Mataram (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman menyatakan warga Ahmadiyah harus tahu diri dan tidak lagi melecehkan agama Islam agar bisa diterima dan hidup membaur dalam kehidupan bermasyarakat.
"Itu yang harus dipahami warga Ahmadiyah. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap hak asasi manusia, ajaran Ahmadiyah itu melecehkan agama Islam sehingga keberadaannya selalu menjadi masalah," katanya usai pertemuan koordinasi dengan jajaran Kodam IX/Udayana, di Markas Korem 162/Wira Bhakti, di Mataram, Selasa.
Pertemuan koordinasi itu merupakan rangkaian kunjungan kerja (Kunker) Tim Komisi I DPR ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) pada masa reses 19-22 Desember 2010.
Tim Komisi I DPR itu berjumlah sembilan orang masing-masing empat orang dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) termasuk Hayono Isman selaku pimpinan rombongan, seorang dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), tiga orang dari Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) dan seorang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS).
Sebelum pertemuan koordinasi dengan satuan TNI, tim Komisi I DPR itu lebih dulu berkoordinasi dengan unsur Pemerintah Provinsi NTB, pada Senin (20/12), dan sempat membicarakan persoalan Ahmadiyah di NTB.
Warga Ahmadiyah di Pulau Lombok, NTB, diperkirakan lebih dari 180 orang, sebanyak 33 kepala keluarga (KK) atau 130 jiwa di antaranya berada di Mataram, ibu kota Provinsi NTB dan 50 jiwa lainnya berada di Kabupaten Lombok Tengah.
Sebanyak 130 orang warga Ahmadiyah mendiami asrama transito Mataram setelah rumah mereka di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, dirusak dan dibakar massa pada 4 Februari 2006.
Saat terdengar kabar bahwa warga Ahmadiyah yang bertahan di lokasi pengungsian asrama transito Mataram hendak kembali ke kampung halamannya, 26 November 2010, ratusan warga menyerang dan merusak rumah warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Aksi perusakan rumah warga Ahmadiyah oleh seratusan warga dari Dusun Ketapang, Desa Gegerung itu bahkan bukan hanya melibatkan laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak.
Warga melempari batu hingga memecahkan kaca jendela, genteng rumah, bahkan sebagian warga menghancurkan tembok menggunakan linggis.
Keberingasan warga terhadap pengikut Ahmadiyah itu tidak mampu dibendung oleh ratusan orang aparat keamanan dari Polres Lombok Barat dan Komando Rayon Militer (Koramil) Lingsar.
Menurut Hayono, solusi terbaik dalam penyelesaian masalah Ahmadiyah itu berada di tangan pengikut Ahmadiyah itu sendiri, karena Pemerintah Provinsi NTB beserta pemerintah kabupaten/kota terkait sudah berupaya maksimal.
Pemerintah NTB sudah berupaya maksimal, bahkan bersedia membeli aset mereka demi penyelesaian masalah Ahmadiyah.
"Namun warga Ahmadiyah harus patuh dan menyadari bahwa mereka telah melecehkan agama Islam sehingga umat marah. Tidak ada ajaran agama apa pun yang membolehkan melecehkan agama lain," ujarnya.
Hayono mengaku dapat memahami keresahan Pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah kabupaten/kota terkait upaya maksimal menyelesaikan masalah Ahmadiyah namun belum dapat dituntaskan.
"Mereka (Ahmadiyah) itu telah menimbulkan keresahan pemerintah dan masyarakat, itu yang perlu mereka pahami. Kalau saja tidak ada pelecehan agama, tentu lain masalahnya dan mereka akan bisa diterima," ujarnya.
(*)
"Itu yang harus dipahami warga Ahmadiyah. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap hak asasi manusia, ajaran Ahmadiyah itu melecehkan agama Islam sehingga keberadaannya selalu menjadi masalah," katanya usai pertemuan koordinasi dengan jajaran Kodam IX/Udayana, di Markas Korem 162/Wira Bhakti, di Mataram, Selasa.
Pertemuan koordinasi itu merupakan rangkaian kunjungan kerja (Kunker) Tim Komisi I DPR ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) pada masa reses 19-22 Desember 2010.
Tim Komisi I DPR itu berjumlah sembilan orang masing-masing empat orang dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) termasuk Hayono Isman selaku pimpinan rombongan, seorang dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), tiga orang dari Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) dan seorang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS).
Sebelum pertemuan koordinasi dengan satuan TNI, tim Komisi I DPR itu lebih dulu berkoordinasi dengan unsur Pemerintah Provinsi NTB, pada Senin (20/12), dan sempat membicarakan persoalan Ahmadiyah di NTB.
Warga Ahmadiyah di Pulau Lombok, NTB, diperkirakan lebih dari 180 orang, sebanyak 33 kepala keluarga (KK) atau 130 jiwa di antaranya berada di Mataram, ibu kota Provinsi NTB dan 50 jiwa lainnya berada di Kabupaten Lombok Tengah.
Sebanyak 130 orang warga Ahmadiyah mendiami asrama transito Mataram setelah rumah mereka di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, dirusak dan dibakar massa pada 4 Februari 2006.
Saat terdengar kabar bahwa warga Ahmadiyah yang bertahan di lokasi pengungsian asrama transito Mataram hendak kembali ke kampung halamannya, 26 November 2010, ratusan warga menyerang dan merusak rumah warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Aksi perusakan rumah warga Ahmadiyah oleh seratusan warga dari Dusun Ketapang, Desa Gegerung itu bahkan bukan hanya melibatkan laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak.
Warga melempari batu hingga memecahkan kaca jendela, genteng rumah, bahkan sebagian warga menghancurkan tembok menggunakan linggis.
Keberingasan warga terhadap pengikut Ahmadiyah itu tidak mampu dibendung oleh ratusan orang aparat keamanan dari Polres Lombok Barat dan Komando Rayon Militer (Koramil) Lingsar.
Menurut Hayono, solusi terbaik dalam penyelesaian masalah Ahmadiyah itu berada di tangan pengikut Ahmadiyah itu sendiri, karena Pemerintah Provinsi NTB beserta pemerintah kabupaten/kota terkait sudah berupaya maksimal.
Pemerintah NTB sudah berupaya maksimal, bahkan bersedia membeli aset mereka demi penyelesaian masalah Ahmadiyah.
"Namun warga Ahmadiyah harus patuh dan menyadari bahwa mereka telah melecehkan agama Islam sehingga umat marah. Tidak ada ajaran agama apa pun yang membolehkan melecehkan agama lain," ujarnya.
Hayono mengaku dapat memahami keresahan Pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah kabupaten/kota terkait upaya maksimal menyelesaikan masalah Ahmadiyah namun belum dapat dituntaskan.
"Mereka (Ahmadiyah) itu telah menimbulkan keresahan pemerintah dan masyarakat, itu yang perlu mereka pahami. Kalau saja tidak ada pelecehan agama, tentu lain masalahnya dan mereka akan bisa diterima," ujarnya.
(*)