Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mengambil alih kasus hukum 10 mahasiswa yang diduga sebagai provokator unjuk rasa dalam aksi blokir jalan selama 4 hari di wilayah Monta Selatan, Kabupaten Bima.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Komisaris Besar Polisi Hari Brata di Mataram, Sabtu, mengatakan pihaknya mengambil alih kasus ini dengan meminta Polres Bima untuk memindahkan penahanan 10 mahasiswa tersebut ke Polda NTB.
"Tindak lanjutnya, Jumat (13/5) sore, mereka sudah diberangkatkan dari Polres Bima, pakai bus polisi dengan pengawalan ketat anggota dari Sabhara dan Brimob," kata Hari.
Adapun inisial 10 mahasiswa yang ditahan dan diberangkatkan ke Polda NTB, adalah AR (20), IT (20), dan ARH (20), dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima.
Selanjutnya dari Politeknik Mataram, berinisial AK (21), dan SU (21). Kemudian ada dari Universitas Muhammadiyah Bima, berinisial SA (25), dan MA (22).
Tiga lainnya, MU (23) dari Universitas Mataram, MR (19) dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, dan AAM (22) dari Universitas Islam Makassar.
Dalam penanganan di Polres Bima, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 192 KUHP Juncto Pasal 63 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 38/2004 tentang Jalan, dengan ancaman hukuman 9 tahun sampai 15 tahun penjara dan denda Rp2 Miliar.
Pada aksinya yang dimulai sejak Senin (9/5) hingga Kamis (12/5), mereka yang diduga berasal dari kelompok mahasiswa dan masyarakat tersebut menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan infrastruktur jalan di Wilayah Monta Selatan.
Pihak TNI dan Polri sebelumnya sudah memberikan ruang massa aksi untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah. Namun karena merasa belum puas, aksi blokir jalan terus berlanjut.
Karena melihat situasi keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi terganggu, kepolisian mengundang seluruh pihak dengan menghadirkan tokoh masyarakat dan adat di Kabupaten Bima.
Dari pertemuan tersebut, polisi bersama TNI pada Kamis (12/5), menangkap 10 orang dari kerumunan massa yang diduga berperan sebagai provokator aksi.
Usai penangkapan, pihak kepolisian dan TNI berhasil membuka blokir jalan. Kondisi terkini pun dilaporkan kondusif. Aktivitas warga sudah kembali normal.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Komisaris Besar Polisi Hari Brata di Mataram, Sabtu, mengatakan pihaknya mengambil alih kasus ini dengan meminta Polres Bima untuk memindahkan penahanan 10 mahasiswa tersebut ke Polda NTB.
"Tindak lanjutnya, Jumat (13/5) sore, mereka sudah diberangkatkan dari Polres Bima, pakai bus polisi dengan pengawalan ketat anggota dari Sabhara dan Brimob," kata Hari.
Adapun inisial 10 mahasiswa yang ditahan dan diberangkatkan ke Polda NTB, adalah AR (20), IT (20), dan ARH (20), dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima.
Selanjutnya dari Politeknik Mataram, berinisial AK (21), dan SU (21). Kemudian ada dari Universitas Muhammadiyah Bima, berinisial SA (25), dan MA (22).
Tiga lainnya, MU (23) dari Universitas Mataram, MR (19) dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, dan AAM (22) dari Universitas Islam Makassar.
Dalam penanganan di Polres Bima, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 192 KUHP Juncto Pasal 63 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 38/2004 tentang Jalan, dengan ancaman hukuman 9 tahun sampai 15 tahun penjara dan denda Rp2 Miliar.
Pada aksinya yang dimulai sejak Senin (9/5) hingga Kamis (12/5), mereka yang diduga berasal dari kelompok mahasiswa dan masyarakat tersebut menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan infrastruktur jalan di Wilayah Monta Selatan.
Pihak TNI dan Polri sebelumnya sudah memberikan ruang massa aksi untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah. Namun karena merasa belum puas, aksi blokir jalan terus berlanjut.
Karena melihat situasi keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi terganggu, kepolisian mengundang seluruh pihak dengan menghadirkan tokoh masyarakat dan adat di Kabupaten Bima.
Dari pertemuan tersebut, polisi bersama TNI pada Kamis (12/5), menangkap 10 orang dari kerumunan massa yang diduga berperan sebagai provokator aksi.
Usai penangkapan, pihak kepolisian dan TNI berhasil membuka blokir jalan. Kondisi terkini pun dilaporkan kondusif. Aktivitas warga sudah kembali normal.