Mataram (ANTARA) - Awal Tahun 2025 ini masyarakat Nusa Tengga Barat kembali dibuat berduka. Iswan, 3 tahun, berasal dari Kelurahan Dodu Kota Bima adalah diantara joki-joki yang dipekerjakan oleh ayah kandungnya di arena pacuan kuda Kalaki-Panda Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima. Iswan pun “tumbang” di arena pacuan kuda yang dikeramatkan, dimitoskan mistik oleh budaya summa-patrilinenal sekelompok masyarakat dou mbojo. Nun jauh disana (di luar negeri) ibunya Iswan tidak mengetahui bila putra kesayangannya telah tiada. Perlahan kematian Iswan pun telah mendunia, diposting dan dibaca banyak mata ke (di) seluruh dunia. Mendunia kah NTB?
Joki Cilik; Korban Budaya ?
Abu Bakar (2023) menyebut bahwa pacuan kuda menghasilkan deoroama baik bagi masyarakat dou Mbojo yaitu dapat mempererat silaturrahmi, persaudaraan, meningkatkan kedudukan sosial berupa simbol keberanian, kehormatan dan kewibawaan dalam pemertahanan budaya leluhur dou Mbojo, termasuk menjadi joki cilik merupakan pahlawan bagi keluarga. Syarifudin (2025) menyebut bahwa bernilai positif berupa perputaran ekonomi yang yang sangat luarbiasa, karena pada saat yang sama diekstrak sebagai bagian dalam ritus budaya, kemudian menghasilkan ragam “berkah”.
Namun dibalik “ritual” tersebut ada fenomena nyata yaitu eksploitasi anak yang dibalut dalam ragam indentitas. Nurfitiriani, dkk (2023) menyebut sebagai eksploitasi ekonomi karena saat anak-anak menjadi joki ada upah di dalam kontestasi, walaupun upah tersebut tidak semata dinikmati oleh joki cilik melainkan keluarga joki. Abu Bakar (2023) menyebut anak-anak menerima upah saat latihan dan saat pertandingan dengan jumlah yang bervariasi.
Artinya, pacuan kuda bukan murni pertunjukan estetik-etik dan pemertahanan budaya, namun ada jebakan permanen berupa kompetisi adu kuat, gengsi, gaya, hingga kapitalisasi yang dibalut dibalik atasnama pemertahanan tradisi. Sebagaimana kajian Nurfitriani, dkk (2023) menyatakan bahwa balapan kuda telah ada sejak zaman kolonial Belanda namun pemanfaatan anak sebagai joki tumbuh dalam dasawarsa terakhir (belum ditemukan rentang waktu), karena diyakini dengan pemanfaatan anak-anak akan memudahkan berpacunya kuda dalam lintasan. Dalam konteks demikian anak-anak divisualisasikan dan dinarasikan dalam format baik dan hebat dan bernilai. Ironis, Syarifudin (2025) menyebut di balik pacuan kuda-joki cilik ada taruhan atau judi. Mungkin inilah rantai karat yang sukar untuk diminimalisir joki cilik tersebut hingga kini ?.
Halalisasi Joki Cilik ; Pejabat Berkontribusi ?
Dalam beberapa literatur akademik menyebutkan balapan kuda menggunakan joki cilik seolah seperti telah dihalalisasi oleh ragam spektrum-identitas. Ketika laga atau pacuan di arena pacuan, terdapat unsur penting yang hadir. “Hadir” memiliki makna simbolik ; pengakuan dan pemertahanan. Padahal joki cilik merupakan malpraktek bagi anak-anak. Politisi, pejabat hingga kepala daerah hadir dalam etape tersebut. Bahkan sepengetahuan penulis mantan Gubernur NTB pun memiliki kuda pacuan (Ferari, yang dibeli dengan harga pantastis) yang dilombakan dengan menggunakan joki cilik.
Tepatlah menggunakan teori Jacques Derrida (2002) tentang metafisika kehadiran. Kehadiran hingga komunikasi lisan dianggap mampu menghadirkan kembali (re-present) “makna sejati”, hadir dan atau kah memiliki barang “kuda” diyakini dapat mewakili suatu prinsip yang sekan memiliki wewenang (authority) atas kebenaran.
Artinya bahwa ekesistensi kehadiran elite sebagaimana tatahan diatas tentu berdampak pada pemertahanan siklus, joki anak atau joki cilik adalah sah. Padahal terdapat petaka kemanusiaan yang selalu menjadi momok menakutkan. Anak-anak dalam hal ini usia dini 0-8 tahun adalah korban binalitas dan keserakahan individu dan kelompok yang terus menjaga siklus itu demi meraup keuntungan hierarkis.
Joki Cilik ; Memperkerjakan Anak di Bawah umur
Bila membaca fiqih klasik ataupun dalam perundang-undangan jelas diuraikan bahwa anak usia dini (anak-anak) tidak memiliki kewajiban untuk mecari nafkah. Anak-anak dimungkinkan atau boleh diajak mencari nafkah bila secara fisik terlihat mampu, namun hasil kerja anak tersebut kembali untuk dirinya, bukan untuk orangtuanya. lihat (Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini, 1994). Syarbini pun melarang memperkerjakan anak-anak pada kerja yang haram, pekerjaan yang tidak mampu dilakukan dan membahayakan kondisi fisiknya. Apalagi ada indikasi dalam atraksi pacuan kuda terdapat taruhan atau judi dan bahkan mengancam jiwa dan raga.
Sebagai sebuah upaya baik, maka pemerintah daerah (Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu dan Provinsi Nusa Tenggara Barat) mutlak melahirkan pandangan hukum yang baik, berkeadilan, dan komprehensif terhadap perlindungan hak anak di NTB.
Maka pelarangan joki cilik merupakan keharusan konstitutif. Dikarenakan tidak memenuhi prinsip perlindungan secara universal yang tercakup dalam lima prinsip universial (kulliyat al-khmas) pada diri anak sebagai joki cilik, rentan mengalami cacat fisik hingga kematian, artinya pacuan kuda tidak melindungi jiwa anak (hifz al-nafs), apapun standar prosedure yang digunaakan sebagaimana Surat Edaran Pemerintah Kota Bima Nomor 286 Tahun 2022 tentang Joki Cilik berupa penyediaan regulasi dan aturan yang jelas terkait pacuan kuda, menyediakan alat pelindung diri lengkap dengan standar joki, pengelompokan usia dan spesifikasi umur joki sesuai kelas, terpenuhinya hak anak tetang pendidikan dan jaminan kesehatan, pentingnya sekolah joki bersertifikat sebagai syarat lomba, penyelenggaraan diluar jam sekolah dan tersedianya tenaga medis dan keamanan saat latiahan dan lomba. Adalah hal yang sangat mustahil bagi diri anak untuk berupaya mempertahankan diri dan keselamatan dalam accident ataupun insiden.
PR Iqbal Dinda dalam Upaya Mitigasi Eksploitasi Anak
Ekspektasi besar terhadap Iqbal-Dinda dalam upaya merealisasi amanat UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2004 Pasal 59 Ayat 1 “Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak”. Dalam hal ini anak yang dijadikan joki dalam balapan kuda, khusus dan spesifik karena pada umumnya anak-anak yang menjadi joki balapan kuda adalah keluarga-keluarga yang memiliki ragam problematika. Terutama situasi sosial ekonomi dan pendidikan keluarga joki cilik.
Pembaca pasti sepakat bahwa joki cilik merupakan bentuk eksploitasi fisik dan eksploitasi ekonomi anak dengan tujuan dan motif tertentu. Maka konsekwensi hukum adalah pemerintah daerah wajib melakukan “pelarangan” terhadap aktivitas joki cilik melalui mekanisme hukum yang berlaku baik melalui peraturan gubernur ataupun peraturan daerah sehingga anak-anak dapat terlindungi hak-hak sebagaimana mengutip dalam maqasyidu syariah kulliyat al-khamsah yaitu hak hidup anak (hifz nafs), hak berketurunan (hifz nasl), hak akal dan berilmu pengetahuan anak terjaga (hifz Aql), dan hak berbakti pada agama (hifz Din) dapat terjaga dengan baik di Nusa Tenggara Barat. Semoga.
*) Penulis adalah Dosen Pengampu MK Hak dan Perlindungan Anak di Prodi PIAUD FTK UIN Mataram sekaligus Pengurus Majelis Adat Sasak dan Bale Mediasi NTB