Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, sedang menyiapkan rangkuman kasus dugaan korupsi pengadaan lahan relokasi banjir di Sambinae, Kota Bima.
"Namanya rangkuman, nantinya akan digunakan sebagai rencana dakwaan. Itu sedang proses," kata Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Jumat.
Langkah tersebut, jelas Dedi, untuk mempercepat proses penanganan kasusnya yang kini sudah pada tahap penelitian berkas.
"Nanti kalau berkasnya sudah dinyatakan lengkap, penuntut umum tinggal melimpahkan ke pengadilan dan menunggu agenda sidang," ujarnya.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan dua tersangka. Mereka berinisial HA, Mantan Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Bima dan US, dari kalangan masyarakat.
Keduanya belum menjalani penahanan karena pertimbangan masa pandemi COVID-19. Salah satu kekhawatirannya ketika dihadirkan dalam persidangan.
Bila ditahan, upaya jaksa menghadirkan tersangka akan lebih rumit dan lebih disarankan untuk menjalani persidangan via daring.
Kasus dugaan korupsi ini muncul pasca kebijakan pemerintah daerah terkait dampak banjir yang melanda warga di Sambinae, Kota Bima, di Tahun 2017.
Pemerintah daerah melalui Dinas Perkim Kota Bima, kemudian membuat program relokasi korban banjir dengan mendistribusikan anggaran Rp4,9 miliar.
Dari anggaran tersebut muncul kesepakatan untuk merelokasi korban banjir ke wilayah perbukitan. Luas lahan yang dibebaskan mencapai tujuh hektare.
Setelah dilakukan negosiasi dengan pihak panitia melalui tim appraisal, lahir sebuah kesepakatan harga Rp11,5 juta per are.
Namun munculnya harga tersebut bukan dari pemilik lahan, melainkan melalui tersangka US, yang diberikan kuasa oleh para pemilik lahan untuk mencapai kesepakatan harga dengan panitia.
Dalam kesepakatan harga itu, US diduga bermain. Kepada warga, US memberikan harga Rp6 juta hingga Rp9 juta per are. Sehingga muncul kelebihan pembayaran yang nilai keseluruhannya mencapai Rp1,7 miliar.
Nilai tersebut yang diduga turut dinikmati tersangka HA, ketika masih menjabat Kadis Perkim Kota Bima. Nominal kelebihan pembayaran ini pun kemudian menjadi angka kerugian negaranya.
"Namanya rangkuman, nantinya akan digunakan sebagai rencana dakwaan. Itu sedang proses," kata Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Jumat.
Langkah tersebut, jelas Dedi, untuk mempercepat proses penanganan kasusnya yang kini sudah pada tahap penelitian berkas.
"Nanti kalau berkasnya sudah dinyatakan lengkap, penuntut umum tinggal melimpahkan ke pengadilan dan menunggu agenda sidang," ujarnya.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan dua tersangka. Mereka berinisial HA, Mantan Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Bima dan US, dari kalangan masyarakat.
Keduanya belum menjalani penahanan karena pertimbangan masa pandemi COVID-19. Salah satu kekhawatirannya ketika dihadirkan dalam persidangan.
Bila ditahan, upaya jaksa menghadirkan tersangka akan lebih rumit dan lebih disarankan untuk menjalani persidangan via daring.
Kasus dugaan korupsi ini muncul pasca kebijakan pemerintah daerah terkait dampak banjir yang melanda warga di Sambinae, Kota Bima, di Tahun 2017.
Pemerintah daerah melalui Dinas Perkim Kota Bima, kemudian membuat program relokasi korban banjir dengan mendistribusikan anggaran Rp4,9 miliar.
Dari anggaran tersebut muncul kesepakatan untuk merelokasi korban banjir ke wilayah perbukitan. Luas lahan yang dibebaskan mencapai tujuh hektare.
Setelah dilakukan negosiasi dengan pihak panitia melalui tim appraisal, lahir sebuah kesepakatan harga Rp11,5 juta per are.
Namun munculnya harga tersebut bukan dari pemilik lahan, melainkan melalui tersangka US, yang diberikan kuasa oleh para pemilik lahan untuk mencapai kesepakatan harga dengan panitia.
Dalam kesepakatan harga itu, US diduga bermain. Kepada warga, US memberikan harga Rp6 juta hingga Rp9 juta per are. Sehingga muncul kelebihan pembayaran yang nilai keseluruhannya mencapai Rp1,7 miliar.
Nilai tersebut yang diduga turut dinikmati tersangka HA, ketika masih menjabat Kadis Perkim Kota Bima. Nominal kelebihan pembayaran ini pun kemudian menjadi angka kerugian negaranya.