Mataram (ANTARA) - Laporan dugaan eksploitasi anak yang diajukan Koalisi Stop Joki Cilik ke Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) disayangkan sejumlah pihak.
Ketua Panitia Pacuan Kuda Kerato Angin Laut, Ahmad mengatakan, pihaknya menyayangkan adanya laporan tersebut. Apalagi konteks yang dilaporkan berkaitan dengan tradisi budaya masyarakat di Pulau Sumbawa.
"Saya sangat menyayangkan Polda NTB terlalu terburu-buru untuk menaikkan kasus tersebut ke penyelidikan. Seharusnya turun dulu," ujarnya dihubungi melalui telepon dari Mataram, Selasa.
Ahmad menilai, laporan tersebut terkesan mengkriminalisasi tradisi budaya. Selain itu, ia juga menyayangkan langkah Polda NTB yang terkesan terburu-buru menerima laporan dan melakukan penyelidikan.
"Kalau bicara budaya, berhadapan dengan banyak orang. Bukan seribu dua ribu orang, tapi ratusan ribu orang," ucap Ahmad.
Ahmad yang menjadi Ketua Panitia Pacuan Kuda pra MXGP Indonesia di Samota menegaskan, pacuan kuda merupakan tradisi turun temurun. Penggunaan joki anak juga dilakukan dengan aspek budaya.
"Budaya punya dokumentasi sejak dulu. Kearifan lokal bukan hanya di Dompu, Bima. Di Sumbawa dan Lombok juga ada," ujarnya.
"Kalau saya cenderung sayangkan pihak kepolisian. Seharusnya turun ke lapangan cari tahu laporan ini layak atau tidak (ditangani)," sambung dia.
Ia menambahkan, Joki cilik punya bakat dari nenek moyang. Tidak semua anak bisa jadi joki. Anak-anak yang menjadi joki pacuan kuda, pasti punya gen turun temurun dan sudah terlatih sejak turunan.
Hal ini juga jauh dari unsur eksploitasi, bahkan menjadi kebanggaan bagi para joki sendiri.
"Kalau anak yang tidak punya bakat, meskipun disewa tidak mau. Kalau anak yang punya bakat, tidak mau dilarang. Dia sudah menyatu sebagai hobi," tegasnya.
Ahmad mengatakan, jika yang disoroti adalah masalah keselamatan joki anak, hal itu bisa dibenahi. Namun bukan berarti harus menghilangkan tradisi dengan cara kriminalisasi.
"Saya siap menghadapi kemana pun laporan itu. Mereka harus tau berhadapan sama ratusan ribu orang yang diganggu budayanya. Kami sangat mendukung keselamatan joki anak. Tapi bukan untuk menghilangkan budaya itu," tegasnya.
Sementara itu pemilik kuda pacuan, Indi Suryadi mengatakan, tradisi pacuan kuda di Pulau Sumbawa tetap harus dilestarikan. Selain hal ini merupakan tradisi turun temurun yang sarat dengan kearifan lokal, pacuan kuda juga menjadi salah satu penggerak perekonomian masyarakat.
"Pacuan kuda ini tradisi budaya yang nggak mungkin bisa dihilangkan. Justru tradisi harus dilestarikan, karena diakui atau tidak dampak ekonominya bisa dirasakan masyarakat, contohnya UMKM warung makan dan lainnya," tukas Indi Suryadi.
Soal keterlibatan Joki Anak dalam pacuan, menurut dia, juga bagian dari tradisi budaya yang tidak bisa langsung dinilai sebagai eksploitasi.
"Tradisi pacuan kuda ini sudah eksis dan ada jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Anak lahir. Lalu apa dasarnya dikatakan ini eksploitasi anak?," tegas Indi Suryadi yang juga praktisi hukum dan pengacara di Sumbawa ini.
Menurut dia, keterlibatan anak dalam sebuah tradisi budaya harus dipandang dari aspek sosial budaya pula, bukan dari aspek hukum.
"Sehingga dalam diskusi dengan pihak yang 'keberatan' saya sampaikan kalau memang ini dianggap eksploitasi ya laporkan saja ke polisi, jangan cuma wacana-wacana. Tapi jangan salahkan jika ada reaksi masyarakat karena ini menyangkut tradisi budaya," tegasnya.
Terkait penyelidikan yang mulai dilakukan Polda NTB, Indi menegaskan hal itu cukup bagus. Meski kesannya sangat terburu-buru.
"Bagus itu menurut saya ketimbang kita buat opini dan wacana yang bukan-bukan tentang joki cilik. Agar semuanya jelas, silahkan saja dibuktikan ada atau tidak eksploitasi anak. Dan saat tidak ditemukan, maka jangan ganggu lagi tradisi budaya kami," katanya.
Ia juga menilai opini yang dibangun oleh Koalisi merugikan tradisi dan budaya masyarakat Pulau Sumbawa. Termasuk pernyataan dari Ketua DPRD NTB Hj Isvie Rupaedah yang menyoroti joki cilik.
"Beliau itu sarjana hukum, masuk jadi politisi dan duduk sebagai Ketua DPRD NTB, tapi kenapa tak paham tradisi budaya masyarakat? Dia nggak pernah turun dan berbicara dengan masyarakat terutama orangtua joki cilik dan joki cilik sendiri. Namun pernyataan luar biasa seolah tradisi ini buruk dan harus dihentikan," tegasnya.
Indi menegaskan, tradisi pacuan kuda di Pulau Sumbawa harus tetap dilestarikan.
"Tradisi kami tak bergantung pada statemen pihak tertentu termasuk Ketua DPRD NTB. Kami akan lestarikan tradisi budaya ini, apapun harga dan risikonya. Bila perlu, saya siap jadi saksi jika dibutuhkan kepolisian," katanya.
Sebelumnya, Ketua Koalisi Stop Joki Anak NTB, Yan Magandar Putra diperiksa Penyidik Subdit IV Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Ditreskrimsus Polda NTB, Selasa 12 Juli 2022, terkait pelaporan dugaan eksploitasi anak di pacuan kuda pada side event Motor Cross Grand Prix (MXGP) Samota Sumbawa tanggal 19 Juni 2022.
Yan mengaku dipanggil Polda NTB usai melaporkan Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB, Ari Garmono pada 24 Juni 2022, terkait adanya arena perjudian dan eksploitasi anak di arena pacuan kuda di Kabupaten Sumbawa, NTB.
"Saya dicecar 24 pertanyaan terkait nama penyelenggara, waktu, tempat dan bagaimana dugaan tindak pidana eksploitasi anak dan lain-lain," ujar Yan.
Ketua Panitia Pacuan Kuda Kerato Angin Laut, Ahmad mengatakan, pihaknya menyayangkan adanya laporan tersebut. Apalagi konteks yang dilaporkan berkaitan dengan tradisi budaya masyarakat di Pulau Sumbawa.
"Saya sangat menyayangkan Polda NTB terlalu terburu-buru untuk menaikkan kasus tersebut ke penyelidikan. Seharusnya turun dulu," ujarnya dihubungi melalui telepon dari Mataram, Selasa.
Ahmad menilai, laporan tersebut terkesan mengkriminalisasi tradisi budaya. Selain itu, ia juga menyayangkan langkah Polda NTB yang terkesan terburu-buru menerima laporan dan melakukan penyelidikan.
"Kalau bicara budaya, berhadapan dengan banyak orang. Bukan seribu dua ribu orang, tapi ratusan ribu orang," ucap Ahmad.
Ahmad yang menjadi Ketua Panitia Pacuan Kuda pra MXGP Indonesia di Samota menegaskan, pacuan kuda merupakan tradisi turun temurun. Penggunaan joki anak juga dilakukan dengan aspek budaya.
"Budaya punya dokumentasi sejak dulu. Kearifan lokal bukan hanya di Dompu, Bima. Di Sumbawa dan Lombok juga ada," ujarnya.
"Kalau saya cenderung sayangkan pihak kepolisian. Seharusnya turun ke lapangan cari tahu laporan ini layak atau tidak (ditangani)," sambung dia.
Ia menambahkan, Joki cilik punya bakat dari nenek moyang. Tidak semua anak bisa jadi joki. Anak-anak yang menjadi joki pacuan kuda, pasti punya gen turun temurun dan sudah terlatih sejak turunan.
Hal ini juga jauh dari unsur eksploitasi, bahkan menjadi kebanggaan bagi para joki sendiri.
"Kalau anak yang tidak punya bakat, meskipun disewa tidak mau. Kalau anak yang punya bakat, tidak mau dilarang. Dia sudah menyatu sebagai hobi," tegasnya.
Ahmad mengatakan, jika yang disoroti adalah masalah keselamatan joki anak, hal itu bisa dibenahi. Namun bukan berarti harus menghilangkan tradisi dengan cara kriminalisasi.
"Saya siap menghadapi kemana pun laporan itu. Mereka harus tau berhadapan sama ratusan ribu orang yang diganggu budayanya. Kami sangat mendukung keselamatan joki anak. Tapi bukan untuk menghilangkan budaya itu," tegasnya.
Sementara itu pemilik kuda pacuan, Indi Suryadi mengatakan, tradisi pacuan kuda di Pulau Sumbawa tetap harus dilestarikan. Selain hal ini merupakan tradisi turun temurun yang sarat dengan kearifan lokal, pacuan kuda juga menjadi salah satu penggerak perekonomian masyarakat.
"Pacuan kuda ini tradisi budaya yang nggak mungkin bisa dihilangkan. Justru tradisi harus dilestarikan, karena diakui atau tidak dampak ekonominya bisa dirasakan masyarakat, contohnya UMKM warung makan dan lainnya," tukas Indi Suryadi.
Soal keterlibatan Joki Anak dalam pacuan, menurut dia, juga bagian dari tradisi budaya yang tidak bisa langsung dinilai sebagai eksploitasi.
"Tradisi pacuan kuda ini sudah eksis dan ada jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Anak lahir. Lalu apa dasarnya dikatakan ini eksploitasi anak?," tegas Indi Suryadi yang juga praktisi hukum dan pengacara di Sumbawa ini.
Menurut dia, keterlibatan anak dalam sebuah tradisi budaya harus dipandang dari aspek sosial budaya pula, bukan dari aspek hukum.
"Sehingga dalam diskusi dengan pihak yang 'keberatan' saya sampaikan kalau memang ini dianggap eksploitasi ya laporkan saja ke polisi, jangan cuma wacana-wacana. Tapi jangan salahkan jika ada reaksi masyarakat karena ini menyangkut tradisi budaya," tegasnya.
Terkait penyelidikan yang mulai dilakukan Polda NTB, Indi menegaskan hal itu cukup bagus. Meski kesannya sangat terburu-buru.
"Bagus itu menurut saya ketimbang kita buat opini dan wacana yang bukan-bukan tentang joki cilik. Agar semuanya jelas, silahkan saja dibuktikan ada atau tidak eksploitasi anak. Dan saat tidak ditemukan, maka jangan ganggu lagi tradisi budaya kami," katanya.
Ia juga menilai opini yang dibangun oleh Koalisi merugikan tradisi dan budaya masyarakat Pulau Sumbawa. Termasuk pernyataan dari Ketua DPRD NTB Hj Isvie Rupaedah yang menyoroti joki cilik.
"Beliau itu sarjana hukum, masuk jadi politisi dan duduk sebagai Ketua DPRD NTB, tapi kenapa tak paham tradisi budaya masyarakat? Dia nggak pernah turun dan berbicara dengan masyarakat terutama orangtua joki cilik dan joki cilik sendiri. Namun pernyataan luar biasa seolah tradisi ini buruk dan harus dihentikan," tegasnya.
Indi menegaskan, tradisi pacuan kuda di Pulau Sumbawa harus tetap dilestarikan.
"Tradisi kami tak bergantung pada statemen pihak tertentu termasuk Ketua DPRD NTB. Kami akan lestarikan tradisi budaya ini, apapun harga dan risikonya. Bila perlu, saya siap jadi saksi jika dibutuhkan kepolisian," katanya.
Sebelumnya, Ketua Koalisi Stop Joki Anak NTB, Yan Magandar Putra diperiksa Penyidik Subdit IV Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Ditreskrimsus Polda NTB, Selasa 12 Juli 2022, terkait pelaporan dugaan eksploitasi anak di pacuan kuda pada side event Motor Cross Grand Prix (MXGP) Samota Sumbawa tanggal 19 Juni 2022.
Yan mengaku dipanggil Polda NTB usai melaporkan Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB, Ari Garmono pada 24 Juni 2022, terkait adanya arena perjudian dan eksploitasi anak di arena pacuan kuda di Kabupaten Sumbawa, NTB.
"Saya dicecar 24 pertanyaan terkait nama penyelenggara, waktu, tempat dan bagaimana dugaan tindak pidana eksploitasi anak dan lain-lain," ujar Yan.