 basis point (bps) dari 4,25 persen pada awal tahun 2020 menjadi 4 persen. Langkah ini, alih-alih hendak menggenjot permintaan (ekspor-impor), produksi dan investasi lantaran pengajuan utang perusahaan pada bank otomatis bakal lebih murah—justru diduga menyebabkan minat investor asing berkurang untuk mengucurkan duitnya ke Tanah Air. Karena biasanya mereka melancarkan strategi "carry trade", yaitu memanfaatkan celah pinjaman dolar AS berbunga rendah kemudian menempatkannya ke rupiah. 

Untuk cetak uang memang sulit diakui terbuka bank sentral. Dalihnya, dikesankan bahwa QE bukan mencetak uang kertas atau tidak ‘mengaku’ memberikan uang pada perbankan sehingga menutup kekhawatiran tentang risiko inflasi. Mantan Gubernur The Fed, Robert D. McTeer pernah mengatakan: “tak salah cetak uang saat resesi,”  tapi urusan lainnya, sebut dia adalah monetisasi utang pemerintah. 

Pandangan lain mengatakan berdasarkan angka-angka statistik, jika kelak resesi resmi menimpa kita, diperkirakan tidak terlalu dalam. Tapi tetap harus diantisipasi, mengingat Singapura, negara tetangga terdekat resmi mengumumkan resesi. 

Laporan Bank Dunia dengan judul Global Economic Prospects yang dirilis Juni 2020 lalu mencatat, Indonesia dan Kamboja terancam mengalami kergantungan aliran modal yang tak pasti. Utang pun merangkak naik sangat tinggi, yang juga menimpa Malaysia dan Thailand. Serta sejumlah negara mengalami kemacetan aliran modal dan lonjakan utang, seperti China, Laos, Malaysia dan Vietnam. Sedangkan Laos dan Vietnam juga menghadapi defisit fiskal yang sangat lebar. 

Mengenai QE, kita patut menengok pengalaman Jepang. Pada 19 Maret 2001, Bank of Japan secara resmi menyatakan menempuh kebijakan QE dengan maksud memompa likuiditas perbankan demi mendongkrak ekonomi. Namun begitu bank sentral menampung obligasi, sudah tentu membuat peredaran uang naik. Hasilnya, kondisi PDB tidak kunjung pulih, padahal suku bunga sudah diturunkan. 

Barangkali perbedaannya, QE terasa cukup aman diterapkan di AS, tapi belum tentu untuk negara lain. Karena dolar AS memiliki keistimewaan khusus. Selain berlaku dipakai di seluruh dunia, juga berperan sebagai cadangan internasional. Maka mudah bagi AS mencetak uang guna membayar impor, barang maupun jasa. Sedangkan rupiah jika beredar terlalu masif, nilainya bisa menyusut karena kehilangan kepercayaan pasar. 

Ada rasa keadilan di sini yang tergugah, bayangkan tiap AS mencetak uang artinya sama saja mengeruk uang orang lain di seluruh dunia dengan iming-iming “kertas” yang berujung terdevaluasi. Asumsinya, apabila negara lain menyimpan 6 triliun dolar AS, dengan tingkat inflasi negara paman sam ini 10 persen saja, patut dicurigai AS ‘mencuri’ 600 miliar dolar dari negara lain (Moosa, 2014).

Maka tak heran jika China terhitung sejak 2009, getol mendorong adanya konsensus baru untuk menciptakan uang pengganti dolar sebagai mata uang dunia. Begitu pula IMF (International Monetary Fund), pada 2011 sudah menyuarakan peluang menggeser dolar sebagai mata uang dunia. Lembaga ini menawarkan Special Drawing Rights (SDR) yang diharapkan mampu menjaga stabilitas keuangan global.

Pada umumnya, ada dua cara dalam mengukur kinerja bank sentral, yaitu process-based performance dan outcome performance (Lyonnet dan Werner, 2012). Pertama, efektivitasnya hanya bersifat jangka pendek meskipun juga melihat kurs jangka panjang. Sedangkan yang kedua; mengejar pengendalian harga, pertumbuhan dan stabilitas kurs mata uang. Tapi tidak menyentuh pemulihan ekonomi berkelanjutan. Namun hampir pasti apapun itu, sebelum korona berakhir untuk  kasus di Indonesia, rupiah tetap beresiko fluktuatif dan aliran modal masih berisiko tinggi. 

Wabah korona sebagai sumber dari resesi memang sangat menyulitkan. Karena memaksa segala sektor ekonomi terhenti buntut dari aneka pembatasan sosial. Alhasil, penurunan suku bunga acuan hingga minus pun, meski dilakukan oleh sekaliber The Fed belum tentu membuahkan hasil optimal. Segalanya mesti berangkat dari pertanyaan, problemnya terletak pada penawaran atau permintaan?! 

Boleh jadi karena pergerakan manusia terhenti menyebabkan pasokan barang atau jasa terganggu sehingga mengurangi permintaan. Sebabnya, semua orang cenderung bertahan dan menunda belanja sesuatu karena terkurung di rumah dalam modus work from home dan sejenis physical distancing atau saking membosankannya berubah jadi rebahan di rumah. Bagi korban pemecatan kerja, tentu memilih mengkencangkan ikat pinggang kecuali sekedar membeli makan. Untuk sektor industri mayoritas menderita kebangkrutan. Pasalnya, produksi berhenti, di sisi lain utang wajib dibayarkan dan gaji pekerja terus bergulir. Ujungnya persediaan uang di brankas mana pun berangsur kering.

Pemerintah telah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berlandaskan Perpres No. 82 tahun 2020 yang ditetapkan 20 Juli lalu. Obsesinya hendak memulai pembukaan aneka kegiatan ekonomi dan menyelamatkan kesehatan masyarakat agar seiring sejalan. Sampai di sini tujuannya sangat masuk akal. 

Namun belajar dari sejumlah negara, buka tutup pembatasan sosial justru menunjukkan terus meningkatnya kasus Corona. Per 27 Juli, kasus di Indonesia tembus 100.303 kasus, bahkan melampaui China sehingga apapun model kebijakan ekonomi akan cukup berat. 

Sepertinya kita perlu meresapi pesan mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, yang mengingatkan agar kita semua fokus menyelesaikan "sebabnya", yaitu wabah corona yang entah kapan berakhir. Karena melindungi nyawa manusia berarti menyelamatkan ekonomi. Nyawa yang hilang tak’kan pernah kembali. Sementara ekonomi cepat lambat (meski terseok-seok) pasti kelak pulih lagi. Semoga. 

Oleh: Galih Prasetyo, peneliti pada Bening Institute @Menara Batavia, Lt. 17, Jakarta, dan penulis buku “Demokrasi Milenial” (2019).



 

Pewarta : Galih Prasetyo, peneliti pada Bening Institute*
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024